XXXI. Sihir

916 112 28
                                    

Seminggu sebelum upacara pernikahan resmi, rangkaian acara pernikahan sudah dimulai. Aku duduk di depan kaca, membiarkan beberapa dayang merias wajah dan menata rambutku.

Hari ini adalah jadwal ziarah. Ya, ziarah. Berkunjung ke makam leluhur kerajaan dan mendiang-mendiang raja serta ratu untuk meminta restu. Meminta berkat. Salah satu dayang membantuku memakai gaun putih tulang dengan korset brokat berwarna coklat muda.

Seminggu kemarin benar-benar melelahkan. Menyiapkan pernikahan, menjalani pelatihan ratu. Sesekali mampir ke Akademi Pusat untuk membantu penelitian Putri Alamanda. Energiku hampir terkuras habis.

Tetapi Ratu Manohara memintaku untuk tetap berhati-hati dan banyak beristirahat. Fokus pada acara pernikahan, Ratu Manohara bilang aku tidak boleh lengah apalagi kecolongan.

Ya. Masa tenang yang tidak benar-benar tenang. Masa tenang seperti ini justru mencurigakan. Ibarat perang gerilya, masa tenang sama saja seperti menanti musuh yang bisa muncul tanpa aba-aba.

Perjalanan menuju pemakaman kerajaan menghabiskan waktu cukup lama. Sekitar dua jam. Selama dua jam itu pula aku hanya duduk menikmati pemandangan dari kereta kuda, karena Putra Mahkota memilih berkuda di depan.

Ratu Manohara dan Raja Arsenika sudah mendahului rombongan. Orangtuaku ikut, berangkat bersama Raja dan Ratu. Aku memejamkan mata, memilih beristirahat karena kegiatan yang sangat menguras tenaga.

Putra Mahkota dan segala pikirannya, aku lumayan lega setelah mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan. Mengingatkannya lagi tentang perjanjian sebelum pernikahan, aku akan menjadi ratu.

Aku tidak ingin ada hal-hal kecil mengganggu pernikahanku.

Pintu kereta kuda terbuka, menampakkan Putra Mahkota yang berdiri, hendak membimbingku turun. Aku menyambut uluran tangannya, walau aku sebenarnya lebih dari mampu untuk melompat dari atas kereta kuda.

Putra Mahkota tersenyum tipis. Aku mengikuti langkahnya. Gapura pemakaman kerajaan sudah terlihat, warna putih kremnya tampak begitu elegan. Aku mengikuti langkah Putra Mahkota menuju makam yang pertama kali dikunjungi: makam Raja Sadendra dan Ratu Harshita.

Makam yang begitu indah, bernuansa putih dengan bunga anggrek di sekitaran makam. Anggrek bunga kesukaan Ratu Harshita, aku bisa melihat anggrek tanah ditanam di atas makam Ratu Harshita sebagai penghormatan.

Raja dan Ratu duduk di sisi makam, memberi penghormatan. Ayah dan ibuku juga. Aku mengerjapkan mata, ada beberapa sosok asing yang kukenali sebagai Ratu Laluna dan Raja Kenza, serta dua putri mereka: Putri Chavania dan Putri Melrose.

Keluarga Kerajaan Navali, di mana Ratu Laluna merupakan adik bungsu Raja Arsenika.

Kakek Karna ikut serta dalam acara ini. Aku mengenal beliau karena beliau teman kakekku. Kakek Karna memandu acara, menghaturkan doa-doa untuk Mendiang Raja dan Ratu.

Selesai, kami pindah ke makam Narrarya Satria dan Sri Wismaya.

Aku mengulum bibirku, melirik raut Ibu yang tampak tidak biasa. Raja dan Ratu pun sama, mereka seolah menyembunyikan sesuatu sembari melangkah.

Aku menarik napas panjang, menggaet lengan Putra Mahkota, memeganginya erat-erat. Putra Mahkota yang merasakan remasan di lengannya langsung menoleh.

"Ada apa, Sienna?" Putra Mahkota bertanya sigap. Aku menggelengkan kepala cepat.

"Tidak, kok."

Aku menelan ludah. Suasana mendadak mencekam begitu kami duduk di sisi makam Raja Satria dan Ratu Wismaya.

Aku memegangi lengan Putra Mahkota kuat-kuat. Hawa panas mendadak menyebar. Entah hanya aku yang merasakan atau bagaimana, tetapi aku melihat sekeliling, semua tampak biasa-biasa saja.

Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang