LXIV. Siuman

636 78 8
                                    

Lautan luas tak bertepi dan aku sudah berenang entah berapa kilometer. Tanganku rasanya sudah tidak bisa digerakkan, tetapi sedikit lagi aku akan mencapai daratan.

Daratan dengan istana yang terlihat sangat familier. Aku yakin aku tidak berada di alamku sendiri. Sudah berulang kali aku berpindah alam, tur antar dimensi. Seolah ini semua adalah hukuman karena aku pernah membuat cerita tanpa berpikir panjang bagaimana akhirnya. Tetapi bukankah katanya kehidupanku yang itu juga hanya ilusi? Jadi sebenarnya siapakah aku ini? Di mana kehidupanku yang sebenarnya?

Daratan terlihat begitu jauh. Warna biru laut ini mengingatkanku pada mata Rajendra yang selalu menatapku dengan tatapan penuh penghargaan. Aku merindukannya, sangat.

Hal yang terakhir aku ingat adalau aku ada di Menara Sihir. Anakku selamat, kah? Aku tidak terlalu yakin. Lautan luas ini seolah tak bertepi. Daratan terus menjauh dan aku seolah tak bisa berhenti berenang. Apa ini azab bagi seseorang yang sudah banyak berbuat buruk seperti diriku? Berenang tanpa henti, aku jadi teringat kedua orangtuaku dan mertuaku. Bagaimana kondisi mereka? Bagaimana Putri Dayana? Bagaimana Pangeran Layendra?

Bagaimana kondisi kerajaan? Aku kembali mengayunkan tanganku, berenang menuju daratan yang syukurnya tiba-tiba saja bergerak mendekat. Istana yang tampak familier itu tiba-tiba saja mendekatiku, seolah menggapaiku yang sudah lelah kebasahan. Aku berenang kembali, dan berhenti saat merasakan telapak tangan lembut menggapai tanganku yang sudah lemas.

Wangi bunga yang terasa familier, aku mendongakkan kepala saat daratan itu benar-benar ada di depanku. Wajah yang kukenal menatapku lembut, menarik tanganku, membantuku agar naik ke daratan yang tampak seperti pesisir cantik dengan istana yang megah.

"Selamat datang, Sienna."

Suara ini, wajah ini. Wajah bule dengan gaun biru muda yang sangat kukenal. Bibi yang selalu menyempatkan untuk bertandang ke Kastil Agradhipa hampir setiap minggu.

"Bibi Ratu?" Aku berhasil mengenalinya. Yang ada di hadapanku adalah Yang Mulia Ratu Wismaya.

Apakah aku sudah mati?

**

Rajendra menarik kursi dan duduk di samping ranjang sang ayah mertua. Swarnabhumi tersenyum saat melihat tatapan gelisah Rajendra. Menantunya ini, anaknya. Mereka masih terlalu muda untuk mengalami seluruh kejadian yang terlihat sangat kejam. Tangan kiri Swarnabhumi mencoba meraih bahu Rajendra, menepuk-nepuknya pelan.

"Aku di sini, Ayah." Rajendra menundukkan kepalanya agar lebih dekat dengan sang ayah mertua. Nirvaira duduk di sisi yang berseberangan. Swarnabhumi bahkan bisa merasakan degupan jantung Rajendra saat menyentuh perpotongan leher dan bahunya.

"Tidak usah gugup, Putra Mahkota. Siapa yang baru saja datang?" Swarnabhumi langsung melemparkan bom yang membuat jantung Rajendra makin blingsatan.

Tebakannya benar. Ayah mertuanya itu punya kemampuan melihat sesuatu, dan sialnya sepertinya ayah mertuanya tahu siapa yang baru saja ia usir dari ruangan Sienna.

"Pangeran Muda Ekalaya dan Putri Mahkota Dalfon. Aku menyuruh mereka pergi. Kami tidak menerima kunjungan, Yah." Rajendra tersenyum, mencoba terlihat sebiasa mungkin di hadapan ayah mertuanya. Apalagi menyebut nama mantan kekasihnya di hadapan sang ayah mertua terdengar canggung.

Nirvaira hanya mengamati perbincangan itu dengan senyum. Wanita itu mengerti sepertinya Swarnabhumi sedang mengetes menantunya.

"Apa yang setelah ini akan kau lakukan, Putra Mahkota?" Swarnabhumi kembali melemparkan pertanyaan yang seperti bom. Rajendra melebarkan bola matanya kaget.

"Aku akan menunggui Sienna."

Swarnabhumi refleks menggeleng. "Bukan itu. Langkahmu selanjutnya. Apa yang mau kau lakukan setelah persidangan berakhir?" Tatapan Swarnabhumi yang tajam seolah menguliti Rajendra. Pemuda itu tersenyum pahit.

Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang