Pelayan menghidangkan makanan. Aku meringis. Rasa omeletku bagaimana, ya? Rajendra mengambil sendok, mengisi sendok dengan nasi putih serta memotongkan omelet dan daging kerang lalu menyuapkannya ke mulutku.

"Sekarang makan dulu. Habis itu balik ke kamar. Tidur," titah Rajendra dengan nada yang tidak bisa kubantah. Aku menurut, mengambil sendok dari tangannya.

"Aku bisa makan sendiri, kok. Tangan kananku tidak sakit. Yang Mulia harus makan juga." Aku menyerahkan sendok lain pada Rajendra. Sedikit nyeri, sih, tanganku. Tapi tidak apa-apa.

"Kalau lelah, hari ini tidak usah konseling dulu. Istirahat dulu," perintahnya lagi. Aku hanya diam mengangguki. Yang dia bilang tidak salah. Tidak ada salahnya aku menuruti.

**

Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa sudah nyaris sebulan dari kejadian penangkapan Dayana Dayita. Alamanda sibuk bolak-balik dari Akademi Pusat ke kantor barunya, laboratorium di mana ada Layendra dan Dayana Dayita.

Putusan hakim sudah dijatuhkan. Kurungan seumur hidup, pencopotan gelar bangsawan. Dayana Dayita mendapat hukuman ganda karena pemalsuan nasab keluarga kerajaan. Sidang memutuskan Alia menjadi anak Kristiano dan mewarisi nama Bharata. Alamanda bisa melihat muka terpukul Layendra yang merasa kehilangan putrinya.

Dari situ Alamanda mengerti. Walau Alia hanya anak angkat, bahkan tidak mewarisi darah Layendra sama sekali, tapi rasa sayang Layendra pada Alia begitu besar.

"Saya sudah mengambil sampel genetik, Tuan Putri." Grace berdiri di ambang pintu. Alamanda mengangguk. Untuk penelitiannya kali ini, ia berencana mengambil sampel genetik Dayana dan Layendra, lalu juga kedua anaknya. Lalu sampel genetik keluarga Nyonya Nirvaira dan Adipati Swarnabhumi. Juga sampel genetik keluarga kerajaan.

Alamanda ingin meneliti apakah penyakit jiwa yang dialami Dayana Dayita murni karena kejadian traumatis atau karena faktor genetik juga. Alamanda kembali berkutat dengan dokumennya, tapi gadis itu seketika terganggu dengan kehadiran Grace yang masih berdiri di ambang pintu.

"Ada apa lagi?" Alamanda bertanya kesal. Sekarang ia sedang sibuk-sibuknya dan lelah-lelahnya. Ditambah ada faktor X yang membuatnya tambah kesal. Mahesa.

"Pangeran Huraymila menunggu di depan pintu, Tuan Putri." Grace memberitahu. Nada gadis itu takut-takut karena Alamanda sudah menarik napas kasar dengan tatapan yang tajam. Alamanda mendengkus.

Mahesa lagi. Pria itu bisa tidak, sih, tidak usah mengganggunya kalau memang belum mau memberikan kepastian? Alamanda muak. Sudah berapa kali jadwal pernikahannya diundur, ha?

"Bilang saja aku sibuk. Tidak bisa menemui." Alamanda ngambek. Grace terdiam.

"Masih menunggu apalagi? Katakan pada Mahesa. Aku tidak bisa menemuinya." Alamanda kembali berkutat dengan dokumennya. Grace masih di tempatnya.

"Nda, kita harus bicara." Suara tenor yang khas di telinga itu membuat Alamanda menoleh. Menemukan Mahesa yang sudah masuk dan berdiri di pintu ruangannya.

"Aku bisa melaporkanmu atas pelanggaran privasi, Pangeran. Pergi." Alamanda tidak mau dibantah. Mahesa malah maju. Perintah Alamanda terdengar seperti larangan baginya.

"Kita harus bicara, Nda." Mahesa mengukuhkan pendapatnya. Alamanda tertawa sinis.

"Mau bicara apa lagi, sih? Mau diundur lagi? Sampai kapan, Pangeran Huraymila?" Alamanda memalingkan wajahnya. Ia malu mempertontonkan matanya yang memanas. Nyatanya ia hampir menangis. Berhadapan dengan Mahesa selalu membuatnya merasa dilematis.

"Kita sudah bertunangan berapa tahun, loh? Putra Mahkota saja sudah punya istri. Padahal kita lebih dulu bertunangan. Kalau alasannya karena negara, mau sampai kapan menunggu negara tenang?" Alamanda meluapkan emosinya yang terpendam setelah sekian lama. Mahesa membeku. Mendengar kalimat Alamanda, Mahesa terkaget.

Naladhipa : The Crown Princess Where stories live. Discover now