Oh. Berarti kesimpulan Omar benar. "Apa mulai dari kecil atau baru-baru ini?"

"Nggak, Pak."

"Kalau boleh tahu, Bapak seperti itu karena apa?" tanya Omar.

"Masih jauh tempatnya, Pak?" Khaira enggan menjawab pertanyaan Omar. Rasanya tidak perlu bercerita sedetail itu pada Omar sebab mereka tidak sedekat itu.

Pria rambut pendek itu menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan ketika Khaira mengubah topik pembicaraan mereka. Omar kemudian membelokkan mobil ke ruko-ruko baru di pinggir jalan. Mereka turun dan disambut oleh dua orang agen properti dari pengembang. Tidak lama mereka sampai, sebuah mobil datang dan parkir tidak jauh dari mobil Omar.

"Sudah lama?" Pria yang baru datang itu bertanya, menjabat tangan dua agen properti di depannya.

Khaira sedikit menjauh agar para pria itu bebas bicara. Ia sejenak mengamati laki-laki yang baru datang itu, tidak asing, seperti pernah melihatnya tapi di mana? Untuk beberapa saat ia coba mengingat-ingat tapi buyar ketika terdengar tangisan bayi. Ah, sekarang Khaira ingat. Pria itu yang datang ke tokonya, yang mendapat julukan taman kota dari Adiba. Apa dia juga memiliki kepentingan dengan agen properti itu seperti Omar atau ....

"Khai." Omar memanggil perempuan itu untuk mendekat. "Kenalin ini abangku sama istrinya. Kalau ini bocah kesayangan kami, Al Kautsar." Omar mengambil Al Kautsar dari gendongan Ammar.

"Mira." Ilmira menyambut uluran tangan Khaira di sisi Omar. "Kayaknya pernah lihat tapi di mana ya?" Memang tidak asing tapi ia lupa di mana pernah melihatnya.

"Saya yang di toko busana muslim sebelah toko Pak Omar," sahut Khaira.

"Oh ya. Saya ingat. Nggak nyangka ketemu di sini."

Khaira mengangguk kecil. "Iya, Mbak."

****

Khaira berusaha mengusir Omar dengan halus. Ia kurang nyaman dengan keberadaan Omar di rumahnya. Bukan karena tidak suka hanya saja bagaimana dengan tanggapan tetangga sekitarnya melihat Omar berlama-lama di rumahnya. Tidak semua orang berpikiran positif, pasti ada satu dua orang yang berpikir negatif.

"Bapak nggak kerja?" Sudah kesekian kalinya Khaira bertanya begitu tapi Omar terlihat santai saja.

"Kalau mau ditinggal, tinggal saja. Biar aku sama Bapak di sini." Omar menemani Karmin membersihkan kandang burung kenari. Beliau seperti tidak terusik oleh kehadirannya. Sesekali Karmin melihatnya lalu kembali fokus pada hewan peliharaannya.

Dengan hati dongkol Khaira ke dalam. Sebenarnya tujuan Omar ke sini untuk apa? Mereka tidak dekat tapi pria itu bertingkah seolah-olah sudah mengenal lama. Terlebih lagi pria itu incaran Adiba, bisa jadi masalah kalau temannya itu tahu kunjungan Omar kemari. Astaghfirullah! Khaira tidak berharap hidupnya bertambah rumit dengan kehadiran laki-laki tersebut.

"Pak." Omar duduk di bangku pendek sebelah Karmin. Pria itu menatapnya lama. "Boleh saya menikahi Khai?" tanyanya. Karmin mengangguk. "Saya bawa ke rumah saya boleh?" Pria itu terlihat berpikir lalu mengangguk lagi. "Bapak restui kami, ya."

Namun, Omar berpikir harus menemui adik Khaira yang satunya untuk memperjelas keinginannya. Tapi bagaimana caranya Omar bisa bertemu dengan dia? Tidak mungkin ia minta nomor handphone-nya langsung pada Khaira, pasti wanita tersebut curiga.

"Assalamualaikum."

"Waallaikumusalam," jawab Omar dengan berdiri. Bocah laki-laki itu salim pada Karmin juga dirinya. "Bima, ya?"

Anak itu mengangguk. "Iya. Abang siapa? Ada perlu apa sama Bapak? Abang bisa bilang sama saya, nanti akan saya kasih tahu kakak."

Jawaban Bima begitu tegas untuk anak seusianya. Mungkin karena amanah ia emban, pikir Omar. "Nggak ada perlu apa-apa, cuma temenin Bapak saja. Abang temen Mbak Khai."

Bima tidak percaya begitu saja. Ia masuk rumah untuk bertanya pada Khaira, sebab hari ini kakaknya itu libur. Tak berapa lama keluar lagi tanpa tas sekolah.. Raut serius Bima perlahan mengendur mendengar nama kakaknya disebut. Ia pikir pria di depannya ini berniat buruk pada bapaknya. "Abang sudah ketemu sama Mbak?" Bima mengambil toples bekas kue lalu mengisinya dengan air. Toples itu ia letakkan didekat ayahnya untuk mengisi air minum burung kenari.

"Sudah. Mbak Khai mungkin lagi masak di dalam." Omar pindah ke samping Bima yang tengah melepas sepatu. Salah satu sisinya solnya lepas hingga kelihatan kaus kaki Bima. "Bim, Abang boleh tanya?" Anak usia sebelas tahun itu mengangguk, menatapnya lekat. "Punya nomor telepon Mas ...." Omar sengaja menggantung kalimat untuk memancing Bima.

"Mas Bayu?" sahut Bima cepat. "Punya. Abang mau minta?"

"Boleh?"

"Buat apa?" Bocah tersebut tidak begitu saja memberikan nomor kakak laki-lakinya.

"Abang nggak bakal buat aneh-aneh. Ada yang perlu dibicarakan sama Mas Bayu."

Bima akhirnya menyebutkan sederet nomor yang dihafalnya pada Omar. Pria yang pagi ini memakai kemeja putih motif vespa itu tersenyum lebar. Ia tidak perlu bingung lagi mencari cara untuk bicara dengan adik laki-laki Khaira. "Makasih ya, Bim."

"Sama-sama, Bang."

Tbc.

Stole Your Heart Where stories live. Discover now