Bab 34 ~ Dia Makin Cantik Saja

493 85 2
                                    


Obrolan seru mereka terhenti sejenak. Ponsel di saku Quinsha berdering. Dia memilih menjauh.

"Mas Reza ada, kok, Mi. Apa jangan-jangan tertidur ya?"

"..."

"Caca ada di kafe dengan adik-adik SMA. Sebentar Caca ke atas dulu."

**

"Kak Caca mana ya? Kok lama banget," tanya Uchy.

"Iya, nih! Kita sudah menghabiskan beberapa menu Kak Caca belum muncul juga," sahut Manda sambil memasukkan potongan pisang bakar berlapis coklat keju ke dalam mulutnya.

"Tadi dia ke arah lobi kan?" Fira meminta kepastian teman-temannya dengan memandangi satu persatu, "Coba disusul kesana, Chy!"

"Iya, Chy! Kali aja ngobrol dengan Kak Irfan." Manda membenarkan pendapat Fira sambil menyeruput es degannya.

"Kak Caca bakal ngobrol bebas dengan cowok? Yang bener saja! Kak Caca itu paling hati-hati dan paling menjaga interaksinya dengan lawan jenis." Kiya menafikan kemungkinan itu.

"Nggak ada salahnya kita menyusul ke sana. Siapa tau dia keasyikan menerima telepon?" Amanda meletakkan gelasnya yang sudah kosong.

"Baiklah," jawab Uchy tidak tahan dengan desakan teman-temannya.

Uchy tergesa melangkah. Penasaran. Itulah alasannya. Dia abai pada sekeliling. Padahal sepanjang Cafe Herbalize hingga lobi banyak aneka bebungaan yang sangat menarik perhatiannya.

Uchy melihat Irfan, kakaknya sedang menenggak teh dari mulut botol. Tidak sopan! Padahal ada sedotannya. Umpama tersedak? Memalukan bukan? Kakaknya itu walaupun penampilannya serupa ikhwan, tapi belumlah sampai pada kriteria ikhwan dalam bayangan Uchy yang aktif di rohis sejak kelas 10.

Kakaknya belum sepenuhnya seperti harapannya. Beberapa hal yang tidak disukai Uchy, kakaknya tidak selalu sholat tepat waktu. Tidak selalu berjamaah di masjid. Tidak selalu terdengar alunan tilawah dari kamarnya setiap kali dia pulang dari Jakarta. Sangat jarang keluar nasihat dari bibirnya. Dia sangat irit bicara. Tidak juga memenuhi permintaan mama papanya untuk menikah. Kakaknya menjadi berbeda setelah kepulangannya dari Jepang. Terlebih setelah bergabung dengan salah satu perusahaan otomotif terkenal dari negeri sakura itu. Kakaknya serasa makin jauh saja.

Semalam dia datang dari Jakarta dengan wajah hangat. Uchy memang menjanjikan kakaknya untuk bertemu dan berkenalan dengan mentornya di rohis. Uchy sudah memberikan gambaran singkat profil Quinsha yang dikaguminya. Saat inilah pertemuan yang dirancangnya itu. Tapi kemana Kak Caca? Tanya hatinya. Uchy menatap kakaknya yang menggoyang-goyang botol di tangan kanannya. Teh itu bergerak terayun.

---

Irfan menatap cairan coklat kemerahan di dalam botol yang digenggamnya. Benda cair itu bergerak ke kanan-ke kiri. Ke atas-ke bawah. Tidak stabil. Seperti itulah hatinya kini. Terombang-ambing ketidakpastian. Sekira empat puluh lima menit lalu dia melihat seorang pemuda memasuki lift di sudut itu. Lift dengan akses terbatas. Tidak sampai sepuluh menit setelahnya, seorang gadis cantik berhijab syar'i tergesa menyusulnya. Gadis itu Quinsha. Dia masih ingat detil wajahnya. Tiga tahun meninggalkannya, Quinsha semakin terlihat sempurna. Cantik saja tidak cukup untuk menggambarkan semua kelebihannya.

Dia terjerat pesona Quinsha. Saat itu mereka dipertemukan dalam sebuah kepanitiaan. Interaksi ketua dan wakil ketua menumbuhkan serabut-serabut tipis di hatinya. Irfan tahu itu sebuah kesalahan. Tapi apa mau dikata? Rasa itu tumbuh sesukanya. Dia masuk tanpa aba-aba. Justru ketika dia mengira hatinya aman-aman saja. Semakin dihalau, rasa itu semakin berkuasa saja.

Parahnya lagi, suasana hatinya, mungkin juga bentuk perhatiannya pada Quinsha mudah ditebak oleh teman-temannya. Mereka pun kasak-kusuk menjodoh-jodohkan dirinya dengan Quinsha. Suasana kepanitiaan tidak lagi kondusif. Quinsha mengundurkan diri. Sementara hari H semakin dekat. Mundurnya Quinsha justru menguatkan isu kedekatan itu.

Kepalang basah, dengan bismillah dia mengirimi Quinsha surat berisi CV-nya. Berharap Quinsha menerima khitbahnya. Kemudian menikah. Tidak akan ada lagi fitnah. Acara pun bisa tetap berjalan sukses. Sekali merengkuh dayung, dua tiga persoalan teratasi.

Di luar prediksi Irfan, Quinsha mengembalikan amplop berisi CV-nya. Amplopnya masih mulus. Amplop itu bahkan belum disentuh Quinsha. Dia yakin itu. Dirinya tersinggung? Tentu saja. Niat tulusnya untuk menghalalkan rasa yang tumbuh di hatinya, tidak tercapai.

Ustaz pembimbingnya yang sekaligus menjadi perantaranya menghiburnya. Beliau mengatakan, bisa jadi akhwatnya belum siap. Masih semester dua juga. Jodoh tidak perlu dikejar. Dia tidak lari kemana-mana. Hanya pesaingnya yang ada di mana-mana. Dia tergelak saat itu.

Memadamkan api sementara masih ada angin yang siap mengobarkannya, tentulah tidak bisa. Api itu pasti akan menyala semakin besar. Teman-temannya tidak berhenti menjodoh-jodohkan mereka. Upaya klarifikasi tidak berhasil. Dirinya makin terobsesi pada sosok Quinsha.

Dia harus menyelamatkan semuanya. Tidak. Bukan semata soal hatinya. Tapi juga hati Quinsha. Kenyamanannya berkuliah dan beraktivitas di rohis. Dia harus menyelamatkan teman-temannya dari kebiasaan buruk memasang-masangkan orang, menjodoh-jodohkan. Cukuplah dirinya dan Quinsha yang menjadi korban.

Allah mengabulkan pintanya. Beasiswa Monbusho dari pemerintah Jepang berhasil di dapatnya. Di sanalah Irfan kembali menata hati.

Jarak dan waktu memang terbukti sebagai penguji yang paling akurat akan sebuah rasa. Semakin menguatkah, melemah, atau bahkan mati. Apa kabar hatinya? Dia tidak bisa beranjak. Tetap berpijak pada poros yang sama. Quinsha Ameera Maharani. Gagal move on. Itulah gambaran dirinya.

Dari sekian banyak orang yang memasuki lift, mengapa Quinsha menyusul pemuda itu pada lift yang sama. Lift yang hanya mereka berdua yang memasukinya. Kesimpulannya sampai pada itu adalah lift khusus. Ya! Itu lift khusus. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menggunakannya. Tapi orang-orang tertentu siapa?

Irfan meletakkan botolnya di meja. Dia berjalan ke arah recepsionist.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Ada yang bisa kami bantu?"

"Ehm, maaf... kalau pertanyaan saya ini terdengar menjengkelkan atau dianggap iseng." Irfan mencoba mencairkan suasana. Mencoba terlihat santai padahal jantungnya berdetak cepat. Satu fakta akan terkuak.

"Silakan! Semoga kami bisa menjawabnya," sahut Rahmi dengan ramah dan penuh perhatian.

"Lift yang di sisi kiri itu kenapa tidak ada yang memasukinya dari tadi?" Irfan seraya menoleh ke arah lift yang menjadi pertanyaannya, "Lift barang?".

"Oh," Rahmi tersenyum, "Itu lift khusus pemilik hotel ini."

"Hotel ini milik gadis yang tergesa beberapa saat lalu itu?"

"Apakah Mbak Quinsha yang Anda maksud?"

"Quinsha?" Irfan mengedikkan bahunya. Isyarat dia tidak tahu menahu tentang Quinsha. Hatinya mencelos. Setahunya Quinsha anak pemilik Madani Tour andd Travel. Ayahnya bukan pengusaha hotel.

"Oh, saya pikir masnya mengenal Mbak Quinsha."

Uchy telah tiba di sisi kakaknya. Melingkarkan lengannya ke lengan Irfan. Dia mencoba memahami obrolan di depannya. Sepintas terdengar nama Quinsha disebut.

"Ehm, Mbak Quinsha itu mentor saya di rohis, Mbak. Ini saya lagi nyariin dia. Tadi kami ngobrol di cafe, kakak saya ini nunggu di sini. Lalu Mbak Quinsha menerima telepon, sampai sekarang dia belum kembali,"

"Mbak Quinsha masih ke atas sebentar, Dik," jawab Rahmi menatap Uchy.

"Ke atas?" tanya Uchy sama sekali tidak paham. Dia menatap Rahmi meminta penjelasan.

"Dia pemilik hotel ini?" Irfan menyela.

Uchy terkesiap. Tidak tahu bagaimana asalnya sehingga kakaknya mengira Quinsha pemilik hotel ini. Kakak mentornya pemilik hotel ini? Masa, sih? Belum satu jam lalu dia mengatakan setahun lalu pernah menyewa beberapa ruang di sini untuk mengadakan acara. Jika benar dia pemiliknya, tentu tidak usah menyewa satu pun ruangan di sini.

"Persisnya, Mbak Quinsha itu istri dari pemilik hotel ini," Rahmi mengakhirinya dengan manis.

Jeddeerrrr!

Quinsha Wedding StoryWhere stories live. Discover now