Bab 31 ~ Begitu Kalau Terlalu Percaya Diri

579 88 0
                                    

Reza sudah berlapang hati dengan menyusul Quinsha ke Matos. Apa itu belum cukup sebagai isyarat dia meminta maaf? Atau isyarat kalau dia memaafkan perbuatan Quinsha kali ini. Kali ini saja. Apa wanita di sampingnya ini lebih suka penegasan verbal juga? Kalau itu yang dimaui, nanti saja ketika suasananya tenang dan waktunya leluasa. Dia akan menjelaskan lagi betapa berat amanah yang ditanggung seorang suami. Dia juga akan meminta maaf kalau sampai sejauh ini belum bisa memahami sepenuhnya A-Z –nya Quinsha. Terlebih sekarang ini. Harusnya kesal Quinsha itu sudah menguap sejak insiden di pintu masuk Matos. Benar-benar tidak habis pikir! Quinsha merajuknya lama banget.

Breet! Breet! Breet!

Hati-hati ntar kesrimpet, lho... Ujung-ujung gamisnya mengeluarkan suara protes, karena langkah cepat pemakainya. Quinsha tampak sedikit kerepotan menyamai langkah-langkah panjang Reza. Sepertinya Reza melupakan fakta bahwa tangan mereka bergandengan. Quinsha sebenarnya ingin protes juga, tapi urung begitu mendengar suara iqamat memanggil-manggil jamaah untuk datang bergabung. Reza makin mempercepat langkahnya. Duh...

"Kita salatnya bergantian saja ya?" Reza memberi penawaran begitu kaki-kaki mereka menyentuh lantai masjid.

"Kita bisa sama-sama masbuk, kok! Masjid ini sangat aman," Quinsha menjawab tanpa melihat wajah suaminya. Dia meletakkan kantong belanjaannya di tempat penitipan barang.

"Baguslah! Kita bisa lebih cepat! Yuk, keburu selesai salatnya!" ajak Reza sambil melipat ujung celananya.

"Queen, titip ini," Reza mengangsurkan jam tangan, dompet, dan ponsel-nya.

Quinsha menerimanya dan buru-buru memasukkannya ke dalam tas selempangnya. Detik berikutnya dia balik kanan dan meneruskan langkah menuju tempat wudu wanita. Reza melihatnya sambil mengedikkan bahu. Hemh, wanita ya? Betapa sulit untuk dimengerti. Allah sedang menguji kesabarannya.

Quinsha segera mengantre toilet. Masih ada dua pengantre lagi. Dia bergeser ke toilet sebelah, karena ibu-ibu yang dikiranya pengantre, rupanya hanya mengantarkan putri kecilnya.

Innalillah!

Quinsha terpekik dalam hati. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Cemas dan khawatir seketika menguasainya. Matanya terasa panas. Dan butiran air pun jatuh tanpa bisa dibendung. Rasakan akibat kecerobohanmu! Bukannya Bu Endah sudah mewanti-wanti tadi siang? Rasakan akibat dari melalaikan kewajibanmu menghormati dan melayani suami sebaik mungkin! Akibat dari egomu! Hanya karena kata "ngelayap", kamu mengabaikannya? Dia, suamimu...Dia rela meninggalkan pekerjaannya demi kamu dan calon mutiara kecil kalian. Bagaimana kamu mempertanggung jawabkan semuanya pada Reza? Bagaimana kamu akan menjelaskannya? Lontaran kemarahan suara hatinya makin membuatnya terpukul. Sejak bertemu tadi, dia mengabaikan suara –suara yang menyerunya pada kebaikan. Suara yang memintanya memaafkan suaminya.

Sangat wajar Quinsha diliputi kecemasan, rasa bersalah, penyesalan, dan sebagainya. Ada flek pada panty liner yang dipakainya. Darah. Darah haidkah? Quinsha berusaha mengingat cepat ciri-ciri darah haid di antara perasaan berkecamuk. Warna darah haid coklat kehitaman dengan bau khas. Betul! Cirinya sesuai dengan noda yang tertinggal di panty liner. Ditambah semua keluhan yang dirasanya dua-tiga hari ini, sepertinya memang haid. Berarti dia tidak boleh salat sekarang! Berarti dia tidak hamil. Ah... Tulangnya serasa dilolosi.

Tapi bukannya tadi hasil test pack-nya positif? Apakah ada masanya ibu hamil mengeluarkan darah selain nifas? Quinsha mencoba berpikir jernih, meski tidak mudah. Sepanjang pengetahuannya yang tidak banyak tentang kehamilan, tidak ada. Berarti dia masih bisa salat sekarang. Darah yang keluar ini dihukumi sebagai darah istihadloh. Darah penyakit. Darah bukan karena haid dan nifas. Dia hamil. Dia tidak perlu menjelaskan apa pun pada suaminya.

Quinsha Wedding StoryWhere stories live. Discover now