🧩GAME IN PROGRESS🎮 : 09

756 54 0
                                    

Thursday.

-

Vanessa melahap suapan terakhir sarapannya pagi ini, setelah tidak ada lagi sisa makanan di piring, Vanessa bangkit dari tempat duduknya menuju wastafel.

"Biar Papa aja yang cuci nanti, Nessa."

"Gak apa-apa, Papa."

Kegiatan singkat mencuci piringnya selesai, Vanessa pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke sekolah.

"Kamu mau bawa bekal?" tanya sang ayah saat anaknya kembali ke ruang tamu sambil menggendong tas dipunggungnya.

Vanessa mengangguk membuat ikatan rambutnya bergerak, dia memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas dan beberapa snack yang dibelinya semalam.

"Uang jajan hari ini segini kurang gak?"

Enam lembar uang bernilai lima puluh ribu berada di atas meja makan, Vanessa menatapnya dengan mata melebar.

"Kurang? Itu kebanyakan, Papa!" Vanessa mengambil selembar uang, "segini aja cukup buat dua hari."

Sang kepala keluarga justru menggelengkan kepalanya, ia melipat kelima lembar uang tersebut dan memasukkannya pada almamater sekolah Vanessa yang tengah dikenakan.

"Kalau kebanyakan tinggal kamu tabung aja, kamu bilang selama ini temen kamu suka jajanin kamu di sekolah, kan? Nah, sekarang giliran kamu traktir dia jajan." Ayah mengusap lembut kepala Vanessa.

"Ya udah, kalau gitu aku pamit, ya? Udah jam setengah tujuh lebih."

"Kamu berangkat sama siapa?"

"Sama temen aku yang semalem nganterin pulang."

"Oh, yang ganteng itu. Temen apa temen?" Ayah mengangkat kedua alisnya naik turun, menggoda sang anak.

Vanessa mencebik kesal. "Temen, Papa. Udah, ah." Dia berjinjit mengecup kedua pipi ayahnya, tak mau kalah sang ayahpun mencium dahi Vanessa.

Gadis itu sedikit melirik pada pintu kamar ini dan ayahnya yang terlihat tertutup rapat. "Ibu masih belum bangun, Pa?"

"Biarin, masih tidur dia. Semalem abis Papa marahin."

Vanessa angguk-angguk saja, dia berjalan menuju keluar diikuti sang ayah dari belakang.

Rupanya di depan rumah sudah ada Nando yang terduduk di atas motor sembari melamun, ia datang sejak sepuluh menit yang lalu dan sengaja tidak menyalakan klakson motornya karena takut menganggu.

Semalam, saat dijalan menuju rumah Vanessa, Nando mengajak untuk berangkat sekolah bersama. Katanya dia bosan karena selalu sendirian mengendarai motor, dia juga tidak enak jika harus menumpang pada Eric terus-menerus. Kasihan Melody kalau Nando selalu menempel pada Eric.

Awalnya Vanessa sempat menolak karena merasa akan merepotkan Nando, tapi laki-laki itu bersikukuh ingin berangkat bersama.

Makanya Nando datang ke rumah Vanessa agak kepagian karena takut Vanessa berangkat duluan dan meninggalkannya.

Merasa Nando tidak menyadari keberadaannya, Vanessa mencolek bahu Nando hingga laki-laki itu terkejut, " anj ... astaga."

"Hehe, nunggu lama?" tanya Vanessa sambil tersenyum lebar.

"Gak, cuma tiga menit," ucap Nando berbohong. "Berangkat sekarang, nih?"

"Iya."

Nando menyerahkan satu helm full face miliknya pada Vanessa, satunya lagi untuk dirinya sendiri. "Gue liat-liat lo dari semalem girang banget, kenapa sih?"

Vanessa melirik pada pintu rumah yang sudah tertutup. "Soalnya papa udah pulang kerja, gue bakal baik-baik aja sekarang."

"Oh, pantes, berseri-seri gitu mukanya." Dirasa Vanessa sudah duduk nyaman di jok belakang, Nando menyalakan mesin dan bergerak meninggalkan kawasan rumah Vanessa. "Kita berangkat, pegangan."

.

Samuel menguap lebar untuk yang ketujuh kalinya, berkali-kali ia mengucek matanya yang begitu berat. Samuel benar-benar mengantuk.

Semalaman ia asyik bermain hingga tidak tidur, rencananya Samuel tidak ingin masuk sekolah hari ini, tapi dirinya kalau hari ini ada ulangan harian sejarah. Jadi, mau tidak mau.

"Lo tau? Anak kelas 10 ada yang meninggal."

"Siapa?"

"Luna."

"Ada banyak yang namanya Luna, woy."

"Itu loh, yang kemaren ngasih banana milk ke si Samuel, katanya dia jadi korban mutilasi, soalnya badannya ditemuin kebelah dua!"

Salah satu siswi itu merinding mendengar cerita temannya, dia semakin merasa ngeri saat berpapasan dengan Samuel.

Siswi itu menarik-narik baju temannya yang ada di sebelahnya. "Kalo yang bunuh ternyata si Samuel, gimana?" bisik siswi itu.

Si temannya melirik sedikit ke arah Samuel, "mungkin, tapi kalau iya kenapa si Naura masih hidup aja? Selama ini kan dia suka nyari perhatian si Samuel terus."

Bukannya marah atau kesal dituduh sebagai pembunuh, Samuel justru bersikap kelewat santai. Pembicaraan dua siswi itu terdengar jelas ditelinganya yang tersumpal earphone.

Iya lah terdengar, tidak ada musik apapun yang keluar dari earphone miliknya.

Semaki jauh, semakin tidak terdengar obrolan kedua siswi itu, Samuel merenyit mengingat siswi bernama Luna itu.

Ah, iya anak itu. Kemarin gadis itu mendatanginya dengan malu-malu lalu memberikannya sekotak susu pisang, Samuel menolaknya sebab tidak menyukai minuman itu.

Tapi siswi bernama Luna itu memaksa, yang membuat Samuel jengkel adalah satu batang rokok miliknya yang jatuh di lantai diinjak oleh gadis itu. Belum lagi moodnya sedang tidak bagus setelah bertemu dengan Vanessa.

Samuel berniat membuang minuman tersebut ke dalam tong sampah tepat di depan si pemberi minuman itu, ia berharap untuk tidak lagi memberikan barang apapun padanya karena sampai kapanpun Samuel tidak akan meminum, memakan atapun menggunakan barang apapun yang diberikan secara cuma-cuma.

Saat melempar, rupanya minuman itu malah menabrak sebuah pilar di samping tong sampah. Kemasannya bocor karena dilempar kuat, isinya kemana-mana bahkan terciprat ke seragam Luna.

Samuel hendak meminta maaf, tapi gadis itu lebih dahulu menampar pipinya dan pergi sambil menangis.

Tidak disangka, gadis itu mati mengenaskan.

"Baru satu, sekolah sebelah hampir satu kelas," gumamnya.

-

GAME OVER : Who's The Winner?[✓]Where stories live. Discover now