Soerang Tamu VII

9 1 0
                                    

MENGANDUNG UNSUR THRILLER, TIDAK DISARANKAN BAGI PEMBACA UMUR -13⚠️⚠️⚠️

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Yang melihat kejadian itu tertegun, bahkan Shiyamada, namun ia semakin dekat dengan ajalnya, ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya  terjatuh, pandangannya kosong menatap langit malam.

Pigor dikelilingi lingkaran sihir merah gelap dan dari ujung lingkaran  keluar sosok hitam tepat di depan Pigor. Sosok itu mendekati Pigor yang meronta-ronta, berusaha melepaskan rantai-rantai itu. Sosok-sosok itu semakin dekat dengannya, Pigor semakin panik, ia semakin meronta tak keruan, akal sehatnya sempurna hilang. Sosok itu mencengkeram Pigor, tangan-tangannya menembus kulit Pigor, membuat darah segar mengalir. Seketika malam terasa lebih gelap, Pigor memandang ke atas, ia tersentak melihat peti mati melayang di langit menghalangi cahaya bulan purnama. Sosok itu mengangkat Pigor, membawanya ke atas menuju peti mati itu. Rantai-rantai itu tercabut perlahan dari tubuh Pigor, ia dapat merasakan setiap cabang rantai itu lepas sedikit demi sedikit memberinya rasa sakit terdalam. Mereka semakin tinggi, Pigor mengerang dan meronta.

Mereka  berada di hadapan peti yang diberdirikan itu. Peti itu terbuka, memperlihatkan jarum-jarum panjang di dalamnya. Pigor menatap peti itu ngeri, memohon pengampunan pada sosok itu, tapi percuma sosok itu tidak memedulikan Pigor yang kini berlinang air mata, terus memohon sambil meronta-ronta, hanya hilang akal yang dapat membuatnya seperti itu.

Sosok itu melempar Pigor kedalam peti dan seketika peti langsung tertutup, ritual penyiksaan dimulai. Dari dalam terdengar Pigor yang menjerit-jerit, dari celah-celah peti menetes darah. Jarum-jarum itu terus mencincang tubuh Pigor sampai jeritan Pigor tak terdengar lagi. Peti itu perlahan lenyap bersama sosok hitam dan lingkaran sihir tadi. tubuh Pigor sudah tidak berbentuk lagi, entah yang mana kepala yang mana kaki, jasadnya jatuh begitu saja dari atas langit, ia mati.

Pigor sudah mati, Ikiru cepat-cepat berlari menuju ayahnya. "AYAAAH!!!" Ikiru berteriak untuk kesekian kalinya, ia berlari sambil mencengkeram dadanya. Perasaan apa ini. Kenapa aku merasa sesak. Kenapa aku menangis. Kenapa aku disini. Kenapa semuanya terjadi. Ikiru terus berlari.

Shiyamada memandangi langit malam yang kini dihiasi bintang gemintang, perlahan penglihatannya mengabur "Aah, apakah ini kematian? Ternyata sangatlah tenang dan damai." Ia terus memandang langit sampai tidak menyadari bahwa anaknya telah berada disampingnya.

"AYAAHH!!!!" Ikiru berhasil terduduk di sisi ayahnya, walau sempat terguling sebelumnya karena tersandung batu. Ikiru mengguncang tubuh ayahnya, air matanya mengucur deras tanpa tertahankan. Ayahnya menoleh, ia melihat Ikiru yang terisak. "Ayah, jawab aku." Ucapnya lemas, Ikiru membenamkan wajahnya di tubuh ayahnya yang bersimbah darah.

"Maafk-an ayah, Ikiru." Akhirnya Shiyamada membuka suara, wajah anaknya sedikit terangkat, ia paham betul dengan apa yang harus ia lakukan. "Maaf-kan ayahmu y-ang bodoh ini, Ikiru," Shiyamada meneteskan air mata. "Maaf-kanlah ayahmu ini yang membuat-mu harus memikul beban sen-dirian, yang telah membuatmu har-us mengha-dapi dunia yang ke-jam ini sendirian, yang telah membuatmu-UHUUK" Shiyamada terbatuk, mulutnya mengeluarkan darah. "Yang te-lah membuatmu harus hidup berdampingan dengan keben-cian yang ta-k berujung ini." Ikiru semakin terisak, air matanya makin deras mengucur, menyeka ingus di hidung. "Dari lub-uk hatiku yang paling dalam aku menyesal," lengang sejenak. "Aku ber-harap kau tidak membenciku-UHUUKK!" Ia terbatuk, mulutnya kembali mengeluarkan darah. Lengang sejenak, menyisakan derik serangga malam. "Aku ber-harap, benar-benar berharap, tetaplah hi-dup, Ikiru." Shiyamada menatap anaknya lekat-lekat, berlinang air mata." Aku moh-on, tetaplah hidup wa-lau dunia ini mengutuk-mu, nak. Kau harus tetap hid-up......"

Ikiru terdiam menatap ayahnya, terisak walau sebetulnya ia tak memahami semua perkataan ayahnya. Ikiru tersendat tangisannya. Ikiru memejamkan mata, berusaha menahan air matanya yang terus mengucur.

"Ikiru, dengar-kan baik-baik." lengang sesaat. "Ada banyak hal-yang ingin kukatakan pad-amu,"

Mendengar kata-kata itu, Ikiru menahan tangisnya sekuat tenaga, ia mendekatkan telinganya ke ayahnya, suara Shiyamada terdengar sayup-sayup, menunggu ayahnya melanjutkan wasiatnya.

"Hidup, ter-us hidup, dan h-idup," Shiyamada mengambil napas, dadanya terasa sangat sesak seakan hanya ada sedikit udara di dunia ini. "Kemu-dian mati un-tuk melanjutkan- hidup." Wajah shiyamada pucat pias, tangannya yang sejak tadi digenggam Ikiru mulai dingin.

Tangis Ikiru pecah, ia tak dapat membendungnya lagi, ia tengah menyaksikan ayahnya dijemput maut. genggaman tangan Ikiru semakin erat, tak berhenti memanggil-manggil ayahnya , ia belum siap dengan perpisahan ini.

"Ikiru," Shiyamada bergumam pelan, saking pelannya lebih terdengar seperti bisikan.

Ikiru yang kebetulan mendengarnya buru-buru mengentikan tangisnya dengan tenaga yang tersisa, sesekali terisak.

"ikiru," Shiyamada memejamkan mata sambil tersenyum tulus kepada Ikiru. "Harus sekolah, ya." Lambat laun senyumnya pudar dan Shiyamada menghembuskan napas terakhirnya.

Tidak, Ikiru kembali terisak dan kini napasnya tercekat. Ikiru menggeleng-geleng putus asa, tangannya berhenti menggoncang ayahnya. Aku tidak mau sekolah. Ikiru menatap lamat-lamat ayahnya. Aku takut sekolah, Ikiru tersendat tangisannya, perlahan kesadarannya mengabur, ia kelelahan. Aku benci- Ikiru tergeletak tak sadarkan diri  di samping ayahnya.






















Return 0: Awal; Bag IDonde viven las historias. Descúbrelo ahora