Delvin hanya menatap tajam. "Kalian ngebuat kita nunggu kek orang bodoh disini." Lion hanya terkekeh, ia pun merangkul Delvin.

"Sabar dong bro, tadi macet."

Delvin berdecak.. "Lo pikir gw ga tau kalau kalian tukang nyerobot!" sewotnya. Ia menepis tangan Lion yang berada di pundaknya. Sementara lainnya hanya menggelengkan kepala.

Abian, pemuda jangkung berada di dekat Nathan. Menoel pipi gembul milik Nathan dan berkata. "Adik manis, lama menunggu?" ujar Abi di sertai senyuman.

Nathan mengeram dalam hati. Astaga, apakah dia harus bersikap manis sekarang? Tapi di ingat-ingat jika di luar mansion atau jauh dari anggota keluarga, Niel menjadi pribadi berbeda. Maka tanpa ragu, Nathan mengambil jari telunjuk Abi yang di gunakan untuk menoel pipinya.

"Jari kakak bau dosa!" Sengitnya memandang garang Abian. Wajahnya ia buat seseram mungkin.

"Pftt.. " Pemuda di sebelah Abi tertawa lepas. Dia Marvel tertawa melihat penolakan Nathan serta wajah merengut Abian.

Abian menepuk 'pelan' pundak Marvel agar temannya itu berhenti tertawa. "Jangan seperti itu adik manis. Hati kakak tampanmu ini sakit sekali, " ujar Abi mendramatisir yang jatuhnya alay di mata Nathan.

"Memang kakak tampan?"

Jder!

"Wajah mirip kodok kebelet kawin aja bangga." Oke, itu bukan Nathan. Mulutnya saja yang gatal ingin mengatakan itu.

Tentu saja perkataan itu mengundang tawa dari mereka bertiga minus Abian tentu saja, pemuda itu pundung.

"Apa yang kalian tertawakan?" sapa seseorang. Mereka pun menghentikan tawa mereka kala Rafael menyapa dengan senyuman.

Nathan sedikit terbiasa dengan ini. Mungkin kedepannya, ia akan sering bertemu dengan Rafael.

"Oh Rafael.. Kami menertawakan kekonyolan Abian, " jawab Marvel. Dia menyeka sudut matanya yang terdapat air mata.

"Kenapa dengan kak Abi? " tanyanya. Dia berjalan melangkah lebih dekat.

"Kepo amat lo, " sungut Abian. Dia yang pundung sedikit judes membalas Rafael.

"Jangan judes gitu dong tampan." Marvel mencolok dagu Abian. Menggoda temannya yang wajahnya sekarang memerah karena kesal.

"Anjir Vel.. Lo kayak si Rudi bencong hahaha! Bagus lo kumpul sama si Rudi. Udah cocok jadi cewe jadi-jadian, " celetuk Lion.

"Sialan lo!"

Terjadilah aksi kejar kejaran antara Marvel dan Lion. Mereka berlari duluan masuk kedalam meninggalkan teman-temannya.

***

Nathan melangkah lebar, di dalam mansion terdengar ricuh. Suara tangis dari seseorang membuat Nathan semakin cepat berjalan. Langkahnya berhenti ketika melihat anggota keluarga Barrack berada di tengah ruangan.

Alisnya mengernyit ketika melihat Catra dengan penampilan kacau, di peluk oleh Sania begitu erat. Wanita itu enggan melepaskan putranya yang terluka.

Matanya tak sengaja bersitubruk dengan Nathan. Sania langsung menatap tajam. "Kau!! Kau kan yang melakukan ini pada Catra?!" Teriaknya menuduh Nathan. Sontak beberapa pasang mata melihat kearahnya.

"Hah?" Nathan speechless di tempat. Melakukan apa?  Kenapa Sania mengatakan sesuatu seperti sedang menuduhnya.

"Sania, letak sekolah Catra dengan Niel saja sudah berbeda." Darma berceletuk lelah. Dia memijit pelipisnya. Tadi, putranya datang dibopoh oleh teman sekelasnya. Keadaannya lemas. Teman Catra mengatakan jika Catra mengalami perundungan.

Catra tak sadarkan diri ketika hendak di bawa ke kamar. Sania yang mengetahuinya langsung berteriak histeris memeluk Catra. Darma yang sigap ingin membawa putranya ke atas untuk mendapatkan perawatan. Tetapi istrinya menolak dan mengacuhkan ucapannya. Menangis memeluk Catra yang tak sadarkan diri.

"Siapa tau bukan, dia menyuruh seseorang untuk melukai putraku." Sania menuduh Nathan tak mendasar. Dia mengatakan hal itu berdasarkan spekulasinya saja.

Dominic maupun Berlyn tentu tak senang mendengarnya. Sean dan Kairo pun mendatarkan wajah. Rasa kasihan maupun iba mereka hilang ketika Sania malah menyudutkan adik mereka.  Sean melangkah ke dekat Nathan, kemudian mengajak Nathan untuk pergi diikuti Kairo.

"Kita pergi."

Nathan yang di landa bingung pun hanya bisa mengikuti langkah Sean. Sebenarnya dia penasaran apa yang telah di alami Catra. Tetapi kedua abang Niel lebih dulu menyeretnya pergi.

Melihat kepergian ketiga putranya Berlyn berkata pada Bennedict. "Kami akan pergi ke Mansion kami." lalu pergi. Sebelum itu, dia melirik Sania dengan ekor matanya. Jika saja ini bukan di Mansion, jikalau pula Sania bukan iparnya.. Maka dengan senang hati Berlyn membuat Sania tersiksa.

"Tidak Berlyn.. Kalian tetap disini. Jangan bawa cucuku." Marry tidak setuju.

Berlyn tidak peduli, dia acuh dan melanjutkan langkahnya. Dominic mengikuti sang istri tanpa berkata apapun. Menepuk pundak Darma sebelum dia pergi. Bukan tepukan penyemangat, melainkan ancaman.

Jika itu adiknya.. Maka dia pasti akan paham.










Tbc.

Being the youngest - End - TERBITWhere stories live. Discover now