3. Permintaan Mehrunnisa

85 6 0
                                    

Kota Yogyakarta, 1980

“Aku meminta padamu untuk mau menikah dengan suamiku Kanigara,” pinta Mehrunnisa, menyatukan kedua tangan.

“A—apa?! Kau sudah hilang akal?! Apakah kau sadar dengan permintaanmu itu?” tanya Cendana merasa terkejut sekaligus marah. Sama sekali tidak menyangka dengan permintaan yang diajukan oleh Mehrunnisa padanya.

Mehrunnisa tersenyum tipis, sudah menebak jika respon dari Cendana akan seperti itu. Mehrunnisa mendekati Cendana yang kini berdiri membelakanginya, satu tangan Mehrunnisa menyentuh bahu Cendana. Namun, Cendana sama sekali tidak menoleh.

“Cendana, aku berjanji akan memberikan apapun yang kau minta asalkan kau mau menikahi Kanigara,” ujar Mehrunnisa, semakin membuat Cendana tak habis pikir.

Cendana langsung berbalik, menghadap pada Mehrunnisa. “Apa karena kau orang berada sedangkan aku orang susah. Lalu kau bisa dengan sesuka hati memintaku untuk berada pada posisi yang sangat bertentangan dengan ideologi ku sebagai perempuan?!” tanya Cendana.

“Bukan maksudku untuk menempatkanmu pada posisi yang hina, Cendana.”

“Lalu apa, Nyonya Mehrunnisa?”

Mehrunnisa terdiam, berpikir sejenak untuk mengatakan suatu kebenaran yang sangat berat untuk di ucapkan olehnya pada Cendana. Suara jam dinding mengisi keheningan antara Mehrunnisa dan Cendana. Di satu sisi Cendana menunggu, masih membutuhkan kejelasan alasan dari permintaan Mehrunnisa tadi.

“Aku akan mati, Cendana. Tidak lama lagi ajal akan menjemputku,” tutur Mehrunnisa, satu tetes air mata berhasil luruh di pipi kirinya. Tetapi, Mehrunnisa masih tetap berusaha untuk tersenyum.

Cendana tergemap, memandang Mehrunnisa. Tampak tidak percaya dengan penuturan Mehrunnisa. Meskipun Cendana tahu, Mehrunnisa tidak berbohong.

“Karena sakitku ini, aku tidak bisa memberikan keturunan pada Kanigara. Jika aku mati, maka aku benar-benar akan meninggalkan Kanigara sendirian. Karena itu Cendana, aku ingin menjadikanmu istri Kanigara. Setidaknya setelah kepergianku, Kanigara tidak akan sendirian dan kau bisa memberikannya seorang anak,” jelas Mehrunnisa, berharap Cendana berubah pikiran.

“Cendana aku mengerti kau adalah seorang gadis cerdas. Permintaanku ini pasti sangat bertentangan dengan prinsipmu. Tapi, setelah aku tiada, kau akan menjadi satu-satunya istri Kanigara dan kau akan mendapatkan hak mu sepenuhnya. Sebelum aku mati, aku ingin Kanigara menikah. Karena jika tidak, Kanigara pasti tidak akan mau untuk menikah setelah kematianku.”

“Ku mohon pikirkan kembali permintaan terakhir ku ini, Cendana. Aku hanya percaya padamu untuk menjadi istri Kanigara,” ujar Mehrunnisa.

Lamunan Cendana terpecah ketika mendengar suara yang diciptakan dari aktivitas ibu menumbuk padi dengan alu dan lesung. Tangan kanan Cendana masih menggenggam pulpen, belum memulai untuk mengoreksi tugas murid-muridnya. Sudah sehari berlalu, tapi permintaan Mehrunnisa masih menjajah isi pikiran Cendana.

“Menikah dengan Kanigara akan memperbaiki kehidupan mu di masa depan Cendana,” ujar Ibu, seakan bisa menebak apa yang sedang Cendana pikirkan saat ini. Selain bertemu dengan Cendana, Mehrunnisa ternyata sudah menemui Ibu Cendana lebih dulu. Berbeda dengan respon Cendana yang dengan tegas menolak permintaan Mehrunnisa. Ibu justru setuju dan mendukung Cendana agar menikah dengan Kanigara. Karena berpikir hidup Cendana pasti akan jauh lebih baik.

“Masa depan yang tidak membuat Cendana bahagia, Ibu?” tanya Cendana, membuat alu yang sedang Ibu genggam untuk menumbuk padi dalam lesung itu langsung terhenti. “Cendana masih ingin untuk melanjutkan pendidikan.”

“Kita ini orang susah, Cendana. Uang dari mana untuk melanjutkan pendidikanmu itu?” tanya Ibu, Cendana terdiam tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu.

Ibu benar-benar menghentikan aktivitasnya menumbuk padi dan menghampiri Cendana dengan tatapan penuh harap. Satu tangan ibu terangkat, mengusap pelan kepala Cendana. Semua yang diinginkan oleh ibu, Cendana mengerti itu adalah yang terbaik untuk Cendana sendiri. Tetapi disisi lain, Cendana tidak bisa mengorbankan mimpi-mimpinya.

“Cendana sudah pintar membaca dan menulis, bukan? Lalu untuk apa Cendana tetap ingin melanjutkan sekolah? Untuk pekerjaan dengan gaji besar? Dengarkan Ibu Cendana, sepintar apapun perempuan, akan tetap kalah dengan mereka para pria. Kodrat kita berada di dapur, mengurus suami dan anak. Sekolah setinggi apapun akan terasa percuma untuk kita,” jelas Ibu.

Perkataan ibu tidak salah, budaya patriarki disini masih cukup kuat. Di mana sistem sosial menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan mendominasi segala bidang, termasuk dalam pekerjaan. Cendana membenci budaya patriarki, budaya itu seakan menjadikan seorang perempuan sebagai pihak yang lemah dan tertindas.

“Ibu ingat? Ketika Cendana masih kecil, Ibu selalu berkata pada Cendana 'ngunduh wohing pakerti'. Usaha apapun yang kita lakukan, pasti akan membuahkan hasil yang sepadan. Kenapa sekarang Ibu memaksa Cendana untuk berserah diri?” tanya Cendana pada Ibu.

“Apa yang Ibu katakan dulu, sudah berbeda dengan kondisi saat ini Cendana. Ibu mohon mengertilah, Ibu dan Bapak sudah tua. Cendana, kau satu-satunya anak kami. Ibu hanya ingin kebaikan pada masa depanmu,” ujar Ibu masih berusaha membujuk Cendana.

“Cendana anakku...” panggilan itu tidak berasal dari ibu melainkan dari bapak yang baru saja tiba di rumah selepas pergi mencari kayu di hutan untuk dijadikan sebuah warangka keris.

Bapak berjalan dengan kakinya yang pincang, akibat beberapa tahun lalu bapak pernah mengalami sebuah insiden di hutan yang mana menyebabkan satu kaki bapak terluka dan sampai saat ini berdampak pada cara berjalan bapak. Ibu menghampiri bapak untuk mengambil alih barang bawaan bapak. Sempat mendengar percakapan Cendana dan ibu, bapak mengerti apa yang tengah diperdebatkan.

Bapak menghampiri Cendana, sambil menghela nafas, bapak berkata, “Cendana, bapak tahu begitu berat permintaan Mehrunnisa untukmu. Tapi Nak, kau tahu ini permintaan terakhirnya. Setelah Bapak pikirkan kembali, menikah dengan Kanigara tidak seburuk itu.”

“Tidak buruk? Bapak, jika Cendana menikah dengan Kanigara. Maka, Cendana akan menjadi istri keduanya. Bapak juga tahu, bagaimana pemikiran-pemikiran masyarakat tentang posisi istri kedua,” balas Cendana, masih tidak bisa di bujuk.

“Kau yakin akan ada masyarakat yang berani berpikiran buruk tentang istri dari Kanigara?” tanya Bapak.

Cendana diam, keluarga terhormat, disegani oleh kalangan masyarakat, serta memiliki pengaruh besar dalam pekerjaan-pekerjaan masyarakat sini, itulah sejauh yang Cendana tahu tentang keluarga Kanigara. Melihat itu semua, memang pasti tidak ada yang berani untuk berkata hal buruk pada keluarga Kanigara.

“Sejauh ini Bapak mengenal Kanigara. Dia bukan seseorang yang memiliki karakter buruk Cendana. Bahkan keluarga Kanigara sendiri sangat berjasa pada kita. Kau ingat saat kaki Bapak terluka akibat terkena anak panah beberapa tahun lalu?” tanya Bapak, Cendana diam lagi, masih mengingat betul kejadian itu.

“Keluarga Kanigara lah yang membantu biaya pengobatan Bapak,” lanjut Bapak.

“Tolong Cendana, jangan pikirkan bahwa ini permintaan Mehrunnisa. Pikirkan bahwa ini baik untuk masa depanmu. Bapak yakin setelah menikah, Kanigara tetap mengizinkanmu untuk mengajar di sekolah,” ujar Bapak, terus menerus berusaha membujuk Cendana.

“Tapi, Cendana tidak mencintai Kanigara dan Kanigara bahkan tidak mengenalku. Bagaimana bisa seseorang menikah tanpa saling memiliki perasaan?” tanya Cendana.

“Cendana, rasa cinta tidak harus ada sebelum pernikahan. Bisa saja, setelah menikah perasaan cinta itu tumbuh perlahan,” jawab Ibu.

“Tapi Ibu, bagaimana kalau nanti setelah menikah, aku justru menemukan cinta lain dan orang itu bukanlah Kanigara,” ucap Cendana. Bapak dan Ibu langsung terdiam.

****



To już koniec opublikowanych części.

⏰ Ostatnio Aktualizowane: Dec 15, 2023 ⏰

Dodaj to dzieło do Biblioteki, aby dostawać powiadomienia o nowych częściach!

ABHICANDRAOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz