PROLOG : Di Kala Netra Sang Gadis Tertuju Padaku

361 23 0
                                    

Titik 0 KM, Yogyakarta 1980

“Sudah berapa kali aku bilang?! Aku tidak buta!” sang gadis semakin mempertegas perkataannya padaku. Tidak menuruti perintah dari sang gadis, aku justru semakin mempererat cengkraman tanganku pada pergelangan tangannya, namun sebisa mungkin aku tidak menyakiti sang gadis.

“Aku tau, Nona masih belum bisa menerima takdir Nona. Tapi, mengerti lah! Ini demi keselamatan Nona,” ujarku pada sang gadis.

Raut wajah cantik sang gadis tampak semakin bermuram durja atas sikapku padanya. Suara satu tarikan nafas terdengar dari sang gadis, lalu kedua mata sang gadis langsung menatap ke arahku, pandangannya tepat pada kedua mataku.

Beberapa saat berlalu, dan aku baru memahami mengapa sang gadis menatap tepat di kedua mataku. Ya, untuk membuktikan bahwa sang gadis bukan seorang tuna netra. Perlahan aku melepaskan cekalan tanganku dari pergelangan tangan sang gadis.

“Apa orang buta bisa memandang orang lain tepat di kedua matanya?” tanya sang gadis.

Aku terdiam sejenak, jawaban dari pertanyaan sang gadis sudah aku ketahui. Tetapi aku memilih tak menjawab. Kedua netra dari sang gadis yang tertuju padaku seakan-akan menjadi sebuah perekat sehingga tak ada sepatah katapun yang berhasil keluar dari mulutku. Beberapa helai anak rambut sang gadis bergerak-gerak kala angin meniupnya, berusaha untuk mengganggu pandangan mata sang gadis padaku.

“Aku sangat paham dengan niat baikmu itu, Tuan. Tetapi terkadang niat baik hanya baik dalam bentuk niat, bukan tindakan,” kata sang gadis lagi, tangannya terangkat membenarkan helai anak rambut yang menutupi matanya.

Penuturan dari sang gadis memang benar. Niatku sudah benar, ingin membantu seorang gadis untuk menyebrang jalanan yang ku kira adalah seorang penyandang tuna netra. Seharusnya, aku tidak beranggapan semua orang yang membawa tongkat Instisblind (Intelegent Stick for Blind) adalah orang tuna netra.

“Maaf Nona, sepertinya aku sudah salah paham. Karena kau membawa tongkat Instisblind, ku pikir kau orang yang memerlukan bantuanku,” ujarku setelah cukup lama terdiam.

“Aku sudah memaafkanmu, permisi,” balas sang gadis sekaligus berpamit padaku.

Sang gadis langsung beranjak pergi dari hadapanku dengan langkah terburu-buru. Aku masih berdiri di pijakan yang sama. Tak bergerak sedikit pun dari kawasan titik 0 KM. Arah pandangku masih tertuju pada punggung belakang sang gadis yang semakin lama semakin menjauh dari pandanganku lalu hilang di telan kerumunan orang-orang yang saling berlalu lalang di trotoar jalan.

Baru kusadari rintik gerimis mulai berjatuhan di bumi. Ini musim hujan pertama, setelah kemarau cukup panjang. Bersamaan dengan hari pertama di musim hujan, aku bertemu dengan sang gadis tadi. Entah jimat apa yang di pakai oleh sang gadis tadi, hingga dirinya mampu membuat pandanganku selalu tertuju padanya.

Aku merutuki diriku sendiri sekarang, menyesal karena tidak bertanya siapa nama dari gadis itu. Perlahan rintik gerimis semakin deras, dalam sekejab orang-orang yang semula berjalan dengan tenang mulai berhamburan mencari tempat berteduh. Terkecuali aku yang menerima serangan demi serangan dari langit dengan tenang.

“Hei anak muda!” panggil seorang pria paruh baya yang hendak berjalan melewatiku. “Segera lah meneduh! Ini musim hujan di hari pertama, atau kau akan sakit,” ujarnya lalu langsung pergi karena takut hujan akan semakin membuatnya basah.

Aku hanya membalas pria paruh baya tadi dengan tersenyum. Satu fakta, aku begitu menyukai hujan, meskipun hujan tentu akan membuatku sakit. Melihat di sekitarku, trotoar jalan sudah mulai sepi, mungkin sekarang hanya aku sendiri yang berdiri disini. Isi pikiranku masih berputar tentang sang gadis tadi. Sisa-sisa penyesalan masih mengarungi batinku.

Tidak apa, hari esok aku akan kembali menunggu gadis itu di tempat yang sama, kala aku pertama kali melihatnya. Besok aku akan kembali lagi, tepat di Titik 0 KM ini untuk bertemu kembali dengan sang gadis.

****












ABHICANDRAWhere stories live. Discover now