27 [Happiest Day]

Start from the beginning
                                    

Ayah maira yang pertama beranjak, di susul dimas, dan alan yang terakhir.

"Lan adiknya bangunin suruh sarapan dulu", pinta ibu pada alan.

"Dim, bangunin pacar kamu sana", pinta alan sambil menyenggol kaki dimas.

"Nggak, nanti dia marah sama aku seharian, kamu aja lan, kamu kan kakaknya", ujar dimas sambil mulai mengambil nasi uduk di depannya.

"Kok malah lempar-lemparan", marah ibu pada alan dan dimas.

"Berangkat ke pantai jam berapa dim", tanya ayah maira.

"Jam sepuluh yah", jawab dimas.

"Yaudah biarin aja bu, nanti ayah yang bangunin habis sarapan", ujar ayah maira.

Selesai sarapan, dimas bermain playstation dengan alan di kamar alan, sambil menunggu maira bangun.

"Lan kamu waktu itu mergokin rara ke bosche ya", tanya dimas sambil tetap fokus pada layar game yang ada didepannya.

"Iya, bandel banget tuh anak, mana ke bosche pakai bajunya minimalis lagi", gerutu alan.

"Tau darimana kamu kalau maira disana", tanya dimas.

"Temen-temen sekolahku yang lagi pada disana, kebetulan mereka tau kalau maira itu adikku, langsung deh mereka laporan sama aku", jawab alan.

"Kamu larang tuh pacar kamu main-main malam ke sana lagi", pinta alan.

"Udah ku larang kok, sekarang katanya udah nggak pernah ke sana lagi", ujar dimas.

"Bagus-bagus", jawab alan.

Pukul sembilan pagi, dua sahabat maira, rani dan mia, datang ke rumah maira.

"Rara masih belum bangun bu", tanya rani pada bu mona yang ada di ruang tamu.

"Belum, bangunin gih udah siang", pinta bu mona.

Dimas yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk menyudahi permainannya dengan alan, dan berjalan ke ruang keluarga.

"Kamu dateng jam berapa dim", tanya rani pada dimas.

"Jam tujuh", jawab dimas acuh

"Kok rara nggak di bangunin sih", keluh rani.

Dimas hanya mengangkat bahunya, lalu duduk di sofa ruang keluarga, dan kembali menyalakan televisi.

Rani dengan muka kesal masuk ke kamar maira, dan membangunkan maira secara paksa.

"Ra ini udah jam sembilan, bukannya bangun dari tadi, malah belum siap-siap juga", omel mia pada maira.

"Nggak ada yang bangunin", protes maira.

Maira lalu keluar dari kamarnya dan langsung duduk di depan meja makan.

"Ra kamu nggak malu apa pacar kamu nungguin kamu dari pagi", ujar bu mona yang berjalan dari ruang tamu ke ruang keluarga.

Maira kemudian melihat dimas yang sedang menatapnya dan maira langsung menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari-jari tangannya, lalu tersenyum pada dimas.
Sedetik kemudian, maira berdiri dan berlari ke kamar mandi.

Melihat tingkah maira yang sangat menggemaskan, membawa tawa kecil di wajah dimas.

"Emang tadi ayah nggak jadi bangunin rara bu", tanya alan yang baru keluar dari kamarnya.

"Nggak tega kata ayah tadi", jawab bu mona.

Alan kemudian bergabung dengan dimas dan ibunya untuk menonton siaran pagi.

Begitu maira keluar dari kamar mandi, dia langsung sibuk menyiapkan barang-barang yang akan maira bawa ke pantai.

Maira yang selalu memanggil ibunya, untuk menanyakan hal-hal yang harus dia bawa, mulai dari celana jeans pendek dia, sampai tupperware dan peralatan dapur lainnya, membuat bu mona yang semula tenang menonton televisi, mulai emosi.

"Makannya jangan bangun siang-siang, sekarang jadi buru-burukan", omel bu mona pada maira.

Maira hanya cemberut sambil menyiapkan bekalnya.

"Kenapa nggak makan siang di pantai aja nanti", tanya bu mona.

"Temanya piknik bu, makannya aku dari kemaren bikin puding sama beli kue", jawab maira.

"Terus sekarang kamu cari apa lagi", tanya bu mona.

"Sendok kecil warna warniku kemana", tanya maira sambil cemberut.

Bu mona kemudian membuka lemari kabinet nomer tiga, dan menunjukkan tempat dia menyimpan peralatan makan.

Maira tersenyum, dan langsung mengecup pipi ibunya.

"Udah semua", tanya bu mona.

"Udah", jawab maira sambil tersenyum.

Maira kemudian berjalan ke arah sofa dan menarik tangan dimas.

"Ayo jalan", pinta maira.

"Kamu nggak ikut lan", tanya dimas.

"Pergi sama mereka itu sama aja kayak pergi sama anak SD, malu-maluin plus berisik, udah kamu aja yang ngurusin mereka", jawab alan sambil mengangkat kedua tangannya, dan dibalas dengan juluran lidah oleh maira.

Sampai di depan rumah, dimas melihat wawan dan seto masih mengobrol di depan rumah kiki.
Dimas lalu membuka bagasi mobilnya, dan merapikan barang bawaan maira dan teman-temannya.

Perlengkapan pikinik mulai dari tikar, dua plastik snack sampai kotak-kotak tupperware berisi makanan, serta tas-tas baju ganti milik delapan mahasiswa, memenuhi bagasi mobil dimas.

"Aku aja yang nyetir berangkatnya dim", pinta nia, salah satu sahabat maira.

Dimas lalu memberikan kunci mobilnya pada nia tanpa perasaan khawatir.

"Nyampai nggak ia kakimu", tanya kiki.

"Nyampailah, aku nggak sependek rara sama mia", jawab nia.

Wawan dan seto kemudian mengukur tinggi badan mereka dengan tinggi maira.

"Seto tinggi kita nggak jauh beda lagi", protes maira, saat seto mensejajarkan tingginya dengan maira.

"Kok kamu malah dapet pacarnya yang tinggi banget kayak tiang listrik ya", gurau seto pada maira.

"Namanya memperbaiki keturunan", jawab maira asal.

Dimas hanya tertawa mendengar candaan dari seto.

Tinggi badan dimas yang hampir mencapai 182 sentimeter, memang membuat dimas selalu terlihat menjulang diantara teman-temannya.

***

After SunsetWhere stories live. Discover now