AT -002

10 1 0
                                    

Sore ini langit kota terlihat menyendu, karena awan memilih menyelimuti ketimbang mengalah pada matahari. Karena hal itu pula, Amarra bergegas pulang setelah kegiatan eskul silatnya, sembari berjalan cepat ia membuka ponsel dan menelfon nomor sang abang, sialnya tidak ada yang mengangkat padahal ponsel itu terus berdering.

Sesaat kemudian langit mulai meruntuhka rintisan hujan dari awan, hingga akhirnya Amarra harus menunggu hujan reda di pos satpam, bahkan satpam sekolahan saja sudah pulang. Hari ini jadwalnya melaksanakan piket eskul dan karena itu juga dia harus sendirian disaat teman eskulnya sudah kembali kerumah.

Langit semakin menggelap, hawa dingin mulai merayap masuk ke sela-sela kulit Amarra. Sialnya bukan mereda hujan malah semakin melebat, di temani oleh gemuruh petir yang tak kunjung usai. Amarra takut, gadis itu paling tidak suka dengan suara petir saat hujan, menurutnya itu sangat menyeramkan.

Bahkan hanya untuk mengetik di keyboard ponsel saja sampai salah beberapa kalimat, tangan itu gemetar karena dingin dan juga rasa takut. Amarra memang tangguh, bahkan ia sudah menjuarai beberapa perlombaan silat, namun tetap saja dia adalah seorang gadis dengan ribuan ketakutan, terlebih setelah Amarra menyadari bahwa ia mengalami gangguan kecemasan akut.

"Bunda angkat plis, mara takut di sini. Mau pulang ...." Suara yang tadinya tenang mendadak berubah menjadi sebuah isakan, di iringi suara petir yang semakin menggelegar.

Di lain tempat, tepatnya di rumah milik Danu. Pria iti tengah meneguk kopi hitamnya sembari mengerjakan nya sebagai guru honorer, serta kedua putranya yang sedang asik menonton film horror dengan volume begitu kencang.

Danu melirik sekitarnya, mencari-cari tanda kedatangan sang putri bungsunya yang belum juga terlihat. Netra legamnya menatap Liam si sulung, kemudian memanggil nama itu dan menyuruhnya mendekat.

"Iya kenapa yah? Padahal aku lagi asyik nonton," jawab Liam dengan muka masam, ia memiliki firasat akan disuruh menjemput sang adik.

Danu menghela nafasnya, "Jemput adik kamu ya, sudah sore begini hujan juga. Takutnya kenapa-kenapa," pinta Danu dengan nada lembut.

Liam berdecak, bisa Danu lihat tidak ada raut senang dari wajah sang putra. "Nanti bensin nya ayah ganti."

Mendengar tawaran itu tentu membuat Liam bersemangat, dia pun bergegas ke kamar san mengambil jaker serta jas hujan, kemudian kembali pada sang ayah.

"Mana uang bensinnya, aku mau beli sekalian." Hingga akhirnya sang ayah memberikan uang senilai dua puluh ribu rupiah, hal itu tentu membuat Liam sennag bukan kepalang.

Sebelum beranjak meninggalkan rumah, Liam membuka ponsel dan melihat panggilan beruntun dari sang adik, namun bukannya menelfon balik ia malah mengirim pesan singkat kemudian berjalan ke samping rumah untuk mengambil motor.

Ping!

Sebuah notifikasi pesan masuk pada hp Amarra yang batrainya sudah sekarat, dengan mata berbinar gadis itu membaca dan membalas pesan dari sang abang. Kemudian dengan perasaan sedikit tenang Amarra mendudukkan dirinya di kursi plastik di sana, sembari mengawasi jalan dan menunggu Liam datang.

Bang iam🖕

[ Iya otw ] 15.45 wib

"Udah mau reda nih hujannya, gak balik lo?" tanya Dendi, teman satu kost Liam dulu yang tengah menemani pemuda itu untuk mengopi dan mengobrol santai.

Iya, Lima tidak langsung menjemput sang adik, melainkan melipir dulu ke angkringan tempat ia kerap nongkrong dahulu.

Mendengar ucapan Dendi membuat Lima terdiam sebentar, kemudian melirik jam ditangan kirinya yang menunjukkan pukul 18.20. Dengan terburu-buru Liam keliar dari area warung bahkan ia lupa berpamitan pada sang teman, kemudian memacu motor beat nya dengan cepat menuju tempat dimana sang adik menunggu.

Tujuh menit Lima tempuh dan termasuk waktu yang singkat, biasanya akan memakan waktu lima belas menit. Tampak gerbang sekolahan sudah tertutup, bahkan lampu-lampu dalam sudah dinyalakan. Dengan segera Lima turun dari motor dan berlari ke arah sekolahan, berteriak memanggil nama Amarra dengan kencang.

"Mara lo masih di dalem?! Keluar ayo pulang!"

Sudah seperti orang gila, Liam berteriak hingga suaranya serak memanggil nama Amarra dengan cemas. Namun hal iti berhenti saat Liam melihat sosok siswi dengan pakaian sudah basah kuyup berjalan mendekat dengan sempoyongan, mata lelaki itu membulat saat tahu siapa sosok itu.

"Abang lama ...."

Setelahnya tubuh itu tersungkur ke tanah, membuat Liam panik bukan kepalang. Tanpa berpikir lama ia menelfon saudaranya di rumah, meminta untuk meminjam mobil tetangga.

Tubuh panas itu ada dalam rengkuhan Liam, dengan tangan gemetaran dan perasaan campur aduk Liam menangis, menundukkan kepalanya di iringi gerimis kecil yang terus turun.

"Maaf, maafin abang."

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Dec 05, 2023 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Anak terakhir Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu