Chapter 9

459 43 3
                                    

"Ayah... " Rendis menggeliat terbangun dari tidurnya. Matanya melirik kesana kemari sembari menormalkan penglihatan. Tidak ada orang dikamarnya, apa yang ia harapkan. Ayahnya pasti kembali melupakannya.

"Hei sudah bangun anak ayah ya." Seru Jefri dengan rambut yang masih basah dan handuk mengalung di lehernya. Rendis sampai berjengit kaget, tidak menyangka ayahnya ternyata berada di kamar mandi miliknya.

"Ayah mandi?" Tanya Rendis polos. Jefri tertawa, anaknya ini lucu sekali, kenapa sampai kaget.

"Tentu biar wangi dan boleh peluk Rendis." Jefri segera memeluk anaknya itu erat sembari mengecup pelipis Rendis. Rendis terkekeh geli, menikmati perlakuan ayahnya yang telah lama ia rindukan.

"Eh kalian sudah bangun ya, bunda bantu lap wajah Rendis dulu ya, baru setelah itu makan." Tidak sempat protes atau memang Rendis merasa nyaman, ia mengizinkan bunda Citra melap wajah dan seluruh badannya dengan air hangat, rasanya sangat nyaman. Bahkan dia sudah tak malu lagi. Hingga sampai ke pemberian minyak telon, loution dan beberapa perlengkapan bayi .

"Kenapa perlu pakai ini?" Rendis mengernyit aneh.

"Biar wangi, hangat dan gak ada nyamuk. " Jawab Bunda Citra sembari memakaikan baju dan menyisir rambut Rendis rapi. Lalu kembali menempelkan plester penurun demam, karena demam anak itu masih berlangsung.

"Makannya boleh disuapin ayah?" Pinta Rendis pelan.

"Sure... " Jefri segera menyuapi anaknya dengan telaten, ya walapun hanya 5 sendok yang masuk. Tapi setidaknya makanan itu tidak keluar lagi.

"Rendis ayah ada rapat sebentar lagi di kantor, bunda Citra juga ada pekerjaan di resto sebentar, ditemani kakak dulu tidak papa kan?" Jelas Jefri sembari mengelus kepala Rendis memberi pengertian.

"Tentu, tapi jangan lama." Jefri dan Bunda Citra tersenyum. Sepuluh menit berlalu akhirnya di ruangan ini hanya tersisa  tiga pemuda berbeda usia yang kaku seperti ranting kayu kering.

"Kemana?" Berusaha kuat untuk membuka perbincangan dengan adiknya, tapi malah kalimat dingin yang ia keluarkan. Rendis hanya menatap sekilas lalu kembali ingin beranjak dari kasur.

"Jangan turun dulu demammu masih belum turun." Tambah Marcel tapi tetap diposisi dengan bersedekap dada. Jerome hanya menatap tingkah Rendis yang tetap kekeh turun dari kasur.

"Kau tidak dengar ya?" Ketus Jerome, tidak bukan seperti itu yang ingin ia katakan, tapi mulut Jerome yang ketus selalu saja kelepasan.

"Mau pipis." Cicit Rendis. Sembari memegang celananya. Sungguh dia sudah tak tahan menahan hasrat ingin buang air kecil. Tapi jujur saja kepalanya masih pusing dan badannya masih lemas, bahkan kakinya saja gemetar. Rendis ingin minta bantuan tapi melihat tatapan dua orang itu saja sudah membuat ia ketat ketir.

Marcel yang mendengar itu segera beranjak dan memapah Rendis yang langsung menerima uluran tangannya. Mereka berdua berjalan perlahan. Hingga tepat didepan pintu kamar mandi, Rendis menghentikan langkahnya dan menatap Marcel polos.

"Terimakasih, sampai sini saja, aku bisa sendiri?" Ucap Rendis, sembari mecoba melangkah. Namun, Marcel malah tetap ikut masuk kedalam kamar mandi membuat Rendis gelagapan. Demi apa dia sangat malu, walaupun mereka sesama lelaki tapi kan akhhhh sudahlah.

Marcel hanya diam membisu, setelah membantu menurunkan celana Rendis. Marcel memalingkan wajahnya agar Rendis tak merasa malu, namun tangan itu tetap menahan bobot tubuh Rendis yang jika tidak ditahan oleng dan gemetar.

"Su sudah... " Ucap Rendis. Marcel segera membantu membersihkan segalanya. Lalu kembali memapah Rendis kembalj ke kasur. Wajah Rendis sudah memerah full. Rendis malu dan sekarang sedikit kesal melihat wajah Jerome yang agaknya seperti mengejek dirinya.

Suara Hati RendisWhere stories live. Discover now