Chapter 7

356 36 8
                                    


Tiga hari telah berlalu. Suasana rumah itu masih terasa cukup dingin. Penghuninya yang lengkap pun hanya saling diam menikmati makanan masing-masing dengan tenang.

"Rendis, ayah minta maaf." Rendis menoleh mendengarnya, menatap mata ayahnya dengan sendu lalu mengangguk dan tersenyum tipis.

"Ayah harap kamu lebih dewasa lagi dan menerima Bunda Citra sebagai ibumu sekarang dan tentu kedua kakakmu. Panggil mereka sesuai dengan peran mereka dan satu lagi bersikaplah sopan." Tegas Jefri. Rendis hanya mengangguk. Mau berkomentar? Memangnya siapa dia?

"Rendis mulai sekarang sekolahnya berangkat sama Jerome, kalian juga satu arah kan." Putus Jefri, karena selain cara mengakrabkan kedua anaknya itu, ini juga dapat menghemat waktu. Rendis dan Jerome saling pandang lalu mengangguk patuh.

Semuanya telah berangkat, Jefri yang pergi ke kantor begitupun dengan Marcel, dan kini tersisa Jerome dan Rendis yang masih berdiri berhadapan. Jerome menghela nafas.

Anak manja satu ini huuuhh, kenapa juga aku harus mengantarnya, pertemuanku dengannya dulu di taman ternyata kembali terulang bahkan lebih parah dengan adanya status dia sebagai adikku, takdir macam apa ini. Jerome bergumam di dalam hatinya sembari menaiki sepedanya. Rendis menatap Jerome, dia ingat pria ini, pria ini adalah orang galak yang latihan di taman. Waktu itu ia menangis kencang lebih tepatnya tantrum sih, akhh malu sekali rasanya.

"Naik, mau ku tinggal!" Tukas Jerome. Rendis segera memakai helmnya lalu naik dengan susah payah ke motor besar Jerome yang cukup tinggi. Kaki Rendis tidak sampai, dia juga sungkan memegang pundak Jerome. Sebal sekali harus pontang panting untuk naik.

Motor itu melaju dengan kecepatan sedang. Mereka berdua larut dalam keheningan. Hingga motor itu berhenti di depan gerbang SMA Rendis. Lalu motor itu kembali melaju, namun kali ini dengan kecepatan tinggi. Rendis bahkan belum mengucapkan terimakasih.

________________________________________

Usai pelajaran dan memasuki waktu istirahat, kelima orang itu telah duduk di meja ka tin dengan makanan tak lupa perdebatan kecil meteka. Namun, kali ini ada yang aneh, mereka berempat tak mendengar kicauan dari anak paling kecil dianatara mereka. Sejak tadi anak itu hanya diam dan menjawab seadanya.

"Dimakan Rendis, jangan dibuat mainan." Hendra menyentil pelan tangan mungil yang sedari tadi malah mengacak salad buah itu. Bak puzzle buah itu malah disusun berdasarkan warna bukannya dimakan.

"Kenyang, kamu aja yang makan!" Rendis mendorong mangkuknya ke hadapan Hendra lesu. Nanda menatap tajam anak iturupanya Rendis membangunkan singa kali ini.

"Kau belum makan siang, makan dulu!" Tekan Hendra kembali, namun Rendis menggeleng dan malah menelunglupkan kepalanya ke meja.

"Rendis.... Jangan begitu." Timpa Candra, berusaha membujuk bayi besar.

"Itu salad kesukaanmu, gak salah kamu anggurin tuh?" Heran Jordan, biasanya anak itu akan makan dengan lahap karena Rendis sangat suka salad buah.

"Tidak mau, kalau kalian mau makan saja... " Rendis merengek lalu kembali menenggelamkan kepalanya kelipatan tangannya. Ketiganya menghela nafas, menyerah membujuk bayi itu.

"Sakit?" Singkat Nanda, membuat mereka ber empat menoleh seketika. Rendis berkedip beberapa kali, yang dimaksud itu dirinya kah?

"Aku? Aku baik kok, cuman kenyang aja." Bohong Rendis, mulutnya pahit, kepalanya pusing dan mual juga melengkapi.

"Kalau begitu, makan!" Dingin Nanda. Rendis menghela nafas lalu menggeleng. Nanda memandang Rendis dingin.

"Rendis? Kau tak mendengarku?" Rendis tetap diam, dia tidak mau menjawabnya, dia malas dan takut kalau Nanda sudah seperti ini.

Suara Hati RendisDove le storie prendono vita. Scoprilo ora