Chapter 6 - Garis Interaksi

3.8K 679 160
                                    

Happy reading 🌹🌹

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Happy reading 🌹🌹


Messy memasuki Audi berwarna abu-abu milik Dhimas yang terparkir di parkiran kantor Teamsel dan terkagum-kagum dengan interior di dalamnya. Selain dari luar yang bersih seolah tak pernah tersentuh debu jalanan, kondisi di dalam mobil juga sangat bersih, harum dan rapi. Dia tak melihat sandal atau perlengkapan lain berceceran. Membuat Messy was was menyentuh sesuatu dan membuatnya bernoda. Maskulin dan dingin. Persis pemiliknya.

Dhimas menyalakan audio mobilnya dengan menggunakan koneksi bluetooth dan mengalun musik jazz. Literally jazz, yang membuat telinga Messy terasa keriting mendengarkan alunan piano dan saxophone yang seolah bertumpuk-tumpuk.

Dhimas memundurkan mobil dari parkiran dan menyetir dengan tenang. Messy meremas-remas tangannya karena bingung harus bersikap dan memutuskan untuk sok sibuk dengan membuka ponselnya. Mengirimkan pesan mengutuk kedua temannya di grup yang isinya hanya mereka bertiga. Setelah itu, melihat baterainya yang menunjukkan indikator merah karena dibawah 20 persen dan demi alasan kesopanan, dia mengunci ponselnya. Menatap sekilas wallpaper fotonya dan Jendra sedang menikmati gelato di restoran gelato yang selalu ramai itu, kemudian berjanji dalam hati untuk menggantinya. Entah dengan gambar apa. Mungkin dengan salah satu desain yang pernah dia buat.

Dhimas tidak membuka obrolan dengan Messy dan sukses membuat Messy mati gaya. Messy menghembuskan napas berat dan menoleh ke luar jendela. Jogja sore hari jam pulang kantor, lalu lintas padat merayap, padahal yang diinginkan Messy sekarang adalah sesegera mungkin sampai di kantor.

"Kapan kira-kira project Teamsel dimulai, Pak?" tanya Messy memecah keheningan.

Dhimas menoleh sekilas, kemudian fokus kembali pada jalanan di hadapannya, "Dalam bulan ini kalau mereka setuju dengan timeline yang kita ajukan."

Messy mengangguk-angguk. Kan, tadi Dhimas sudah menyampaikan di paparannya. Bagaimana kalau Dhimas menganggap Messy tidak fokus dalam bekerja? Duh, nasib jadi bawahan, serba salah memang.

"Saya baru tau kalau Bapak suka musik jazz," komentar Messy kemudian.

"Memangnya kamu pikir selera musik saya apa? Keroncong?" jawab Dhimas sarkas.

Astaga. Pedas sekali jawabannya, pasti karetnya dua, batin Messy meringis. Ada masalah apa sih di hidup bosnya ini hingga segala jawaban terasa pedas dan asam seperti kuah pempek Ny Kamto favoritnya?

"Ya, enggak, Pak. Maksud saya, saya pikir Bapak sukanya Tulus, atau Soegi Bornean," jawab Messy ringan, "Kenal Rendezvous, Pak? Itu jazzy juga, musiknya juga lumayan."

Dhimas mengangguk, "Tahu. Pak Satriya kemarin sempat mention mereka juga untuk event Teamsel. Kamu cari info sekalian, jadi nanti kalau dadakan, minimal kita udah kenal dulu sama manajemen mereka."

"Baik, Pak, nanti saya cari infonya."

Perlahan-lahan Messy mulai santai. Dhimas memang tidak banyak bicara. Dia hanya berbicara banyak tentang pekerjaan. Jadi, Messy tak merasa bersalah dan seolah bebas dari kewajiban mengajak Dhimas mengobrol. Dia menghembuskan napas lega.

This Too Shall PassHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin