❀ 26 - Di Saat Janu Cemburu

Start from the beginning
                                    

"Xen, tolong lah, lo jangan goblok kayak gini," Radian tahu-tahu menimpali karena gemas sendiri melihat Xenna.

"Radian, lo kasar banget," tegur Sheila dengan ragu-ragu. Keberadaan Radian betul-betul membuat nyalinya sedikit menciut.

Radian lekas mendengkus, menatap Sheila tanpa minat. "Bodo, gue nggak minta pendapat lo," balasnya sedikit ketus. Kemudian ia beralih lagi pada Xenna yang berdiri persis di sebelahnya. "Waktu itu gue udah pernah bilang, 'kan, kalau lo nggak perlu sibuk mikirin mereka? Udah terbukti perbuatan tolol yang mereka lakuin itu berdasarkan consent masing-masing. Mereka sama-sama sadar dan sama-sama mau. Seharusnya mereka pun udah tau konsekuensi yang harus dihadapi semisal keberuntungan nggak berpihak sama mereka. Dan, kalau beneran kejadian, itu semua sama sekali bukan urusan lo, Xen."

Senyum masam terkembang di bibir Xenna. Tanpa menoleh pada sang lawan bicara, ia hanya memandangi kedua kakinya yang dibungkus oleh sneakers putih. "Gue tau, Yan," tukasnya, "gue cuma ... masih nggak nyangka aja, kalau mereka beneran udah sampe sejauh itu." Xenna menghela napasnya sesaat. "Walaupun kejadiannya setelah gue putus, tapi entah kenapa gue rasanya kayak habis dikhianati buat yang kedua kali sama mereka ...."

Penuturan Xenna membuat Radian maupun Sheila kebingungan sendiri harus membalas apa. Agaknya Xenna sendiri pun sudah bosan jika harus mendengar kalimat-kalimat dukungan dan sejenisnya hanya untuk membuat hatinya terasa lebih baik.

"Lo mau pulang sekarang aja? Gue anter, mau?" Pada akhirnya Radian hanya mampu memberi tawaran demikian, barangkali gadis itu bisa menenangkan pikirannya dengan puas jika sudah berada di rumahnya sendiri.

Xenna menggeleng pelan. "Gue udah bilang gue dijemput, Yan." Saat ini Xenna memang tengah menunggu Janu, yang berkata bahwa ia akan datang menjemput ketika Xenna meneleponnya. Xenna sungguh tak bisa memikirkan siapa pun selain lelaki berkacamata itu yang sekiranya mampu membawanya pulang dalam keadaan seperti ini.

"Udah hampir setengah jam yang lalu lo ngomong begitu, Xen," sahut Radian yang disertai dengkusan samar. "Mana? Belum datang juga dari tadi orangnya. Beneran niat jemput lo nggak, sih?"

Decakan pun segera Xenna loloskan, menatap Radian kesal. "Ya sabar dikit sih, Yan. Udah tau lagi hujan begini, ya gue juga mana bisa maksa orangnya buat datang lebih cepet," tukas Xenna. Lalu seraya menggerakkan dagu ke arah Sheila, ia menambahkan, "Mendingan lo anterin Sheila aja, deh."

Lagi-lagi, hening sesaat. Sheila membulatkan mata tak percaya, sementara Radian lekas menyatukan alis.

Namun, belum sempat keduanya buka suara, atensi Xenna mendadak teralihkan oleh sebuah Vios silver yang melaju di jalan utama dan terhenti tepat di depan area gedung fakultasnya. Radian maupun Sheila mau tak mau turut mengikuti arah pandang Xenna.

Beberapa detik berselang, pintu sisi kanan mobil terbuka dan menampilkan sebuah payung biru tua, lantas disusul oleh sosok lelaki berpakaian serba hitam yang mulai menapaki aspal basah. Usai menutup kembali pintu, lelaki itu pun mengambil langkah lebar tepat menuju ke arah di mana Xenna berada. Xenna lekas menahan napas. Pemandangan seperti ini bukanlah yang pertama kali baginya, tetapi sensasi yang ia rasakan nyaris sama persis dengan hari itu--di mana mereka tak sengaja bertemu di tempat yang tak terduga. Mungkin dapat dikatakan pula sedikit berbeda. Sebab kini, Xenna menyadari bahwa rasa yang tumbuh di hatinya untuk lelaki itu makin bertumbuh setiap harinya.

"Siapa, Xen?" Sebuah tanya datang dari Sheila, tetapi tatapan gadis itu tampak takjub, hanya tertuju pada sosok laki-laki berkacamata yang tengah berjalan menghampiri mereka. "Penggantinya Arka?"

"Gue harap, memang dia penggantinya Arka ...," Xenna membalas dengan gumaman, tetapi Sheila maupun Radian tetap mampu mendengarnya dengan jelas.

Xenna menggigit bibir bawahnya kala menangkap Janu sudah menaiki undakan tangga kecil, hingga tak lama setelahnya, lelaki itu pun tiba di hadapannya. Tubuh Xenna malah serasa membatu, ia hanya mampu tergeming dengan sesuatu di balik dadanya yang mulai berdentum-dentum keras. Pandangannya tertuju lekat pada sepasang iris gelap di balik lensa kaca milik Janu yang juga terarah padanya, menyorot dengan teduh hingga menghadirkan rasa nyaman. Agaknya Xenna akan tetap berada dalam posisi tersebut jika saja Janu tidak lebih dulu bersuara.

Memories in the MakingWhere stories live. Discover now