Yaksa meratapi nasib Rian. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Rian telah mati. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia telah kehilangan sahabatnya.

Tapi, sebelum Yaksa bisa berbuat apa-apa, dia merasakan sesuatu yang menusuk kakinya. Dia menjerit kesakitan. Dia menoleh ke bawah, dan melihat sebuah pistol di tangan seorang laki-laki mengenakkan jas hujan hitam. Laki-laki itu telah menembak kakinya dari jarak dekat.

"Kapten Yaksa. Apa kabar? Lama tidak berjumpa." Suara itu dingin, sinis. Yaksa merasa asing dengan suara itu.

"Lo bajingan!" Yaksa berteriak.

"Lo gak tau apa-apa tentang diri lo sendiri. Lo cuman seorang budak yang taat pada aturan. Lo cuman pecundang yang gak punya cita-cita. Lo cuman mayat hidup yang gak punya jiwa. Kau tidak pantas hidup." Ucap laki-laki itu lalu menyeringai.

Yaksa mencoba menggapai pistolnya yang terjatuh di tanah. Dia ingin melawan, Dia ingin mengakhiri semua ini. Tapi, sebelum dia bisa menyentuh pistolnya, laki-laki itu menendangnya jauh. Kemudian, dia mendekati Yaksa, dan menembak tangannya. Yaksa merasakan sakit yang luar biasa. Dia tidak bisa bergerak. Dia tidak bisa melawan.

"Lo gak tau siapa lawan lo Yaksa." Lirih laki-laki itu.

Laki-laki berjas hujan hitam itu pun mengangkat pistolnya, dan menodongkan ke kepala Yaksa. Dia bersiap untuk menekan pelatuknya. Dia bersiap untuk membunuh Yaksa.

Tapi, sebelum bisa menembak Yaksa, dia merasakan sesuatu yang tak beres akan menimpanya. Dengan langkah cepat ia langsung pergi meninggalkan Yaksa. Benar saja, Tiba-tiba datanglah rombongan polisi lain. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam mobil dan pergi. Mereka berhasil lolos tanpa tertangkap satu orang pun. Yaksa menjatuhkan badannya ke tanah dan melihat ke arah Rian dengan wajah sedih. Hingga akhirnya ia pun mulai kehilangan kesadaran.

■□■□■□■□■

Seorang laki-laki turun dari mobil Lamborghini putih dan berjalan memasuki gedung diikuti oleh beberapa pengawal. Ia berdiri di depan lift dan masuk saat pintu lift terbuka. Setelah menunggu beberapa lama, laki-laki itu keluar dari lift dan berjalan ke sebentar menuju ruangan lain dekat dengan ruangan tempatnya bekerja.

"Pak William, mereka sudah tiba di sini." Ucap pria lain di sebelah laki-laki bernama William itu.

William hanya diam lalu berjalan mendekati gerombolan yang saat ini berdiri di depannya dengan menunduk. William merasa geram melihat anak buahnya yang berlumuran darah di depan matanya. Dia tidak tahan melihat kebodohan mereka yang telah membuat bisnisnya hampir terbongkar oleh polisi. Dia harus membakar semua tanaman ganja yang telah dia tanam dengan susah payah di kebun terpencil itu. Dia merasa rugi besar dan marah besar.

"Kalian semua sampah!" teriak William sambil menendang salah satu dari mereka. "Kalian tidak bisa menjaga kebun ini dengan baik. Kalian tahu berapa banyak uang yang saya investasikan di sini? Kalian tahu berapa banyak resiko yang saya ambil untuk menjalankan bisnis ini?"

Anak buahnya hanya bisa merintih dan memohon ampun. Mereka tahu bahwa William adalah bos yang kejam dan tidak segan-segan membunuh mereka jika mereka gagal. Mereka juga tahu bahwa William bukanlah orang sembarangan. Dia adalah anak buah dari seorang sindikat narkoba internasional yang sangat berpengaruh dan berbahaya.

Di samping William, duduk seorang laki-laki berpakaian jas hujan hitam. Dia melihat William memukuli anak buahnya dengan dingin. Dia tidak peduli dengan nasib mereka. Yang dia peduli adalah bisnisnya tetap berjalan lancar.

"William, lo harus lebih waspada dan hati-hati," kata laki-laki itu dengan suara datar. "Lo tau apa yang akan bakal terjadi kalo lo sampe ketahuan lagi sama polisi. Bisnis ini adalah bisnis yang sangat sensitif dan beresiko. Kalo lo gagal, lo harus bayar dengan nyawa lo sendiri."

BIMA SAKTI 2 | IT'S NOT OVER YET Donde viven las historias. Descúbrelo ahora