"Aku mau beli cat air!" Dio langsung mengambil beberapa cat air secara acak lalu menarik tangan Kalla.

"Ish! Aku mau main dulu!" Kalla berusaha melepaskan cengkraman Dio.

Namun Dio pura-pura tak mendengar. "Biru, lo cari hadiah sendiri aja, gak usah manja. Gue mau pulang duluan bareng adik gue yang bandel ini."

"Ah, namanya Biru.." Bisik Cia kepada Gwen yang masih terdengar oleh Kalla.

Biru hanya mengangguk sekilas lalu pergi. Saat Dio hendak melangkah kembali, Ghali menghalangi jalannya. "Kak, biarin Kalla di sini bareng kami. Nanti gue sendiri yang bakal nganterin Kalla pulang. Percaya sama gue, Kalla pasti sampai rumah dengan selamat."

"Masalahnya gue gak mau percaya sama lo. Minggir, bocah!" Dio yang notabene tubuhnya lebih besar dari Ghali dapat dengan mudah menggeser tubuh anak SMP itu.

"Kakak!" Kalla merengek ketika dipaksa pulang oleh Dio. Mereka pergi ke kasir, setelah pembayaran selesai, Dio langsung menyeretnya pergi dari sana.

Sampai di rumah, Kalla langsung duduk di sofa ruang tamu dengan mulut mengerucut. Dio meliriknya sekilas lalu berkata pada salah satu pembantu rumah yang melewatinya, "Siapin makanan."

"Baik."

Dio menoleh ke arah Kalla. "Cuci tangan, makan."

"Aku gak mau makan!" Kalla menolak melihat Dio.

"Marah ke gue aja, jangan korbanin badan lo." Dio sudah biasa menerima kemarahan Kalla, tetapi dia tidak pernah ingin Kalla merusak dirinya sendiri karena marah padanya.

"Aku udah cukup dewasa. Aku gak pernah recokin hidup kakak. Aku gak pernah larang kakak main atau bergaul sama siapa pun, kenapa kakak selalu batasin pertemanan aku?" Kalla masih berbicara sambil menghadap ke tembok.

Dio menghelakan napas. "Di usia remaja kayak lo gini, masa-masanya pengen coba-coba. Lo masih labil dan lemah secara mental. Gue larang lo deket-deket cowok bukan tanpa alasan. Sebesar apa lo percaya kalo bocah laki-laki itu orang baik dan gak akan nyakitin lo?"

"Ghali baik, dia gak kasar." Jawab Kalla dengan nada lemah.

"Banyak manusia munafik yang pura-pura baik diluar, awalnya mungkin keliatan baik tapi kita gak bisa tahu aslinya dia orang kayak apa." Dio cukup sabar meladeni ucapan Kalla yang terkesan membela Ghali. Tidak tahu saja dia bahwa sejak tadi Dio mencoba sebaik mungkin menahan emosi.

"Itu masalah kakak, selalu curiga berlebih. Makanya gak punya banyak temen."

"Terus aja bela Ghani-Ghani itu. Kalo ucapan gue terbukti bener, awas lo nangis ke gue!" Dio hendak pergi, tetapi kemudian dia kembali berbalik untuk menatap Kalla. "Nyokap lo mati-matian bawa lo ke rumah ini biar lo makan dengan baik, tapi kelakuan lo malah gini?"

Kalla terdiam. Ucapan Dio kepadanya memang tidak pernah terdengar nyaman, tapi semuanya adalah fakta. Kalla pun berdiri, berjalan menuju meja makan.

Dio menggelengkan kepalanya beberapa kali. Dia mengikuti Kalla lalu duduk tepat di sampingnya. Mereka berdua makan dengan suasana hening. Tak lama kemudian Harris-ayah mereka datang. Kalla langsung menunjukan wajah memelas. "Papaaaa..."

Harris tertawa, dia datang menghampiri anak bungsunya dan langsung memeluknya, tak lupa mengelus lembut rambut Kalla. "Kenapa, sayang?"

Kalla melepaskan pelukannya lalu menunjuk Dio yang sedang asik menyantap makanannya. "Papa! Tadi bang Dio seret aku di mall. Padahal aku lagi main sama temen-temen."

"Mulai ngadu.." Gumam Dio tanpa melihat Kalla.

Harris duduk di salah satu kursi sambil melepaskan dasi yang mengikat lehernya. "Kenapa, Dio? Jangan suka ganggu adikmu."

"Tahu!" Kalla memelototi Dio, merasa ada yang mendukung. Di rumah ini, hanya ayahnya yang memperlakukan Kalla layaknya keluarga. Tetapi, ayahnya selalu sibuk dan jarang terlihat di rumah.

"Lo lagi pacaran. Bukan main! Lo pikir gue gak punya mata buat liat?" Dio balas memberi tatapan tajam kepada Kalla.

"Dio! Kamu harus bersikap baik kepada Kalla." Ayahnya kembali menegur. Sejak awal ayahnya selalu mengingatkan Dio untuk menganggap Kalla sebagai adiknya. Walaupun mereka lahir dari ibu yang berbeda, Harris ingin Dio dan Kalla tumbuh sebagai saudara yang akur.

"Bang Dio juga panggil aku anak haram kemarin." Kalla menumpahkan semuanya. Kesempatan langka untuk bertemu ayahnya, jadi selagi masih ada waktu, akan dia ceritakan segalanya kepada sang ayah.

"Tapi lo emang anak haram. Lahir dari perbuatan maksiat." Ujar Dio santai.

"Dio!" Harris memanggil namanya dengan nada tinggi, Kalla bahkan sampai terkejut.

Dio tersenyum kecil, untuk pertama kalinya sejak kedatangan sang ayah, dia menatap wajahnya. "Aku bener, kan? Gak salah kok."

"Kalla adik kamu. Cukup akui itu, gak perlu bahas latar belakang dia lahir. Kamu harus jaga ucapan! Jangan asal berbicara buruk tentang adik kamu." Harris tidak pernah membeda-bedakan anak-anaknya. Dia memang bukan suami yang baik, tetapi jelas dia selalu berusaha untuk menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya. Harris tahu Dio belum sepenuhnya menerima Kalla di keluarga ini, tetapi kadang kala ucapan yang keluar dari mulutnya sangat kasar dan beresiko menyakiti hati orang yang mendengarnya. Persis seperti ibunya.

"Ya ya ya.." Dio mengangguk-ngangguk asal karena malas meladeni. "Aku juga mau bilang ke papa. Berhenti ketemu sama cewek-cewek random, aku gak mau punya adik haram lagi."

"Dio!"

___

Hola🖐

Dio savagenya berlipat-lipat di cerita ini. Ternyata turunan dari mamanya.

Menurut kalian Karakter Kalla di sini udah keliatan belum? Aku memang sengaja bikin karakter Kalla ini childish btw hehe..

Beda sudut pandang, beda cerita. Di Anagapesis mungkin banyak yang suka sama Dio karena sikapnya yang gentle dan frontal. Tapi, di sini... silahkan isi sendiri.

Belum ada kapal-kapalan sampai chapter ini. Tapi, tenang! Mengharem adalah ciri khas cerita buatan aku🤣

Dukung terus cerita ini dengan vote dan komen😊

See you🖐

IMPOSSIBLEWhere stories live. Discover now