Chapter 6 - Keputusan

Mulai dari awal
                                    

Mama yang duduk di sebelah Shabrina juga memilih untuk diam saja

"Pa. Aku mohon maaf sebelumnya kalo perkataanku nanti menyakiti Papa. Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya ya, Pa. Alasan aku tertarik sama tawaran itu bukan karena uang. Bukan juga cuma karena pengalaman, Pa" suara Shabrina bergetar, sepertinya sebentar lagi tangisnya pecah

Kalimat-kalimat yang akan Shabrina ucapkan adalah kalimat yang ia pendam selama 21 tahun ini

"Aku merasa selama aku hidup sampai umur 21 tahun ini aku selalu nurutin apa yang Papa mau. Gaktau kenapa, aku pengen menentukan pilihanku sendiri untuk kali ini" kata Shabrina dan Papa masih diam saja di kursinya "Dari awal aku lahir ke dunia, oh enggak, dari awal Papa tahu Mama hamil aku, pasti Papa udah menyiapkan aku akan jadi apa, akan seperti apa jalan hidupku nanti. Tapi Papa pernah gak sedikit aja berpikir untuk nanya sama aku, tanya aku maunya gimana, apa aku nyaman ngejalanin ini semua. Jujur ya Pa, aku amat sangat tertekan, aku sering ngerasa lelah tapi aku sendirian, aku gak bisa cerita ke Papa atau ke Mama dan akhirnya aku cuma bisa nangis-nangis sendiri, nguatin diriku sendiri. Aku gak pernah bisa cerita karena aku takut Papa dan Mama kecewa karena aku gak memenuhi ekspektasi Papa dan Mama, makanya aku lebih banyak diem. Tapi mungkin menurut Papa aku diem karena aku baik-baik aja kan? Padahal aku capek dan muak, Pa"

Papa menghentikan gerakannya kemudian menatap Shabrina dalam. Tatapan yang tidak bisa didefinisikan

"Pa. Aku pengen punya kendali sama diriku sendiri. Aku pengen menentukan pilihanku dan memahami konsekuensinya. Aku pengen belajar mengambil keputusan. Sebelum Papa ngasih klinik itu selanjutnya ke aku, aku mau belajar di tempat lain, bukan di zona nyaman dimana segala sesuatu sudah disiapkan. Papa mengatur klinik itu sampai jadi sebesar sekarang dengan perjuangan yang luar biasa dan aku gakmau klinik itu berantakan ketika aku pegang karena aku gak bisa apa-apa tanpa Papa atau Mama. Aku pengen berdiri sendiri tanpa embel-embel Papa dan Mama. Kalo aku tetep di Surabaya pasti orang-orang akan tetep mengenal aku bukan sebagai Shabrina tapi sebagai anak tunggal dokter Herman dan dokter Hida. Berlian aja harus ditempa sedemikian rupa biar dia jadi perhiasan yang berkilau kan, Pa. Aku pengen kuat dan tangguh dulu sebelum Papa menyerahkan segala sesuatu ke aku. Supaya aku bisa mengambil keputusan dan memahami konsekuensi atas keputusanku. Akan beda rasanya mencari pengalaman di zona nyaman dan diluar sana. Aku mohon kali ini aja, Pa. Kalaupun ternyata pilihanku salah, aku siap mau jadi apa aja menurut kemauan Papa. Tapi tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan kemampuanku sendiri" air mata Shabrina menetes, Shabrina segera menyekanya dengan ujung jarinya

Hening. Papa seperti berpikir keras. Mama yang duduk di sebelah Shabrina juga masih memilih untuk diam, tidak berusaha untuk memberikan masukan. Kalau Mama sih pasti ikut apapun keputusan Papa

"Kamu pengen berdiri tanpa embel-embel Papa dan Mama disana?" tanya Papa
"Iya, Pa. Kalo Papa ngebolehin"
"Boleh" jawab Papa
"Beneran Pa?" tanya Shabrina dengan penuh semangat
"Ada syaratnya" jawab Papa dan semangat Shabrina menurun "Kalo memang kamu mau gak ketergantungan sama Papa dan Mama. Silahkan berangkat, tapi tingalkan semua fasilitas yang Papa berikan ke kamu"
"Pa, itu berlebihan" Mama membela
"Loh, kan dia mau sendiri, Ma. Gakmau tergantung ke orangtua. Ya silahkan. Pilihannya kamu tetep disini dengan semua fasilitas yang ada atau kamu pergi tanpa fasilitas apapun" tambah Papa "Mobil, kartu kredit, ATM, macbook, dan ipad semua harus dikembalikan. Kamu boleh bawa handphone, bawa baju, sepatu dan barang-barangmu seperlunya dan taruh ke satu koper yang warna hitam itu. Selebihnya tinggalkan. Papa kasih kamu waktu satu kali masa kontrak. Buktikan kamu mampu disana. Kalo kamu gak bisa, kamu balik ke Surabaya lagi dan ikut semua skenario yang sudah Papa siapkan"
"Pa. Jangan terlalu keras sama Shabrina. Dia anak perempuan kita satu-satunya" Mama seperti tidak tega tapi Papa bergeming. Tidak peduli dengan pendapat Mama sama sekali

Monofonir (Rizky Ridho Ramadhani)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang