Bab 14B

95 1 0
                                    

Sekejap, dalam hati Mahendra mulai bertanya tentang sosok anak kecil itu. Apakah dia adalah janin yang ada di rahim Hana dulu? Jika iya, berarti bocah itu adalah putranya. Hati semakin tersentak, seharusnya dialah yang berada di posisi itu jika saja dulu dia tak berambisi dengan impian orangtuanya.

Kini, dia paham bagaimana rasanya menyimpan rindu. Rasa penyesalan kini berkecamuk di rongga dada. Namun, dia tidak bisa apa-apa sekarang selain memindai mereka dari jauh. Pandangan mata terus menyoroti sampai pria itu memutar badan mobil dan masuk melalui pintu kemudi. Tak lama kemudian, kendaraan putih itu pun bergerak pelan dan perlahan menjadi cepat.

Dengan sigap, Mahendra pun mengikutinya dari belakang. Masih penasaran dengan sosok pria yang bersama Hana, dia harus mengetahui apa hubungan di antara mereka. Apa Hana sudah benar melupakannya dan memulai hubungan baru dengan pria lain? Sebenarnya wajar saja jika itu terjadi. Untuk apa dia mempertahankan pria pengecut seperti dirinya? Mahendra mulai menyalahi dan mengutuk diri sendiri yang telah melakukan hal bodoh di masa lalu.

Mencengkram setir kemudi dengan erat hingga kuku memutih, dia geram dan merasa tersaingi dengan kehadiran pria yang belum diketahui namanya. Dari kacamatanya, dia dapat menilai pria yang bersamanya itu adalah pria mapan, pendidikan tinggi dan tampan. Sama sepertinya, selevel. Tak dipungkiri kini hati itu telah disengat kegundahan bertubi-tubi ketika menyadari posisi rival yang ada di dalam mobil tersebut.

Bocah itu? Sepertinya dia cukup familiar dengannya, tetapi siapa? Otak jenius itu dipaksa untuk mengingat kapan dan di mana dia pernah bertemunya. Butuh sepuluh menit, seraya fokus dengan kemudinya di jalan, pria penyuka musik klasik itu pun perlahan menarik kedua sudut bibir, membentuk lengkungan sempurna di sana. Dia berhasil mengingat siapa sosok bocah yang bersama Hana itu.

Peserta nomor delapan, juara satu se-Jakarta kategori anak kelas 1-3 SD. Dia bergumam dalam hati. Ia seperti mendapatkan percikan air dingin di atas kepala yang memanas akibat bara kecemburuannya terhadap pria itu. Ternyata, takdir sudah menyusun skenario manis untuk dirinya, Hana dan bocah itu.

"Mudah-mudahan bocah itu benar adalah putraku, bukan anak dari pria itu." Dia berbisik penuh harap dan tak butuh jawaban dari siapapun.

Dengan kacamata hitam dan masker menutupi sebagian wajah, Mahendra masih mengekori langkah mereka masuk ke salah satu mall terbesar di Jakarta. Namun, lelaki dewasa itu menjaga jarak demi menyembunyikan keberadaannya di sana.

Pria seratus tujuh puluh lima centimeter itu cukup penasaran, apa yang akan dilakukan ketiga orang itu di dalam sana. Sorot matanya terus memindai ke arah mereka seperti seekor elang yang tak mau kehilangan mangsanya.

Hati mulai gusar ketika dia memandang pria itu membeli tiga es krim dan menikmatinya dengan tawa bahagia tercetak di wajah mereka. Hal pertama yang mereka lakukan setelah menginjakkan kaki di gedung megah itu.

 Hal pertama yang mereka lakukan setelah menginjakkan kaki di gedung megah itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
7 Tahun Setelah MenjandaWhere stories live. Discover now