Bab 11

312 5 0
                                    

Bab 11

Sekilas meliriknya dengan ekor mata, Hana bisa memastikan pria itu kini sukses meraih impian yang pernah ingin digenggam.

Kemeja dongker dengan dasi tersimpul elegan di lehernya, lengan kemeja panjang yang dilipat sampai ke siku, sepatu pantofel hitam yang mengkilat, rambut disisir ke samping dengan rapi. Semua tampak sempurna melekat di tubuh tegapnya.

Berbeda dengannya, ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana sobek di lutut, jaket jeans yang menemani saat dia melaju dengan motor matic kesayangannya. Rambut dikuncir asal di belakang dengan wajah berlumuran minyak. Kusam.

Pemandangan itu seperti langit dan bumi.

"Hana."

Pria itu mencoba mengikis jarak di antara mereka setelah aksi diam beberapa detik, memahami pertemuan yang tak terduga.

Dengan kedua tangan menenteng plastik berisi bahan yang barusan ia belanja dari warung depan, Hana  berjalan mendekati pintu. Debaran jantung kian bertalu, dia tak suka keadaan seperti itu. Mencoba berpura-pura tak peduli dengan tamu yang ada di depannya, ia merogoh tas lusuh yang ada di samping badan dan mengambil kunci rumah.

Seolah menjadi orang yang tuli, wanita itu tak menghiraukannya. Tangan terus memutar kunci, berharap segera mungkin lenyap dari pandangan. Dia berpura-pura buta, tidak mau melihatnya. Dia bahkan pura-pura amnesia, melupakan seberapa besar cintanya dulu untuk pria tersebut.

Bermaksud ingin cepat masuk dan tak ingin melihat wajah tampan itu, tangannya sedikit gemetar menyatukan kunci dengan lubangnya. Dengan hati yang berkecamuk, dia terus membuang napas yang kini terasa sesak di dadanya.

"Hana, aku minta maaf."

Tak berani memberi sentuhan, pria dua puluh sembilan tahun tersebut hanya mendekat dan berdiri di sampingnya. Tatapan Mahendra menyiratkan kerinduan pada sang kekasih. Jelas, dia melihat tangan itu bergetar dan wajah yang dingin. Sementara Hana masih bungkam, hatinya tak karuan, tak tenang dan belum siap menghadapi pria yang sudah meninggalkannya dulu. Ada ngilu di sudut hatinya yang terdalam.

"Han, kita butuh bicara."

Tangan kiri tersebut mulai lancang menyentuh pundak Hana ketika dia tidak mendapat jawaban apapun dari wanita yang masih sangat dicintainya. Pandangan tak beranjak dari wajah Hana. Ia kangen dengan keteduhan wajah itu. Sudah tujuh tahun, mereka tifak bersua dan berbagi kabar.

"Lepaskan tangan kotormu! Maaf, aku tidak mengenal Anda, jangan sembarangan menyentuhku dan mungkin Anda salah orang."

Maaf, part tidak lengkap. Selengkapnya bisa mampir ke KBM App atau Karya Karsa. Di sana sudah
tamat.

Ada paket yang lebih murah juga di Karyakarsa



7 Tahun Setelah MenjandaWhere stories live. Discover now