Bab 1 || Masih Cinta

189 37 48
                                    

“Yogyakarta, aku titipkan secarik kertas aroma rindu kepadamu. Sampaikanlah kepada Semarang bahwa aku masih mencintai seseorang di sana.”

—Vania Arunika.





Dahulu, asmaraloka tampak begitu indah dengan hiasan cinta setiap harinya. Namun, asmaraloka kini telah berubah, hanya tersisa seorang gadis yang terus menunggu kembalinya sang mantan kekasih. Ke mana perginya lelaki yang sangat ia cintai?

Gadis tersebut bernama Vania Arunika. Kehidupannya lebih berwarna setelah mengenal lelaki bernama Akara. Akan tetapi, sejak hubungan virtual itu usai, ia justru diselimuti kesedihan dan penyesalan.

Jatuh cinta kepada seseorang yang belum pernah ditemui, bukankah sesuatu yang kurang masuk akal? Belum pernah bertemu, tetapi sudah mencintai sedalam lautan.

Di pangkuan gadis itu, terdapat diary dengan sampul biru langit. Sesekali ia membaca isi diary tersebut sambil menikmati semilir angin malam yang membuat tubuhnya terasa dingin.

Apa gua minta balikan lagi, ya? Siapa tau, kali ini dia mau, batinnya. Ia memandang bintang yang bertaburan  di langit, sebelum mengirim pesan untuk Akara.

Akaraaa

Aku kangen kamu, kamu nggak kangen aku? Aku pengen sama kamu. Aku nggak bener-bener pengen putus sama kamu, Kak.|

|Gua ngga bisa sama lu, Van.

Lagi dan lagi Vania dibuat menghela napas. Sekarang, ia bingung harus melakukan apa. Jika tahu akan seperti ini, pasti ia akan berpikir seribu kali sebelum mengambil keputusan.

Vania tiba-tiba menunduk. Isak tangisnya mulai memecah keheningan malam. Tangannya berulang kali meremas pakaian, menyalurkan rasa sesak dan sakit yang tidak bisa ia tahan lagi.

"Dek, kamu ngapain di situ?" Suara itu, nyaris membuat Vania menjatuhkan diary miliknya. Dengan perasaan yang masih sedih, ia menarik napas panjang, kemudian menoleh ke sumber suara.

"Abang?" Vania menjeda ucapan sampai lelaki yang memakai kaos hitam duduk di sebelahnya. "Vania cuman pengen duduk di sini aja, sih, Bang."

Karael yang berstatus sebagai kakak Vania itu memilih untuk diam sejenak. Sebenarnya, sejak tadi ia diam-diam mengamati adiknya.

"Abang bosen banget ngelihat kamu sedih terus, Dek. Kamu mau sampai kapan kayak gini terus?" kata Karael, prihatin dengan kondisi Vania.

Vania mengerutkan kening seraya mengamati raut wajah Karael. "Apaan, sih, Bang. Siapa juga yang lagi sedih."

Karael mengusap rambut adiknya sambil tersenyum tipis. "Abang itu kakak kamu, Dek. Abang tau tentang kamu. Meskipun kamu berusaha buat nyembunyiin. Masih inget pesan Abang, 'kan? Kalau sayang sama seseorang itu sewajarnya aja. Jadi, kamu nggak kayak orang gila gini."

"Vania kayak gini karena ngerasa bersalah sama Akara, Bang. Vania ngerasa nyakitin dia. Vania juga nggak pengen putus sama Akara," ujarnya membela diri.

"Seharusnya kamu jangan asal ambil keputusan. Kalau udah gini kan jadi repot sendiri," balas Karael.

Vania menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, kemudian memejamkan matanya. "Iya, Bang. Vania yang salah."

Karael kembali mengusap rambut Vania. Namun, kali ini ia memperlama usapannya. "Yang udah berlalu, biarin berlalu. Jadiin pelajaran aja, Dek. Nggak usah disesali, percuma."

Sejujurnya, Vania merasa kesal dengan abangnya. Seharusnya, Karael membantu adiknya memikirkan cara untuk memperbaiki hubungan dengan Akara, bukan berbicara seperti itu. Akan tetapi, jika Vania berpikir lebih dalam lagi, perkataan Karael ada benarnya juga.

Vania memperbaiki posisi duduk, lalu mengarahkan pandangannya ke pepohonan yang mencuri perhatian karena terus menari-nari mengikuti iringan angin. "Vania belum siap buat ngerelain Akara, Bang."

"Abang nggak pernah bosen ngomong ke kamu kalau merelakan itu penting. Coba berusaha buat nerima sesuatu yang udah terjadi. Jangan terus menyesali," tutur Karael dengan penuh kesabaran.

Gadis yang menerima nasihat hanya menggaruk tengkuknya. Nasihat yang diberikan Karael seolah tak bisa diterima. Ia mengerti bahwa merelakan sangatlah penting, tetapi apakah semudah itu merelakan seseorang yang begitu ia sayangi? Tidak, bukan?"

"Merelakan bagian dari mencintai. Kalau kalian berjodoh, sejauh apa pun jarak kamu sama dia, pasti Tuhan selalu memberikan jalan terbaik untuk bersatu." Arah pandang Karael berganti menatap bulan, mengagumi pesona malam yang begitu indah.

"Kalau Vania nggak bisa balikan sama Akara, terus dia sama cewek lain, gimana? Vania belum siap buat nerima itu, Bang," jawab Vania yang sangat mendalami saat mengatakan kalimat itu.

Karael menepuk bahu adiknya. "Kuncinya cuman satu, yaitu ikhlas."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 18 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Selaksa Rasa (Revisi)Where stories live. Discover now