BAB 44. This is It

Mulai dari awal
                                    

“Gombal.”

“Nggak. Gue serius. Menolak uang lo adalah cara gue balas budi. Kita anggap impas aja, gimana?”

Terus gue pake alasan apa kalau mau telepon atau chat lo, Matt? batin Hana.

Susah, nih, kalau sudah ada kata impas di antara mereka. Impas adalah kata yang menggoda. Cewek mana, sih, yang menolak utangnya dihapus. Matt sudah memberikan tawaran terbaik kalau ditolak malah Matt bisa menganggap Hana gadis bodoh dan curiga ada maksud tersembunyi.

“Ya udah.” Dengan berat hati dan tidak memiliki pilihan lain Hana berkata, “Gue setuju, tapi jangan tiba-tiba berubah pikiran. Gue nggak mau lo WA gue buat bayar utang.”

“Janji.”

“Foto-foto kita yang bareng.” Hana mengubah topik pembicaraan dan menekankan kata ‘bareng’ dalam ucapannya karena mustahil merayu Matt agar berubah pikiran. “Udah gue taro di Google Drive. Link-nya udah gue WA juga. Semuanya gue simpen di sana."

“Foto kita nggak di-upload di sosmed lo.”

“Ya nggak lah! Emangnya lo mau diminta tanggung jawab sama keluarga gue? Mereka pasti mikir gue udah diapa-apain sama lo.”

“Why not?”

“Bercanda lo nggak lucu.” Ini hari terakhir Hana di Jepang, tapi Matt masih saja tebar pesona di depan Hana. Sampai Hana kesal dan ingin menutup mulut Matt dengan lakban. Please, dong, perhatikan Hana sebentar saja supaya tau sebaper apa Hana sampai hari ini.

“Terus lo mau dibecandain kayak gimana?”

Hana memalingkan wajah karena tidak mau menatap wajah Matt. Semakin lama menatap wajah Matt, Hana semakin sedih sementara waktu untuk check in satu jam lagi. Tidak mungkin, kan, Hana meneteskan air matanya di depan Matt. Kesombongan Matt bisa nyundul langit kalau tau Hana menangisi perpisahan mereka.

“Sampai ketemu di Jakarta, Sayang.”

“Matt-“ Hana hendak protes, tapi batal karena ponsel Matt yang bergetar. Matt mengeluarkan bluetooth earphone dari saku jaket. Satu dipasang di telinganya sedangkan yang satu lagi diberikan ke Hana.

“Martin video call. Lo pindah sini.” Matt meminta Hana berpindah ke kursi di sampingnya.

Matt menjawab video call saat Hana masih duduk di kursinya. Hana mengurungkan niatnya untuk berdiri ketika mendengar Martin berkata, “Mantan lo bilang thanks. Dia nggak sangka lo kasih izin ke gue.”

Hana melepas bluetooth earphone dari telinganya karena merasa tidak pantas mencuri dengar pembicaraan di antara Matt dan Martin meskipun penasaran setengah mati. Apalagi ketika mereka membahas mantannya Matt. Apa Martin sengaja tidak menyebutkan namanya supaya Matt tidak sedih? Tapi kalau seperti ini semakin dipertegas saja kalau Matt belum move on.

“Hana, cepetan ke sini.”

Matt sengaja banget tuh panggil Hana supaya dia tidak perlu merespon informasi terbaru tentang sang mantan dari Martin. Walaupun kesal karena merasa dijadikan perisai, Hana menurut, dan kembali menempelkan kembali bluetooth earphone di telinganya. Sesuai keinginan Matt, dengan adanya Hana topik pembicaraan langsung berubah.

Mereka kembali membuka kotak ingatan mereka saat berada di Hokkaido satu minggu yang lalu. Walaupun baru dua kali bertemu secara langsung dengan Martin, Hana merasa mereka sudah menjadi teman. Mungkin karena mereka berasal dari negara yang sama dan melancong jauh ke negara lain sehingga keakraban itu mudah terjalin. Pembicaraan mereka dihentikan oleh alarm di ponsel Hana yang berbunyi dengan nyaring. Karena terlalu asik ngobrol mereka tidak sadar jika satu jam sudah berlalu. Hana segera meraih ponselnya untuk mematikan alarm karena takut menunggu tamu lain yang ada di coffee shop.

Will You Remember Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang