19.

2 0 0
                                    

19. 2 Tahun Lalu

Di sebuah gudang kecil di sebuah sudut bangunan terbengkalai penuh debu.

“Kumohon maafkan aku, Pinkan! Aku akan menurut dan tidak akan mengulanginya lagi.” Ucap Diena memohon dengan tangan yang penuh dengan luka bakar tidak beraturan.

Kedua tangan Diena dipegang erat oleh beberapa gadis. Air matanya sudah hampir mengering. Tubuhnya terasa sangat sakit, tapi dia hanya bisa menahannya.

“Apa katamu? Setelah video itu kau berikan pada para guru bodoh itu, aku dihukum oleh sekolah dan oleh orang tuaku. Kau tau itu?” Teriak Pinkan sambil menempelkan sebuah gunting yang ujungnya memerah karena panas pada tangan Diena.

Diena berteriak kesakitan, tapi ini bukan yang pertama kali dilakukan oleh Pinkan.

“Itu untuk video-video konyol yang kau rekam. Beruntung para guru itu adalah penyuka uang, jadi aku tidak mendapat masalah besar. Tapi, tetap saja aku benci kau membangkang.” Ucap Pinkan sambil menempelkan gunting panas itu lagi pada pergelangan tangan Diena.

Diena hanya bisa berteriak sambil menangis. “Video-video itu sudah kuhapus. Tidak ada lagi yang tersisa.” Ucap Diena.

“Baguslah. Tapi, kenapa tidak awal saja kau hapus video-video itu? Sebelum kau serahkan pada para guru itu.” Teriak Pinkan tepat di depan wajah Diena.

Diena hanya bisa menangis, ia pasrah dan tubuhnya terasa begitu sakit di setiap inci-nya. “Kumohon maafkan aku!” Diena sudah sangat lemas.

“Memohonlah lebih keras!” Ucap Pinkan.

Pinkan mengambil sebuah pistol dari dalam tasnya. Ia lantas menodongkan pistol itu pada Diena, tepat di depan mata kanan Diena. Pupil Diena bergetar hebat, ia ketakutan.

“Aku benar-benar benci dengan mata ungu-mu ini.” Ucap Pinkan.

“Kumohon maafkan aku!” Ucap Diena terus menerus. Ia benar-benar ketakutan.

“Memohonlah lebih keras, mungkin aku bisa tergerak dan membatalkan niatku untuk menarik pelatuk pistol ini.” Pinkan tersenyum tipis.

Sebuah peluru plastik melaju cukup cepat dari pistol itu dan dengan cepat mengenai pupil mata kanan Diena. “Kyaaaaaaaaa!!!” Teriakan Diena sangat kencang kala peluru mainan itu mengenai bola mata kanannya. Darah mengalir dari mata kanan Diena. Ia langsung meronta kesakitan, dan Pinkan hanya tersenyum lebar melihat Diena yang berteriak-teriak kesakitan.

“Sampai bertemu setelah masa skors-ku selesai, Die.” Ucap Pinkan sambil mengambil barang-barangnya dan pergi begitu saja dari gudang kecil itu, diikuti oleh beberapa gadis lain dan meninggalkan Diena sendirian menangis sambil menahan sakit di sana.

Pinkan Elison, nama yang tertanam sangat dalam di pikiran Diena. Nama yang ingin sekali Diena balas perlakuannya, tapi apa yang bisa ia lakukan dengan mata ungunya. Diena hanya merutuki takdirnya. Ia benci segala lini kehidupannya, termasuk bagaimana ia berada di posisi terendah hanya karena mata ungunya.

Diena kini hanya duduk di sebuah bangku taman di tepian sungai. Ia menatap air yang mengalir damai di hadapannya. Mata kanannya ditutup balutan kassa gulung yang memang selalu ia bawa di tas untuk menghadapi Pinkan. Tapi, Diena tidak menyangka bahwa perlatan P3K yang biasa ia bawa itu akan ia gunakan untuk menutup matanya yang buta karena peluru mainan.

“Permisi, nona, apakah anda punya plester luka?” Ucap seorang laki-laki tinggi dengan kacamata hitam pada Diena.

“Tunggu sebentar!” Ucap Diena sambil mengambil peralatan P3K di tasnya. Ia menyerahkan sebuah plester pada laki-laki asing itu.

“Terima kasih nona.” Ucap laki-laki itu sambil mengambil plester di tangan Diena.

Laki-laki itu lalu duduk di samping Diena. Ia berusaha memasangkan plester tadi pada telapak tangannya, namun ia nampak kesulitan.

“Boleh aku membantumu, Tuan?” Ucap Diena sopan.

“Terima kasih. Maaf merepotkan!” Laki-laki itu lantas menyodorkan kedua telapak tangannya dan juga plester yang tadi diberikan Diena.

Diena dengan telaten mengobati luka di telapak tangan laki-laki itu. Ia bahkan memberikan obat merah dari peralatan P3K-nya. Ia benar-benar berusaha membantu sebisanya.

“Apa yang terjadi pada matamu, nona?” Tanya laki-laki itu pada Diena saat melihat balutan kain di mata kanan Diena.

“Bukan apa-apa, hanya sebuah kecerobohan.” Ucap Diena.

“Kecerobohan itu bisa diobati, Nona, caranya adalah dengan berhati-hati. Mungkin tidak dalam waktu semalam, tapi dengan proses matang dan sangat hati-hati, kesempatan kecerobohan itu untuk muncul akan sangat minim. Dan ini berlaku pada banyak hal, nona.” Ucap laki-laki itu dan hanya didengarkan oleh Diena yang masih fokus dengan kegiatannya.

“Kenapa tangan anda sampai terluka seperti ini, Tuan? Benda tajam apa yang bisa menciptakan luka gores yang simetris di kedua telapak tangan anda, Tuan?” Ucapan Diena mengundang senyum tipis di wajah laki-laki di sampingnya.

“Saya sedang dalam usaha untuk mempersiapkan diri saya, nona. Menyiapkan langkah demi langkah guna membalas sebuah dendam yang telah lama saya simpan. Tapi, sebuah belati saya genggam terlalu kencang hari ini, dan menyisakan luka yang kini tengah anda obati itu, nona.” Ucap laki-laki itu dan berhasil membuat Diena terhenti.

“Apa anda berkelahi dengan seseorang, Tuan?” Tanya Diena.

“Tidak, nona. Atau lebih tepatnya belum. Saya masih dalam proses belajar mempersiapkan diri saya, nona. Saya tengah berhati-hati.” Diena paham betul apa yang dimaksud laki-laki dewasa di hadapannya.

“Apa ada dendam yang juga ingin anda balaskan, nona?” Ucapan laki-laki itu benar-benar memantik pikiran Diena.

“Kalaupun ada, mata ungu saya ini akan jadi tembok penghalang paling tinggi.” Ucap Diena lembut.

“Setidaknya anda sudah kehilangan satu tembok, nona.” Laki-laki itu menatap Diena yang terpaku. “Kalau anda dihadapkan dengan tembok penghalang yang tinggi, ambillah tangga yang lebih tinggi dari tembok itu, hingga anda bisa melewatinya dengan mudah, nona.” Diena kini menatap laki-laki dengan kacamata hitam itu.

“Lantas, darimana saya bisa mendapatkan tangga itu?” Ucapan Diena hanya dibalas senyuman laki-laki di hadapannya.

Laki-laki itu membuka perlahan kacamata hitamnya dan menampakkan dua mata berwarna merah milik laki-laki itu. “saya bisa memberikannya”, keduanya saling bertatapan dan sama-sama diam.

Destiny Of Eyes (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang