Chapter 3 : Svein¹

12 4 38
                                    

Domain 1
Lobus Alpha
21.12'2100|07:45

*Gubrak

Fajar baru mewarna katulistiwa, dan sudah ada yang tumbang bahkan sebelum kabut membubarkan diri. Setelah hentakan jatuh itu bersuara, sepersekian detik kemudian datang jerit kedua.

"Akhhh." Suara lara itu menggema, mengisi seluruh ruangan dominan putih. Begitu kentara sampai-sampai mengusik telinga para tetangga. Dan raungan kesakitan itu mencuat dari mulut Riu.

Kursi hitamnya gagal mengemban tugas. Empat kakinya terjungkal, terjun kebelakang. Membuat Rangka setengah besi itu roboh diatas lantai kayu mengkilap dengan korban yang masih tergeletak bertopang.

"Riu ..." Riura spontan keluar dari layar untuk membantu Riu. Namun, saat tangannya menembus lutut terbuka itu, ia terhenti. Sia-sia saja ia mengajukan diri karena memang personanya hanya susunan dari sinar hologram yang merumpun.

"Sialan! Ha ha, ha ha ha ha." Sedangkan orang yang ingin ditolong masih sibuk tertawa di tempat kejadian perkara. Tawa yang mengasihani hati karena tersadar betapa menyedihkannya citra diri.

"Aku kira kali ini akan berhasil, mungkin pusingku tadi karena efek dari aliran listrik yang tidak stabil," ucap Riu santai sambil membebaskan lubang telinganya dari belenggu earpeace.

Bagaikan kaki yang keluar dari tanah berlumpur, earpeace itu terlepas meninggalkan kesan becek menjijikan. Tak tahunya darah telah mewarna. Menetes-netes. Menodai pipi kala dihadapkan pada sang lensa ahmar pudar. Merah pun saling bertemu. Bedanya yang satu menyala-nyala, yang satu lagi samar kurang warna. Dengan demikian, bertambahlah sudah rentetan jejak cidera di telinga bagian kirinya.

Kedua earpeace itu kemudian diulik oleh telunjuk dan ibu jari, sebelum berakhir tergeletak diatas lantai. Terjatuh bersama lengan yang lemah terkulai. Karena lensa yang sebelumnya menelisik merah delima itu, kini terusik oleh langit kamar yang mencuri perhatian.

Netranya beradu dengan atap yang sama, tapi tak serupa. Kini bukan langit tenang yang memayunginya, melainkan samudra murka. Lautan yang tak berteman.

Para kapal yang sebelumnya hanya menjadi hiasan dinding, kini mulai dipaksa berlayar oleh ombak yang berkecamuk. Terarak menuju /vortex yang muncul di pusat badai. Dan ketika para kapal itu tertelan hidup-hidup, sang samudra pun semakin berantakan. Tak beraturan. Dari riak abstrak itulah, muncul sketsa wajah yang tersenyum.

Ya. Riu dihadiahi sebuah senyuman. Namun, bukan senyum yang memintanya untuk mengulang kembali, melainkan kurva lengkung yang penuh dengan hinaan atas kegagalan yang Riu alami selama ini.

"Hahaha, aku pati sudah gila," batin Riu setelah menangkap citra horor dari sketsa khayalan yang terus melebarkan senyumnya itu. Terlampau lebar hingga bibir robek dibuatnya.

Puas di cela oleh benda mati yang tak nyata, Riu mencoba melarikan diri dengan memalingkan pandangannya ke sumber masalah terbesarnya saat ini. Batu penjegal yang membuat Riu merasakan pahitnya kegagalan hingga ratusan kali.

Listrik yang tidak stabil. Ya, itulah kendala yang Riu alami selama ini. Ia kesusahan mengatur tegangan agar tetap selaras dengan alat rancangannya. Meski sebagian besar sistem telah ditangani oleh Riura, khusus untuk aliran listrik yang menyuplai earpeace itu memerlukan chip pengontrol tersendiri yang setara levelnya dengan otak Riura. Karena kedua alat Riu itu saling terpisah. Bisa dikatakan saat ini Riu membutuhkan lebih dari satu asisten semacam Riura. Namun, itu mustahil baginya.

"Dewi RA, beri hamba-Mu ini uang,"

"Riu." Riura mencoba memecah lamunan Riu.

"Ah, iya Riura," Riu terkesiap. Kedua tangannya kini bergerak menyelamatkan diri setelah terkapar tanpa ingin beranjak pergi. "Maaf-maaf, tadi bilang apa?"

VoNDove le storie prendono vita. Scoprilo ora