Chapter 0 : Untukmu

37 6 18
                                    

    Ia sang kembang mati.
    Layu kala mentari baru menyingsing pagi.
    Tanpa mengenal embun, tanpa juga berseri.
    Mahkota putihmu runtuh.
    Gugur di pelataran bumi.
    Sepi.
   
    Ia adalah luka.
    Terbenam tangan kaki durjana.
    Setiap inci, setiap jangka.
    Tulang letihmu ringkih.
    Terhantam alur naskah Semesta.
    Lara.
   
    Ia adalah dendam.
    Membara nyala api neraka.
    Pekik terpendam, jerit mendalam.
    Hati kecilmu hangus.
    Terkobar bara tak kunjung padam.
    Lebam.
   
    Ialah ... Riu Karlsefni.
   
    "Kak Riu ...." Nada lirih nan sumbang. Menyeruak dari kurva lengkung milik gadis berlensa bening-perak-kumbang. Terlampau jernih, hingga pelangi terbias dengan gampang. Seolah memang netra itu adalah rumah bagi para cakram warna. Namun sayang, kini hanya merah yang dominan pekat, lekat.
   
    "Ryuchi ingin pergi," lanjut gadis mungil itu sembari memainkan kain kasa. Jari jemarinya kini sibuk menutup cedera dengan lihainya.
   
    Sementara itu di depannya, duduk sang lawan bicara. Anak laki-laki dengan tatapan sayu sendu. Berbeda dengan sang adik, iris miliknya merah merona. Namun, tak bergelora. Tak bernyawa.
   
    Dialah yang bertanggung jawab atas memerahnya lensa putih milik sang adik. Dia juga yang memaksa tangan mungil itu menyeka delima kesumba.
   
    Bagaimana tidak? Setiap kali bocah laki-laki itu keluar dari pintu kelabu, yang ia bawa kembali selalu luka pilu. Kadang memar membiru. Kadang juga ahmar menderu.
   
    Ya, dia lah satu-satunya orang yang mengenalkan itu. Kejam? Tentu saja. Belum saatnya bagi gadis usia belia mengenal kerasnya medan rumah sengsara. Namun, mau bagaimana lagi? Memangnya apa yang bisa anak laki-laki itu sembunyikan dari sang adik di ruang dua kali tiga? Tentu saja tidak ada.
   
    "Kemana?" jawab sang kakak sembari menyingkap surai sang adik tanpa mengubah tatapan sayunya.
   
    Hening. Tak ada satupun kata yang membisik daun telinga kering. Lagipula, tempat apa yang bisa disebut oleh sang adik yang selalu terkurung bersamanya? Sekali lagi tidak ada.
   
    "Hmm ..." anak laki-laki itu lantas bergumam, "mau ikut kakak ke VoN?"
   
    Kata itu ... tiga aksara akhir itu, V-O-N, begitu singkat nan magis. Membuat momentum terasa terhenti. Seolah sang waktu sedang mempersilahkan Semesta untuk berbicara.
   
    Semua terdiam. Bungkam. Tak ada angin bersemilir. Air pun enggan mengalir.
   
    Sang adik juga tak luput dari buaian sihir aksara langit. Mulutnya menganga dengan raut berbunga-bunga. Seolah mengerti, meski tak mengenali. Kini pelanginya kembali, menatap sang kakak berseri-seri.
   
    Sang adik pun lantas mengangguk sembari mengikat simpulan kain kasa.
   
    Sedangkan sang kakak tak mengerti. Belum sempat menjelaskan makna dan isi, sang adik langsung menyetujui. Namun, tak apa. Ia tahu senyum telah tercipta. Senyum yang sangat langka dilihat olehnya. Dengan senyum itu ia percaya semua akan baik-baik saja. Walau tak berani dirinya berkata bahwa apa yang akan mereka tuju hanyalah mitos belaka.
   
    Ya. VoN, dunia absolut dimana semua harapan dapat terwujud. Semacam utopia yang hanya bisa dilukis oleh imajinasi setengah logis. Bersembunyi dibalik awan dimensi kosmik yang terlihat tipis. Terdengar seperti hayalan, Buaian angan. Bagaimanapun juga sang kakak mengenal kata itu dari sebuah kitab, dan tempat itu adalah dunia yang dijanjikan oleh seorang dewi untuk para pengikutnya.

    Ia hanya mencoba untuk percaya. Meski akal sehat menolaknya. Meski hati lelah bertadah mimpi yang enggan jadi nyata. Ia hanya ingin bebas dari belenggu duka walaupun itu artinya harus menggantungkan harapan ke sebuah legenda.

    "Kalau begitu, ayo kita kesana," pungkas sang kakak seraya memeluk sang adik. Semakin lama semakin erat. Seirama dengan ketukan pintu yang sedari tadi berisik. Meneror, mengikis bahu kecil anak laki-laki itu sedikit demi sedikit.
   
    "Sampai kapan ..."
   
    Bisik hati kepada jiwa yang lelah menanggung lara. Takut milik sang adik, serta resah hati miliknya. Kini, dengan satu-satunya harapan tersisa, yang bisa ia lakukan hanya bertahan, seraya berharap sang dewi datang, lalu berkata ...
   

    "Untukmu, jauh di ujung garis-garis imajiner yang tak berbatas, mengamuklah ..."


~Untukmu

***

Buah manggis, buah pepaya ...
Cuma suka manggis aja sih gak suka pepaya hehe.
Vote kalau suka, kritik kalau gak suka, dan sampai bertemu di chapter selanjutnya~~
See ya-!!

VoNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang