Chapter 1 : Domain¹

21 5 48
                                    

Domain dunia telah berpindah.

Dan sebelum semua itu terjadi, sebelum ikut tergeser bersama garis imajiner, ia tengah tersungkur kaku. Terkapar diatas rerumputan gelita berteman akar. Pengar.

Di bawah perlindungan pohon kering tak berdaun, beratap gemerlap kunang-kunang kartika, ia pasrahkan jiwa beserta raga lelahnya. Bersandar penuh gusar. Penuh getar sengal.

Tubuhnya meringkuk, kaki-kaki ditekuk sampai rongga dada yang meronta meminta udara, lalu dikunci oleh tangan kiri yang acuh tak peduli

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tubuhnya meringkuk, kaki-kaki ditekuk sampai rongga dada yang meronta meminta udara, lalu dikunci oleh tangan kiri yang acuh tak peduli. Sedangkan tangan satunya mempersembahkan sang ibu jari untuk dicabik-cabik oleh barisan gigi gelatar.

Mata merahnya turut terpejam. Seolah tak peduli dengan apa yang ada dibalik bayangan. Sementara sang hati terus memekik. Tak henti-henti memanjatkan permohonan kepada para bintang untuk tetap diam. Agar tempatnya tak diketahui. Agar auranya dapat tertutupi.

"Kabut, mengepullah ...!" pintanya kepada sang alam. Namun, sebelum sang halimun datang menyelimuti, seseorang dari belakang mulai mendekati zona diri.

"Riu ..." Lolongan penyihir wanita merambat cepat. Begitu keras, penuh siksa. Menebar teror bagi Riu yang belum sempat beristirahat.

Sukmanya tersentak, netranya terbelalak. Dengan cepat getar menguasai diri. Cukup satu jeritan saja mampu membuat langkah gagal berdiri. Lumpuh seketika.

Degup kencang jantung juga semakin menggila. Seolah tengkuknya tertusuk tatapan sang penyihir wanita yang mampu melubang paksa batang pohon yang Riu percaya. Menatapnya sembari berkata ....

"Ketemu ..."

Cekam. Petaka semakin dekat mengancam. Dan satu-satunya pilihan yang dapat Riu ambil hanyalah lari. Ya. Hanya kembali menyiksa diri. Lagi.

Lari, lari, lari dan berlari. Setengah hari itu ia habiskan untuk menjauhkan diri. Sampai perih tak lagi terasa, karena kaki lepuh sudah terbiasa. Terbakar pertiwi yang menolak asa.

Rongga dada pun terus dipaksa memompa. Meski makin lama makin terasa pengkhianatan partikel O². Menjauh pergi. Enggan mengisi paru-paru letih setengah mati.

Alam turut menyiksa dan Riu sudah pasti menderita. Namun, tekad hatinya sudah bulat. Ia harus pergi dari jerat.

Tapi kenapa? Kenapa Riu sampai seperti itu? Siapa penyihir wanita itu sebenarnya? Kenapa Riu bersikukuh lepas dari belenggu? Padahal wanita itulah yang membentuk Riu. Padahal wanita itulah yang memberi nama 'Riu'. Padahal wanita itu juga yang pertama kali mendamba Riu.

Ya. Penyihir wanita itu adalah apa yang manusia biasa sebut sebagai 'ibu'. Tetapi Riu tak lagi melihatnya seperti itu. Entah badai seperti apa yang menerjang mereka berdua, yang pasti penuh dengan liku.

Langkah kecil pun telah tercipta, kaki-kaki itu mulai dipaksa kembali menopang raga. Menjauh dari sumber suara.

"Riu, tunggu Nak ...." Sekali lagi sang ibu meneriaki anaknya setelah berhasil menangkap siluet hoodie putih dilautan kegelapan. Warna yang begitu kentara di mata. Sama seperti jurang diantara mereka, begitu jelas menganga.

VoNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang