Chapter 2 : Domain²

19 5 47
                                    

Domain 1
L

obus Alpha
21.12'2100|07:30


"Hmm, jadi ini bukan duniamu ya, Riu?" Nada renyah penuh tanya itu mencuat dari pita suara seorang gadis berlensa bening laut dangkal. Ia bertanya kepada sang tuan, sang pemilik hidupnya yang memaku tak kenal waktu.

Entah telah sejauh apa pertanyaan itu dari kata 'pertama', yang gadis itu tahu ia telah menanti lama. Cukup lama hingga bunga seolah bersemi ditengah badai salju. Namun, tak kunjung lebah bertamu. Padahal sebelumnya mereka berbincangg panjang lebar tentang keajaiban dan masa lalu.

Detik kembali berkumpul menjadi menit. Menit terhimpun membentuk jam, dan gadis itu tetap menunggu tanpa jawaban. Saat bibir tipis merah mudanya hendak kembali mengajukan tanya, tiba-tiba sang lawan bicara membuka suara.

"Ya benar. Ini bukan duniaku, Riura."

Beberapa susunan frasa dari celah konsentrasinya sudah cukup mencairkan penantian panjang dari gadis bertajuk Riura. Laksana angin musim semi yang menghangat. Menyapu kembang kapas putih milik sang langit. Merekahkan senyum menarik.

"Jadi kamu berasal dari duniamu yang lain? Atau bagaimana? Aku tak begitu mengerti, Riu." Sekali lagi Riura mengajukan pertanyaan. Seakan tak kapok bertemu jurang penantian.

Bukan tanpa alasan Riu menelantarkan pertanyaan dari teman sekamarnya itu, karena memang waktunya tidak pas. Saat ini ia berada ditengah pertempuran yang menguras segalanya. Kesabarannya, waktunya, fokusnya, semuanya. Perang melawan barisan syntax yang menyerbu tanpa pandang bulu.

Dari ditemani sinar rembulan, hingga disapa kembali oleh sang surya, ia masih dibuat terpaku menghadap layar yang mulai berkunang-kunang. Jemarinya menari tanpa henti, mencoba memaksa tunduk barisan kode algoritma yang bergerak liar tak terkendali. Bagaimanapun juga, Riu hampir mencapai batasnya. Hampir takluk tanpa balas.

Kala lensa merah mulai kehilangan ronanya, saat itulah suara candu mulai menyela.

"Riu ...." Sinyal intervensi telah dikumandangkan. Dengan sekejap alunan merdu bak harpa surgawi itu memasuki rongga pendengaran. Merevisi yang buram kembali jelas, yang kabur tak lagi samar. Merah kembali mewarna.

"I-iya, Riura," ucap Riu sembari menautkan diri pada ujung meja. Hampir tumbang Riu jika saja Riura tak menariknya dari medan perang. Meski Riu adalah seorang veteran, dengan segala kekalutannya, perang tetaplah perang.

"Aman?" Pertanyaan yang sedikit rancu. Berbumbu emosi murni dari lubuk hati yang lelah diacuhkan.

"Menurutmu? Hehe." Sedangkan Riu masih bisa bercanda. Tawa tipis mengiringinya saat butiran air diseka dari sekujur muka.

Riura lantas tersenyum mendengar reaksi Riu yang masih menawarkan gelak tawa, karena memang seperti itulah 'Riu' yang ia kenal. Serendah-rendahnya posisi Riu, ia akan tetap mendongak sekuat tenaga, menatap langit angkuh dengan cerobohnya sambil tertawa. Bukan karena pantang menyerah, tetapi lebih ke congkak nan keras kepala.

"Istirahat dulu. Kamu sudah begadang dua hari ini 'kan?."

"Huft!" Riu membuang napas, sambil meminta kursi kerjanya untuk membentuk sudut 120°. "Mungkin kamu benar, Riura, waktunya istirahat sebentar." Kedua tangan itu mulai sejajar dengan kepala. Turut memberikan ruang kepada tulang-tulang yang merenggang. Meminta jeda dari bungkuk yang berkepanjangan.

Sedangkan Riura masih terjebak dengan jawaban Riu. Tak biasanya kepala batu itu menerima bahasa manusia. Lazimnya perlu hantaman dari batu angkasa terlebih dahulu agar kerikil itu mau melunak. Namun, Riura tak memusingkannga. Ia segera larut ke dalam suasana lega kerena Riu mau menurutinya.

VoNحيث تعيش القصص. اكتشف الآن