42. Mulai Membaik(?)

Start from the beginning
                                    

Orang tuanya hanya tahu Bella suka berpetualang di jalanan, tanpa tahu apa yang sebenarnya dia lakukan. Mereka hanya mendengar garis besar yang sudah Bella pilah untuk diperdengarkan.

Sejak lulus SD Bella bahkan menyuruh Jeya dan Rista--sahabat kecilnya, untuk tidak terlalu akrab dengannya lagi, terutama saat di luar. Dua sahabatnya itu hanya berpikir, mungkin karena Bella bergaul dengan preman, Bella takut Jeya dan Rista dijadikan target orang yang tidak suka dia. Mereka tidak tahu jika selain untuk melindungi mereka, Bella melakukan itu agar mereka tidak terlalu tahu banyak tentang dia, agar dia tidak dibenci nantinya.

Mereka tidak tahu.

Namun, sekarang Gavin yang tahu.

Bella berhenti. Ia berjongkok dengan helaan napas panjang. Membongkar total identitasnya adalah senjata terakhir yang Bella punya untuk membuat Gavin pergi. Berada di sisi Bella terlalu mengerikan untuk siapa pun. Namun, kenapa Gavin tidak pergi? Kenapa dia justru memeluk Bella dan membuat Bella merasa jika dia punya penyangga?

Kenapa Gavin begitu?

Bella menghela napas lagi, lalu menunduk dan memeluk kakinya. Ini terlalu sulit dipercaya, tapi hatinya berujar naif jika dirinya bisa menaruh harap.

oOo

Gavin sering pulang malam dengan waktu yang tidak menentu. Oleh sebab itu Gavin diberi kunci cadangan, agar tidak perlu ribut saat pulang. Selain lebih praktis, itu pun sangat membantu saat Gavin pulang dengan keadaan kurang baik seperti sekarang ini. Gavin tak membuat keluarganya khawatir.

Namun, sepertinya hari ini Gavin kurang beruntung. Saat dia hendak mengambil minum, ada Jola yang duduk diam di meja makan. Di depannya terdapat sisa-sisa kulit buah, sementara orangnya diam termenung, bukannya beranjak.

"Belum tidur?" tanya Gavin dengan sedikit harap lampu temaram di sana mampu menyembunyikan kondisinya. Jola tidak bole tahu dia terluka.

"Nggak bisa tidur," adu Jola dengan helaan napas lelah. Posisi duduknya sedikit melorot tanpa tenaga.

"Harus tidur, bukannya besok kamu sekolah, harus persiapan buat berangkat ke puncak lusa juga 'kan?" Gavin membuka kulkas lalu mengambil softdrink dari sana.

"Justru itu, aku nggak sabar, jadinya nggak bisa meremin mata. Aku udah coba berkali-kali, tapi susah."

Gavin melempar bekas kaleng minumnya ke tempat sampah. "Minta nina boboin sama Lula."

"Dia nggak ada." Jola menghela napas kecil. Lalu kemudian seolah teringat sesuatu. Jola menatap Gavin dengan mata memicing.

"Bukannya Kak Gavin benci kalo aku sama Kak Lula?"

Gavin menunduk dengan raut yang sulit diartikan.
"Karena dia nggak nyata."

Gavin menghela napas kemudian mengusap kepala adiknya itu. "Kakak nggak pengen kamu dipandang aneh. Kamu tau 'kan yang orang lihat kamu itu ngomong sendiri."

Tatapan Jola semakin tajam.

"Awalnya Kakak pikir gitu," tukasnya. "Tapi sekarang Kakak ngerti. Kakak mungkin nggak selalu ada di samping kamu. Ada titik di mana kamu sangat butuh, tapi Kakak nggak ada. Harus Kakak akui, Lula selalu temenin kamu. Saat kamu takut, dia ada nemenin kamu."

Meskipun tatapannya memicing, Jola mengangkat jempolnya. "Apa aku bilang, Kak Lula itu bukan pengganggu."

Gavin tersenyum kemudian mencubit pipi Jola. "Iya-iya, sampein makasih Kakak."

Jola menggeleng. "Kak Lula benci Kak Gavin."

"Kok gitu?"

"Terserah aku dong." Jola bangkit lalu berjalan meninggalkannya.

Pacaran [TAMAT]Where stories live. Discover now