44. Garis Memulai

3.4K 547 36
                                    

"Mbak Zara 'kan?" tanya Gavin dengan tenang meski jelas posisinya kini tersudutkan. Pisau di depan lehernya bisa dengan mudah menggores kulitnya.

"Apa yang lo rencanain?" ucap Zara dengan nada yang begitu tajam. Intonasinya membuat siapa pun yang mendengarnya tahu jika perempuan itu punya karakter yang kuat.

"Lo cari tau tentang gue, lo juga nyamperin tempat tinggal gue. Bagian mananya yang nggak ada apa-apa?"

Zara semakin menekan yang membuat Gavin semakin berhati-hati dalam mengambil napas. "Lo salah paham, Mbak. Gue nggak ada maksud apa-apa sama lo, gue ngelakuin itu buat nyari Bella."

"Lo pikir gue bodoh!" Zara memekik. "Gue tau yang lo incar Bella. Pertanyaan gue apa yang lo rencanain buat dia?"

Eh? Jadi dia datang karena Bella, bukan diri sendiri? Anak Billa memang seloyal itu ya. Benar-benar menempatkan Bella sebagai prioritas utama.

"Sama sekali nggak ada niat jahat."

Zara menekan tangan Gavin yang membuat cowok itu sedikit meringis. "Lo benar-benar anggap gue bego ya? Lo pikir gue nggak tau alasan sampe Bella kabur dari rumahnya dan terpuruk itu?"

Gavin merinding. Anak Billa benar-benar luar biasa. Entah seperti apa jaringan yang ada di dalamnya, yang jelas bukan hal yang bisa diremehkan.

"Iya, kami emang pernah bermasalah. Dan gue berusaha buat memperbaiki. Gue kalut, gue cuma pernah liat Bella sama lo, jadi maaf kalo gue ngorek informasi tentang lo, Mbak," papar Gavin sejujur-jujurnya. Kalau tahu Bella ada di rumahnya, dari awal Gavin tidak akan mencari apa pun tentang Zara.

"Nggak usah ngoceh, omong kosong. Sekarang di mana Bella?"

"Di rumahnya."

Zara tertegun untuk beberapa saat. "Bella pulang?"

"Iya, Mbak bisa datengin kalo nggak percaya. Gue juga baru pulang dari sana."

Gavin mendorong tangan Zara yang mulai mengurai sikap kerasnya. Gavin pun keluar dari kuncian wanita itu dan menghadapnya. Raut Zara saat ini sangat berbeda jauh dengan Zara yang Gavin lihat di depan gerbang sekolahnya.

Manusia memang wajar punya banyak ekspresi, tapi Zara ini seperti dua orang yang berbeda. Auranya sama sekali tidak punya kesinambungan untuk menjelaskan bahwa itu adalah orang yang sama. Mungkin memang seperti itu cara Bella mendidiknya.

"Gue nggak bohong, Mbak. Kita udah ngobrol dan sekarang udah lebih membaik."

Zara berdecih. Ia melipat pisaunya lalu dimasukkan pada saku. Tatapannya tetap sinis pada Gavin. Meskipun begitu entah mengapa Gavin merasakan tekanan auranya menurun. Tidak semencekam sebelumnya.

"Gue bener-bener nggak ada niat buruk sama sekali," ucap Gavin seraya mengangkat kedua tangannya.

"Gue benci lo," ucap Zara sebelum melenggang pergi dari sana.

oOo

Venni menyimpan tangannya pada pinggang. Ia menghela napas melihat putrinya yang tengah duduk manis menghadap TV. Sebelah tangannya memeluk toples kaca berisi cookies yang tersisa setengahnya lagi.

"Bell ...."

Putrinya itu menoleh dengan pipi yang penuh. "Apa, Ma?"

Venni menghela napas lagi. "Mama bingung. Mama seneng kamu akhirnya makan cookies Mama lagi setelah sekian lama, tapi di samping itu toples yang ada di pelukan kamu itu toples keempat yang kamu jamah dan itu tuh yang terakhir," papar Venni dengan penuh bimbang. Antara mau senang atau kesal.

"Mama mau?" tawar Bella, memasang wajah tanpa merasa bersalah adalah andalannya untuk membuat ibunya itu kembali menghela napas.

"Nggak papa, lanjutin aja," ucap Venni yang berlalu ke arah kamarnya dengan tangan memegang kening. Bella pun hanya tertawa kecil melihatnya.

Pacaran [TAMAT]Where stories live. Discover now