Bab 1 (Dunia fana)

29 3 0
                                    

Perempuan berambut coklat panjang bergelombang keluar dari sebuah ruangan dokter. Usianya baru sekitar 20 tahun. Semua orang yang mengantri memandangnya dengan tatapan iba.
"Sungguh kasihan di usia yang semuda itu. Aku akan sangat sedih jika anak ku yang seumuran dengannya terkena penyakit ini", ucap seorang tua dengan berbisik ke orang sebelahnya.

'Aku harus kuat', kata perempuan muda itu kepada dirinya sendiri sambil melayangkan senyum manisnya dan pergi mencari sebuah taman sepi untuk menenangkan dirinya.

Secarik kertas bertuliskan diagnosis kanker otak dengan stadium akhir dengan lambang sebuah rumah sakit yang ternama di ibukota digenggam erat dengan putus asa. Perempuan muda itu menaikan kacamatanya untuk mengusap setetes demi setetes airmata yang keluar membasahi pipinya. Betapa tidak kejam, dia yang kini hidup sebatang kara dengan tumpukan hutang dari orang lain kini harus menghadapi kenyataan pahit lainnya. Penyakit yang selama ini ia kira hanyalah penyakit biasa karena lemah fisik dan stres berkelanjutan justru berkamuflase menjadi sel kangker yang ditakuti banyak orang dan menginginkan kehidupannya.
"Tuhan, mengapa Kau mengujiku seperti ini? Kenapa tidak langsung mengambil nyawaku daripada membuatku merasakan sakit penderitaan terlebih dahulu. Selama ini aku hanya bertekad aku harus kuat, aku harus hidup dengan baik, aku harus baik baik saja agar keluargaku yang sebelumnya pergi terlebih dahulu tidak memiliki penyesalan karena meninggaljanku sendirian tanpa kekuatan di dunia yang kejam ini", ucap perempuan muda itu.

Rajapatni nama perempuan muda itu, namun kehidupan yang dijalani begitu nelangsa.
Di usianya yang ke 18 tahun seluruh keluarganya tewas dalam sebuah kecelakaan ketika saat melakukan wisata keluarga. Rajapatni yang absen untuk mengikuti tes perguruan tinggi menjadi satu satunya anggota keluarga yang selamat. Menjadi satu satunya membuat ia yang harus memegang kendali atas seluruh hak usaha yang ditinggalkan keluarga besarnya. Padahal sebelumnya, kakak sepupunya lah yang akan direncanakan sebagai calon pemimpin berikutnya. Sedangkan Rajapatni, hanyalah seirang gadis biasa yang tidak pernah berencana untuk masuk ke perusahaan keluarganya. Ia memiliki cita citanya sendiri untuk menjadi seorang seniman. Tentu saja keluarga besarnya mendukung cita citanya tersebut. Mereka bahkan membantu Rajapatni untuk seleksi masuk ke sebuah universitas seni no 1 di dunia. Itulah yang menyebabkan dengan berat hati ia tidak bisa turut serta dalam pertemuan wisata keluarganya.

Dua tahun berlalu, ia pontang panting memaksakan dirinya sendirian berjuang bertahan hidup dari para petinggi perusahaan keluarganya yang ingin mengambil kesempatan bahkan mengirim para pembunuh bayaran untuk menyingkirkannya.
Tiada keluarga, tiada kawan, tiada relasi. Ia melakukannya dari nol sendirian.
Terkadang Rajapatni berfikir, jika para petinggi itu memperlakukannya dengan baik dan membiarkannya melakukan apa yang benar benar ia inginkan, dengan senang hati Rajapatni memberikan perusahaan tersebut. Ia tidak ada ambisi untuk menguasai perusahaan keluarganya yang memiliki reputasi peringkat ke 15 perusahaan terbaik dan terbesar.

Orang yang ia panggil teman perlahan manampilkan sosok asli mereka di setiap lika liku kehidupan Rajapatni.
Ia benar benar sendirian.

Semua sudah ia lalui, tapi kini secarik kertas nampak menertawai dirinya. Sebuah vonis kangker menggerogoti tubuhnya.
"Rupanya diriku sendiri yang berkhianat kepadaku", gumam Rajapatni.

Rajapatni memanggil sebuah taksi dan memberikan sebuah alamat yang tak asing ia datangi. Sebuah gedung pencakar langit yang selama 2 tahun ia coba pertahankan bahkan dengan nyawanya. Ia memasuki gedung tersebut. Setiap orang yang melihatnya memberikan hormat.
"Munafik", gumam Rajapatni sambil tersenyum manis.
Rajapatni memasuki sebuah lift dan menuju lantai teratas.
Lift terbuka, beberapa wajah yang tidak diinginkan muncul dihadapannya. Mereka adalah para petinggi perusahaan yang berusaha untuk merebut hak nya selama ini. Karena gagal, mereka menyebabkan kerugian dan utang yang menumpuk bagi perusahaan. Dengan takut mereka keluar lift tinggalah Rajapatni.

'Sejujurnya aku tidak pernah mendambakan keluasaan seperti ini. Aku hanya ingin hidup normal dan tenang seperti orang biasa lainnya. Di usiaku harusnya aku sibuk mengejar pendidikan dan makan bersama keluargaku. Terkadang bermain bersama teman sebayaku. Apakah cita citaku sangat sulit diwujudkan? Aku hanya ingin hidup yang biasa saja', kata Rajapatni dalam lamunannya sendiri.

Ting..
Suara lift berbunyi tanda pintu lift akan terbuka. Lantai teratas tempat Rajapatni berada.
Satu menit berlalu namun pintu lift tidak kunjung terbuka.
Rajapatni mencoba menekan beberapa kali tombol buka pada pintu lift namun gagal.
Ia mencoba menekan tombol darurat tapi tidak ada hasilnya.
Ini ajan menjadi situasi yang menegangkan dimana lift yang ia naiki macet ketika ia berada di kantai teratas perusahaannya, lantai 35.
Pikiran Rajapatni mulai melayang.
'Seandainya lift ini rusak dan aku terjatuh dari ketinggian ini apakah yang akan terjadi. Yang lebih penting, apakah ini salah satu ulah mereka lagi?', fikir Rajapatni.

Ia melangkah ke arah sudut lift dan mencoba duduk.
Lampu lift berkedip hingga akhirnya mati.
Rajapatni tertawa sambil berkata, "Sialan!".

Lift kemudian berguncang keras. Sepertinya sebuah kabel putus. Dan tak lama lift itu terjatuh terbawa gravitasi bumi.

Orang orang dilantai dasar panik berlarian. Sebuah lift dari lantar teratas terputus.

Suara sirine ambulance terdengar untuk mengevakuasi para korban. Rajapatni yang tubuhnya hancur bersimpah darah sempat memandang sekitar dari celah puing puingnya.
'Aku sekarat. Sebentar lagi aku akan mati. Apakah akan ada orang yang datang di pemakamanku? Apakah akan ada orang yang menangisi kepergianku? Itu tidak penting. Sekarang semua sudah berahkir. Aku sudah berjuang. Aku tidak kalah oleh kehidupan ini. Aku sudah berjuang', gumam Rajapatni.

Kedua matanya mulai berat dan kehilangan sinar. Perlahan ia menutup matanya dan memasrahkan diri kepada kematiannya.
Dirinya terasa dingin seakan masuk kedalam kubangan air es.

Sensasi lembut dan hangat mulai merasuk secara tiba tiba mengganti dinginnya es yang ia rasakan barusan.
Suara cekikikan canda tawa masuk ke dalam dua telinganya menghilangkan suara ambulance yang sebelumnya terus berdengung.
Dengan ragu ia membuka matanya.
Pemandangan menakjubkan. Beberapa wanita cantik sekitar 6 orang tengah asik bercanda satu sama lain. Mereka sangat cantik. Kulit bersih bersinar, rambut panjang indah bak iklan sampo, pakaian yang terbuka namun elegan, ditambah dengan perhiasan permata yang menghias tubuh indah mereka.
"Kematian ini tidak buruk. Aku bisa melihat bidadari surga. Sepertinya aku akan masuk surga. Penderitaanku selama ini tidak sia sia", ucap Rajapatni puas.

Selendang BidadariWhere stories live. Discover now