Hutang

279 46 3
                                    

Keesokan hari saat langit biru berubah abu-abu, suara dentuman petir yang menggema menemani Ezio di pinggir lapangan. Ujung kakinya yang tertutupi sepatu beberapa kali menepuki lantai tanda ketidaknyamanan yang mengganggunya. Kepalanya mengadah memandang keraguan hujan yang akan turun atau tidak.

Sesekali dalam hatinya bersuara agar pertemuannya nanti dengan kakak kelasnya itu berlangsung cepat dan ringkas. Lebih tepatnya mental dirinya yang bersiaga ingin segera selesai segala urusannya.

Padahal kalau dipikir, ini hanya membayar hutang dan Baga juga tidak menggigit seperti singa sungguhan. Tapi batin Ezio diselimuti rasa tidak karuan akan ketakutan.

Dari tengah lapangan, langkah Baga mendekatinya. Seperti waktu yang memperlambat gerakan kedua manusia ini, bersitatap mereka tidak terlepas. Sekali rambut berantakan Baga yang tebal itu mengganggu pengelihatan Ezio untuk merapikannya. Kenapa bisa ada orang yang betah dengan rambut tidak beraturan?

Berbeda dengan Ezio yang poninya sedikit menutupi mata, masih terlihat rapi karena memang jenis rambutnya yang lurus jatuh terurai meski diterjang badai tidak akan berubah.

"Ini utang saya, Kak."

Baga mengusak rambutnya sendiri karena dirinya yang berkeringat sehabis pelajaran olahraga. "Saya, saya, udah kaya sama bos lo."

"Iy-" napasnya tercekat lagi seperti kemarin. "Iya, gue maksudnya."

Satu hal yang membuat beberapa orang segan dengan Baga, tatapannya yang tidak pernah lepas pada lawan bicaranya. Hanya menatap biasa, tidak ada emosi apapun tapi mampu membuat orang terpaku diam.

Lalu Baga melepaskan kaos seragam olahraganya, berhubung sudah istirahat kedua dan jam pelajaran juga sudah selesai. Dia ingin mendinginkan tubuhnya dari peluh.

Tetesan keringat itu membasahi dada dan jatuh pada perutnya yang rata, sedikit ada bayangan lemak dan daging tebal yang memenuhi. Lengannya padat, makin terlihat ketika dia mengangkat tangannya untuk mengusap leher dengan kaosnya. Urat tangannya yang menonjol karena tegang sehabis olahraga menambah kesan maskulin, gagah, tidak tertembus.

Ada rasa rendah diri ketika Ezio melihat badan Baga, sebagai sesama lelaki dia merasa seperti kurcaci.

Ini orang beneran anak SMA gak sih?

"Lo ikut ekskul apa?" Tanya Baga.

"Belum milih, Kak."

"Voli aja."

Ezio menampilkan wajah bodoh, bloon, bingung ketika Baga mengajaknya untuk masuk club voli. Apa dia tidak melihat struktur badan Ezio? Bisa jadi peyek teri dia disana. Atau bahkan menjadi tidak terlihat karena tubuh kurusnya.

"Saya, eh maksudnya gue gak bakat olahraga."

"Lo gak pendek banget, masih aman kalo gabung. Tinggal latih badan sedikit."

Anggap itu pujian, tidak terlalu pendek bagi Baga itu sudah bagus. "Nanti gue pikirin, Kak."

Baga mengangguk lalu berbalik pergi. Bukan hanya tubuh bagian depan yang sering membuat orang kagum. Punggungnya yang tegap dengan lekukan otot terlatih, juga bahunya yang menonjol itu sering disalahartikan seperti tembok cina karena saking kokoh kesuluruhan tiap anggota badannya.

Ezio mengakui kulit kecoklatan dan tubuh yang mendukung itu bisa membuat orang terpana. Tapi semua sudah terlanjur takut dengan sikap yang ditunjukkan Baga itu.

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang