Remuk di Dasar Hati

Start from the beginning
                                    

Zayan melepas jaketnya dan menutupi rok Cantika. Kedatangannya benar-benar seperti kesatria yang menyelamatkan tuan putri dari serbuan para singa.

"Tidak apa-apa, berdirilah! Aku akan menutupinya!" Kata Zayan yang seketika membuat Cantika terdiam.

Zayan tidak sama dengan Gibran, dan sorot mata itu begitu hangat, membuat sedikit ketakutan dalam hati Cantika terlepas untuk sesaat.

Cantika pun mengangguk, dan berusaha bangkit dari duduknya sedikit demi sedikit. Meskipun roknya sobek, tapi jaket Zayan menjadi penutupnya.

Sungguh kejadian yang membuat seisi kelas terbengong-bengong melihatnya.

"Dengar ya kalian semua! Meskipun aku tidak duduk di kelas ini, tapi jika aku tahu Cantika kalian perlakukan seperti ini, aku tidak akan tinggal diam! Aku tidak akan membiarkan kalian melakukan hal konyol seperti ini lagi!" Bentak Zayan dengan wajah emosi, membuat seisi kelas terdiam tidak berani angkat bicara.

Setelah membuat ultimatum seperti itu, Zayan lekas membantu Cantik berjalan keluar kelas. Seperti dalam drama-drama kolosal, pada akhirnya singa-singa itu pun tunduk dan terdiam patuh.

Zayan berjalan keluar kelas tepat saat Gibran hendak masuk. Mereka berpapasan dan saling menatap.

Gibran terkejut saat melihat wajah Cantika yang nampak kusut dengan airmata yang membasahi pipi. Ya Tuhan, perih rasanya melihat wajah putus asa itu, dan lebih perih lagi saat tahu bahwa yang menolong Cantika adalah Zayan.

"Minggir!" Suara Zayan dengan nada kasar.

Perlahan dengan tatapan yang tidak lepas kepada Cantika, Gibran berusaha melangkahkan kakinya mundur, membiarkan Zayan dan Cantika lewat. Dan detik itu ada yang hancur di dasar hatinya.

Bukan perasaan kalah, tapi menyesal. Gibran mengutuk dirinya sendiri yang tidak pernah bisa menyampaikan maksud baiknya, yang hanya bisa marah meskipun dalam hati ia sangat perhatian.

Setelah Zayan lewat, Gibran hanya mematung di depan pintu. Ia merasa dadanya begitu terasa panas dan sesak, bahkan persendiannya terasa ngilu. Ia tidak sadar bahwa perasaan yang tumbuh sudah begitu dalam dan mengakar, hanya saja ia tidak tahu cara mengutarakannya.

Kini Gibran hanya bisa tertunduk, kalut. Apalah daya, karena Cantika pasti membencinya. Semua gadis menyukai Zayan, jadi mustahil Cantika bisa lepas dari pesonanya. Apalagi jika harus bersaing, Gibran merasa tak punya senjata untuk mengalahkannya.

****

Dengan terpaksa Cantika izin pulang duluan. Kondisinya tidak memungkinkan dirinya untuk melanjutkan pelajaran hingga kelas selesai. Zayan mengantar pulang dengan taxi, tidak mungkin menggunakan bus yang ramai penumpang.

Di dalam taxi itu Cantika menangis. Ia tidak bisa menahan perasaan kecewa dan terluka yang begitu menghimpit dadanya. Kecewa dengan perjuangan yang sia-sia, juga terluka karena perundungan yang dilakukan teman-teman di kelasnya.

"Mereka benar-benar keterlaluan. Aku tidak menyangka jika mereka akan sejahat itu padamu." Kesal Zayan.

Cantika memilih diam sambil masih menumpahkan airmata. Ia tidak tahu harus berkomentar apa, ia hanya ingin menangis.

"Menangislah, jika itu membuatmu lebih tenang."

Kini Cantika menutup wajahnya dan menangis sepuasnya di dalam taxi itu. Ia tidak peduli dengan sopir taxi yang kebingungan. Baginya, hidup ini terlalu berat untuk anak yang baru tumbuh dewasa.

Dengan sabar Zayan menepuk-nepuk punggung Cantika agar dia bisa lebih tenang.

***

Sedang di lain hal, Gibran masuk kelas dengan wajah muram penuh murka. Ia melihat satu persatu wajah teman-temannya yang berhati sampah itu. Suatu saat ia akan membuat perhitungan pada mereka semua.

"Berapa usia kalian? Kenapa kalian masih melakukan perundungan seperti ini? Apa kalian pikir sikap kalian itu bagus?" Tanya Gibran sambil menendang kursi hingga terdengar suara dentuman yang mengagetkan jantung seisi kelas.

"Apa sih, Gib? Kamu tuh gak punya kekuatan di sekolah ini, jadi diam saja!" Tantang Boby, salah satu anak di kelas itu.

"Mana bisa aku diam, sikap kalian itu keterlaluan!"

"Alaaaahh,,, si cupu itu masih hidup kok, masih baik-baik saja, gak ada yang terluka, jadi mustahil jika kami jahat. Kami hanya cari hiburan." Sahut Helena di akhiri dengan tawa.

Gibran merasa tidak lagi mampu menahan emosi. Selama ini ia masih bersabar dengan Helena, tapi kali ini gadis itu seperti menyiram minyak di dalam api. Dengan tatapan tajam Gibran mendekati Helena.

"Semua ini ulahmu kan? Apa tidak cukup kamu membuat Cantika di peringkat terakhir sekolah ini? Apa tidak cukup kamu mengolok-olok dia setiap hari, ha?" Suara Gibran lantang bahkan nyaris meledak-ledak, membuat Helena sedikit gentar.

"Apa maksud bicaramu itu? Kamu pikir aku bisa menurunkan peringkat dia? Semua tentu karena kebodohan dia, mana mungkin aku bisa melakukan itu! Jangan konyol, Gib!"

"Benarkah?" Gibran mendekatkan wajahnya ke wajah Helena dengan tatapan menyala. Jujur, saat itu tubuh Helena nyaris oleng karena gemetar takut.

Baaaakkk

Boby datang menarik lengan Gibran dan memukul wajahnya hingga Gibran jatuh tersungkur.

"Jangan coba-coba membuat Helena takut, atau aku yang akan turun tangan!"

Gibran tersenyum sinis, dan perlahan berdiri. Namun justru Boby merasa gentar, ia mundur satu langkah, membuat benteng waspada jika Gibran menyerang tiba-tiba.

"Kalau kamu takut padaku, tidak usah sok jadi pahlawan." Sergah Gibran.

Boby terdiam, namun tangannya mengambil kuda-kuda, seolah ia akan menyerang.

"Ada apa ini?" Suara lantang kepala sekolah masuk kelas. Seketika semua anak duduk di posisi masing-masing.

"Kamu membuat ulah lagi Gibran?"

Dengan santai Gibran tidak menghiraukan pertanyaan itu dan memilih duduk di kursinya.

"Dengar kalian semua! Bapak sebagai kepala sekolah tidak suka adanya perkelahian di sini. Kalau kalian mau berkelahi silahkan keluar dari sekolah ini!"

Hening, semua mata tertunduk kebawah, takut.

"Terutama kamu Gibran! Catatan merahmu sudah banyak di sekolah ini, jadi jangan membuat ulah lagi! Atau aku tidak segan-segan mengeluarkanmu dari sekolah ini!"

Gibran hanya diam, dan kepala sekolah pun pergi.

Saat itu, hati yang sudah remuk seperti kembali dibenturkan dinding batu.



Happy Reading
Maaf gays baru on lagi di novel ini. Kemaren masih menyelesaikan novel lain, jadi butuh fokus. Makasih ya masih sabar menunggu. Doain semoga bisa menyelesaikan novel ini juga.

Last Summer (on going)Where stories live. Discover now