Sistem Sekolah yang Busuk

183 22 4
                                    


Hari itu semua murid berkumpul di loby kantor, tepatnya di depan papan pengumuman. Nilai hasil ujian sudah keluar, dan sudah tertulis dengan rapi siapa saja yang menduduki peringkat juara dan siapa yang hanya bisa gigit jari.

Cantika berjalan mendekat di antara kerumunan murid di sana. Ia membaca dari atas hingga bawah. Betapa kaget dan serasa lemas persendiannya. Ia mungkin tidak bisa peringkat pertama tapi ia tidak pernah menyangka duduk di posisi terakhir dari sekian ratus siswa di sekolah itu.

"Kamu pikir ini sekolah macam apa hingga anak panti bisa mengalahkan anak raja."

"Sekeras apa pun kamu berusaha tidak akan pernah masuk 100 besar. Ingat, ini sekolah untuk orang kaya, bukan sekolah untuk kemanusiaan."

Mendengar semua ocehan itu Cantika berusaha bertahan untuk tidak menangis, dan tanpa menghiraukan mereka ia pun keluar dari kerumunan dan berjalan menuju belakang sekolah yang sepi.

Cantika duduk di belakang gudang sekolah sambil menatap langit, ia ingat-ingat kembali perjuangannya selama ujian kemaren hingga ia jatuh sakit, namun hasil yang ia dapat sangat jauh dari ekspektasi, bahkan di luar logika.

Tanpa sadar airmata yang berusaha ia tahan pun jatuh.

"Aku sudah belajar sangat keras, bahkan aku merasa semua jawabanku di semua soal bisa dipastikan benar, tapi aneh sekali aku peringkat terakhir. Sangat tidak masuk akal." Keluhnya sambil menumpahkan semua airmata dan sesak di dadanya.

Diskriminasi sangat nyata di sekolah ini, bahkan guru sudah tidak lagi melihat kemampuan dan prestasi siswa, melainkan kedudukan orangtuanya.

"Sekolah ini memang bukan untuk anak baik seperti kamu." Gumam suara dari belakang, dan seketika Cantika menoleh sambil mengusap airmata.

"Gibran?"

Gibran yang ternyata sedari tadi tidur siang di balik semak-semak mendengar semua ocehan Cantika. Sejujurnya ia juga marah dan sangat membenci sekolah ini karena menjadikan Cantika sebagai tumbal, tapi ia tidak punya power untuk mengubah aturan itu.

"Kan sudah kubilang, jangan belajar terlalu keras agar kamu tidak kecewa. Lihat kan hasilnya sekarang! Kamu kecewa dan sakit hati." Kata Gibran sambil berjalan mendekat dan duduk di samping Cantika.

Cantika memilih diam sambil mengalihkan pandangan.

"Kamu tahu siswi yang bunuh diri di sekolah ini? Dia anak seperti kamu Can, pekerja keras dan sangat berambisi, tapi dia tidak sadar posisinya hingga ia depresi dan memutuskan untuk bunuh diri." Cerita Gibran yang seketika membuat pandangan Cantika terarah pada wajah Gibran.

"Sekolah ini sebenarnya sangat busuk. Sistem yang berjalan sangat kotor, tapi anehnya banyak anak orang kaya sekolah di sini hanya karena nama besar sekolah ini. Orangtua anak-anak di sini berlomba-lomba menjadikan anak mereka hebat dengan belajar segila-gilanya, namun di lain hal ada juga orang-orang yang punya kursi di atas sana, menjadikan anaknya hebat dalam satu malam. Tidak ada harga prestasi di sini. Semua dinilai dari privilege. Sebab itu aku melarangmu belajar."

Cantika masih terdiam sambil menatap Gibran. Otaknya sedang berfikir keras dan hatinya berusaha untuk menerima kenyataan.

Gibran menoleh dan sesaat mereka saling menatap kosong. Ia tahu Cantika sedang dalam kekalutan, terlihat jelas dari tatapan kosongnya.

"Kamu cukup bertahan tanpa perlu berusaha menjadi di atas, maka kamu akan selamat, dan hanya dengan ijasah dari sekolah ini saja kamu bisa mendaftarkan beasiswa untuk kuliah di Jepang. Jadi tidak perlu susah payah." Tambah Gibran, berharap kalimat itu cukup menghibur.

Cantika tersenyum getir, menahan kesal.

"Sungguh tidak masuk akal. Kamu pikir aku hanya butuh ijasah saja untuk bisa kuliah? Lantas bagaimana kemampuanku? Apa setelah masuk kuliah aku harus menjadi mahasiswa nasakom? Nilai satu koma?" Tanya Cantika dengan tatapan cukup tajam. Gibran sadar dia sedang melampiaskan kekalahannya.

Last Summer (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang