Bukan Cinderella

153 18 3
                                    


Baaaakkk

Zayan memukul Gibran hingga ia jatuh tersungkur.

"Begitukah caramu melindungi Cantika? Kamu diam saja saat mereka merundungnya? Kamu itu buta gak sih, Gib?" Tanya Zayan lantang.

Di taman sore itu, ia sengaja meminta Gibran datang untuk membuat perhitungan, dan Gibran sadar akan hal itu, ia tetap memutuskan datang karena ia merasa layak untuk dihakimi.

"Aku kira kamu suka dengan Cantika? Aku pikir kamu akan menjadi pesaingku, tapi nyatanya kamu seorang pecundang!"

Baakk
Satu pukulan lagi di wajah Gibran, membuat darah mengalir dari mulutnya.

"Kamu tidak ada bedanya dengan mereka!"

Gibran masih diam sambil mengusap darah di sudut bibirnya. Ia berusaha menahan emosi, karena bagaimana pun Zayan benar. Ia memang pecundang.

"Aku semakin membencimu! Aku kira kita bisa berteman lagi, tapi nyatanya kamu tetap mengecewakanku."

Satu tarikan napas berat. Gibran berusaha bangkit berdiri.

"Apakah kamu merasa sudah menjadi pahlawan? Seharusnya aku yang bertanya, apakah kamu sungguh tulus menyukai Cantika? Atau dia hanya pelarianmu belaka?" Kini Gibran membalas tatapan tajam Zayan.

"Apa maksudmu bicara begitu?"

Gibran tersenyum sinis.

"Mungkin aku pecundang, bajingan atau apa pun itu katamu, tapi aku bukan playboy seperti dirimu. Aku tidak akan menyukai banyak cewek dan mudah berpindah ke lain hati." Sembur Gibran tidak mau kalah.

Zayan makin marah, ia merasa tidak terima dengan penilaian Gibran atas dirinya.

"Benarkah? Tapi setidaknya aku bisa melindungi Cantika, daripada dirimu yang hanya tidak bisa melihat, seperti buta."

Gibran tertawa, "Kenapa aku harus melindunginya? Aku tidak menginginkannya, jadi lindungi saja dia. Aku tidak peduli dengan gadis keras kepala dan sok berani itu."

Zayan tertegun sesaat. Antara ucapan Gibran dan sorot matanya sangat kontradiktif. Dia jelas sedang menutupi kebohongan dalam hatinya.

"Oh ya? Baguslah, dengan begitu aku tidak punya saingan dan aku bisa memilikinya dengan mudah."

Baakkk..
Kali ini satu tinju melayang membentur pipi Zayan. Entah kenapa Gibran merasa kesal dengan ucapan itu.

Zayan memegang pipinya yang bengkak dengan marah.

"Itu pukulan jika kamu mencampakkan Cantika seperti pacar-pacarmu di luar sana. Aku tidak peduli kamu suka atau tidak dengan Cantika, yang pasti aku tidak akan diam jika kau menyakitinya."

Zayan tertawa, "Kenapa tiba-tiba kamu sok bijak begitu? Siapa dirimu hingga bisa memerintahku? Kau bilang tidak peduli dengan Cantika, lantas kenapa kau merasa kesal jika suatu saat aku mempermainkannya?"

Gibran menahan emosi dengan meremas kedua tangannya. Ia nyaris saja akan melayangkan tinju jika saja ia tidak melihat bayangan Cantika yang antah sejak kapan berdiri tak jauh dari sana.

Gadis itu terdiam melihat dan mungkin mendengar semua perdebatan antara Gibran dan Zayan yang tak pernah ada habisnya.

Tidak ada suara, Gibran memilih mengalihkan pandangan saat Cantika berjalan mendekat. Entah kenapa gadis itu selalu muncul di saat dirinya ingin berkelahi dengan Zayan. Mungkin dia punya CCTV dari langit.

Sikap dingin Gibran kali ini cukup membuat dada Cantika terasa sesak. Entah kenapa sejak masalah tempo hari dia memang lebih dingin dan cuek.

"Cantika? Sejak kapan kamu ada di sini?" Tanya Zayan agak gentar.

Last Summer (on going)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt