Bab 25. Menunggu Titik Temu

950 102 2
                                    

"Apa lagi yang antum butuhkan, Gus?"

Telunjuk Dzakwan mengelana beberapa saat, pemuda dengan kaos polo itu tampak sibuk berpikir. Cahaya matahari pagi menerobos celah ranting pepohonan, menciptakan siluet di kaca-kaca jendela. Sebenarnya ruangan kecil ini adalah sebuah kamar, namun karena banyaknya tumpukan kitab membuatnya terlihat seperti gudang.

Terdengar deruman mobil pick up menepi di depan, tampaknya satu gerobak lain baru tiba. Konon, kitab-kitab itu diangkut dari berbagai maktabah di sekitar.

"I'anatut Tholobin, Fathul Baari, sembilan jilid Lisaanul Arob, dan Nihayatuz Zain Imam Nawawi Al-Bantani," ujar Dzakwan menambah pesanannya.

Taufik segera bergegas menyiapkannya. Sudah hampir dua tahun mahasiswa Al-Azhar itu menjadi supplier kitab. Ratusan kitab itu akan dikirim ke Indonesia melalui jalur laut.

Beberapa minggu lalu kiriman kitab yang Dzakwan beli tiba di Al-Dalhar. Namun, ketika dirasa belum cukup, hari ini Dzakwan kembali membeli tambahan bermacam-macam kitab untuk melengkapi maktabah pribadinya di Al-Dalhar. Mengingat tahun depan, ia sudah pulang ke Indonesia.

Hari ini hari jum'at, akhir pekan mingguan di Mesir. Jadi, sepulang dari dokter, Dzakwan memutuskan pergi ke salah satu pedestrian dekat Sungai Nil, Mamsha Ahl Misr.

Area itu dipenuhi banyak toko dan caffe, juga orang-orang yang hilir mudik. Desain dan arsitektur tempat ini terlihat modern. Dzakwan merasa dirinya tak lagi di Mesir, tapi sebuah tempat di Eropa.

Pemuda itu duduk di sebuah kursi panjang yang menghadap langsung ke sungai Nil. Luapan cahaya matahari koyak dalam riak air sungai yang membelah kota Kairo itu.

Di seberang sana, gedung-gedung bak pena yang menoreh langit. Menciptakan lukisan berwarna jingga yang indah di atas bumi Sang Ratu Cleopatra.

Dzakwan menarik napas dalam-dalam. Akan ada banyak hal yang harus ia putuskan begitu pulang ke Indonesia nanti. Tekanan dan tanggung jawab semakin besar. Juga usaha lebih kuat untuk berdamai dengan masa lalu.

Dzakwan tiba-tiba teringat dengan sebuah foto anak perempuan bermata bulat semalam. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya Najuba Lubna membuat postingan baru di story Instagram-nya.

Wajah anak itu sangat mirip dengan Najuba.

Ah, Dzakwan menyesal, bukankah ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak mencari tahu segala hal tentang Najuba Lubna.

Lihatlah, sekarang ia harus menanggung risikonya. Rasa sesak di dada kembali mendera. Kenangan yang berkelebat mengiris isi kepala, memaksa rasa rela itu semakin jauh diraihnya.

Padahal, seharusnya detik-detik terakhir sebelum kembali ke Indonesia itu ia habiskan untuk memantapkan diri dan belajar mengharapkan Ning Manunal Ahna.

Hari-hari pertemuan itu semakin dekat. Tapi, Dzakwan masih belum menemukan hatinya menyentak ataupun rasa bahagia berdetak.

Ning Manunal Ahna jelas lebih punya segalanya dibanding Najuba Lubna. Ia lebih cantik, lebih faham agama, keluarganya terpandang serta kaya raya.

Tapi, justru karena kesederhanaannya lah yang dulu membuat Dzakwan jatuh cinta pada Najuba.

Saat banyak gadis lain mengidolakannya, Najuba tidak. Saat gadis lain berlomba-lomba tampil memesona, Najuba tetap apa adanya.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Donde viven las historias. Descúbrelo ahora