Bab 1. Sang Bidadari Al-Qur'an

3.2K 207 4
                                    

Yogyakarta, 2016

"Qumaa, qumaa!"

Zahieq dan Tsania menggeliat. Yang seorang sekuat tenaga bangkit, sedang seorang lainnya justru semakin menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut.

Udara dingin berembus dari celah jendela, mengantar beku pada kesunyian.

Tsania menggisik kedua matanya dengan buku-buku jemari, lalu menghempaskan perlahan punggungnya ke tembok. Menguap lebar. "Jam berapa, Ning?"

"Jam tiga."

Hening sejenak, hanya terdengar sayup-sayup suara gemericik dan deburan air di kamar mandi lantai atas yang merupakan rooftop.

"Sampeyan udah mandi?"

"Sampun," jawab gadis berparas cantik yang sudah mengenakan mukena di hadapannya itu.

"Ngantri nggak, Ning?"

Manunal Ahna meraih Al-Qur'an kulit di lemarinya, menengok sesaat sambil tersenyum geli melihat Tsania bertanya dengan mata yang masih setengah tertutup. Seolah kesadarannya masih menggantung antara langit dan bumi.

"Enggak, masih sepi, kok."

Tsania lantas bangkit, dengan sedikit gontai menyambar handuk yang menggantung di hanger.

Una membuka lembaran mushaf di tangannya. Terlihat menggumamkan beberapa hafalan ayat yang hendak ia setorkan ke bu nyai pagi ini.

Sebelum gadis itu bergegas menuju ke aula, ia meggoyangkan pelan tubuh Zahieq dibalik selimut sembari berujar pelan.

"Ieq, bangun."

Setelah beberapa kali mencoba dan hanya direspon dengan geliat kecil, Zahieq akhirnya mendudukan dirinya. Tertegun untuk beberapa saat mengumpulkan kepingan nyawa.

"Mbak Una mau turun?" tanya Zahieq setelah menguap panjang.

Una mengangguk tipis.

"Aku minta odolnya, ya."

"Iya ambil aja. Tahu, kan gayungku yang mana?"

"Yang warna pink, kan?"

"Iya," jawab Una tersenyum, ia kemudian bangkit, menutup Al-Qur'an dan mendekapnya erat. "Aku ke aula duluan, nggih."

"Okey."

🌷🌺🌹


Selepas shalat shubuh berjama'ah yang dipimpin Bu Nyai Fatma Al-Hafidzah, dilanjutkan kegiatan Mujahadah berjama'ah di aula outdoor komplek Sayyida al-Hurra, yakni pembacaan dzikir bersama-sama.

Beberapa santri putri di belakang tampak sekuat tenaga menahan kantuk yang menggelayuti kelopak mata, sebaliknya, di barisan depan terlihat begitu khusyuk.

Manunal Ahna berada di baris depan. Persis di belakang Bu Nyai Fatma.

Gadis berkulit putih pucat bak pualam itu begitu memancarkan cahaya dari parasnya yang rupawan.

Keluhuran akhlak, adab, dan ilmu Al-Qur'an yang ia miliki membuat dirinya menjadi santriwati paling menonjol di komplek bahkan seluruh pesantren.

Manunal Ahna adalah gadis misterius yang penuh rahasia bagi para santri laki-laki, sekaligus teladan dan kawan paling ramah dan berwibawa bagi santri putri.

Tak heran jika kemudian ia menjelma santriwati kepercayaan Bu Nyai Fatma (selain karena ia adalah putri dari kerabat Bu Nyai) tapi juga karena keluasan ilmu, kecerdasan dan adabnya yang luhur.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now