Bab 19. Jejak Yang Retak

1.5K 145 137
                                    

Pemandangan bukit-bukit hijau berkelebat di kaca mobil. Kesedihan masih bergelayut di sudut mata Kyai Kafabihi Ahmad.

Ya Allah, tidak pernah terbesit di benakku jika perjalanan pertamaku menuju rumah Badri setelah puluhan tahun terpisah adalah mengunjungi pusaranya.

Kyai Kafabihi kerap membayangkan pertemuan ini sejak lama. Ia selalu membayangkan Badri akan terkejut dengan kerdatangannya dan mereka akan berpelukan. Lantas keduanya akan mengobrol tentang banyak hal, mengenang masa lalu.

Sekarang bayangan itu lebur seketika dihantam kenyataan bahwa Badri telah tiada.

Selepas menunaikan shalat dzuhur di sebuah mushola, mobil yang dikendarai Iwan kembali melaju menyusuri jalanan yang kian mengecil. Aspal-aspalnya rusak memaksa kabin mobil bergolak.

Beberapa kali ummi Nafis menahan napas tiap kali mobil mereka menuntaskan satu demi satu tanjakan terjal.

Semakin dalam, sisi jalan didominasi oleh perkebunan dan bukit-bukit hijau nun jauh. Sesekali rumah-rumah warga bertengger, berjauhan satu sama lain. Hampir sepanjang jalanan itu mereka nyaris tak menemukan mobil lain yang melintas. Hanya beberapa pengendara motor yang ringkih mengangkut rumput-rumput untuk pakan ternak.

Kyai Kafabihi mengembuskan napas perlahan. Badri benar-benar memilih mengasingkan diri dari dunia.

Tak berselang lama, akhirnya mereka tiba di alamat tujuan. Sebuah rumah sederhana yang menyatu dengan aula outdoor bertuliskan TPQ Ar-Ridho. Rumah ini letaknya paling jauh dari pemukiman yang padat. Sekeliling bangunan tersebut hanyalah pohon-pohon rimbun.

Mengetahui ada sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumahnya, Ibu Sholihah segera keluar. Keningnya mengernyit. Dulu, saat Kyai Badri masih ada, bukan hal yang aneh  melihat kedatangan tamu dari berbagai daerah untuk berkonsultasi. Namun sejak sang suami tiada, pemandangan tersebut menjadi asing.

Kyai Kafabihi, Ummi Nafis serta Iwan segera disambut oleh Ibu Sholihah dengan ramah. Meski di saat yang sama kebingungan masih menapaki raut wajahnya. Sambil mempersilahkan sang tamu, ia meminta Ruqoyya mengambil beberapa suguhan.

"Perkenalkan saya Kafabihi Ahmad, teman Almarhum Kyai Badri saat mondok di Al-Dalhar dulu. Dan ini istri saya, Nafis."

Demi mendengar itu, maka terhapus lah seluruh kebingungan di kepala Ibu Sholihah.

Mereka kemudian terlibat dalam obrolan. Selama itu, Kyai Kafabihi berulang kali tertegun mendengar cerita dari istri Kyai Badri tersebut. Banyak fakta baru yang ia temukan.

Apalagi tatkala tatapan matanya menemukan sebuah foto sahabatnya di ruang tamu yang terbuka, kerinduan seakan menyentak tak tertahankan.

"Mas Badri sudah sakit-sakitan sebelum saya mengandung anak kedua kami, Kavin," kenang Ibu Sholihah, matanya menerawang. "Meski begitu, beliau selalu menyempatkan hadir di tiap perayaan haul Kyai Dalhar. Katanya, selain bentuk hurmat, juga demi menjaga silaturahim dengan dzuriyyat Bani Dalhar dan dengan sahabat seperjuangan."

Kyai Kafabihi menahan napas sesak. Ia teringat jika dulu keduanya berjanji akan bertemu kembali paling tidak saat acara haul itu. Sayangnya, dirinya sendiri lah yang justru tak pernah datang.

Setelah menyelesaikan strata satunya, Kyai Kafabihi menikahi putri dari pamannya yakni Ummi Nafis, setelah itu, ia memboyong sang istri ke Mesir untuk menemaninya melanjutkan studi master dan doktoralnya. Ia hampir menghabiskan seperempat usia hidupnya di negeri para raja itu.

Dan Kyai Kafabihi tak pernah menyangka sepulangnya ke tanah air, ia akan kehilangan jejak Badri.

Kini topik pembicaraan mereka mulai beralih setelah Kyai Kafabihi bertanya soal kedua putra Badri. Jujur, laki-laki itu merasa begitu bersalah. Janji yang pernah dibuat itu tak mampu ia tepati. Janji untuk menyatukan anak-anak mereka.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now