2. Senandung Cahya Angin

243 108 190
                                    

Funfact!
Aku tuh suka tiba-tiba update padahal pikiran berkata jangan. Apa ini karena gabut atau gimana ya?
And than, I'm sad a bit. Pembaca di chapter sebelumnya ada yang ga ngasi vote, padahal kan cuma tinggal pencet doang, gratis lagi🙂

Yuk, TEKAN TANDA BINTANGNYA DULU NANTI LUPA, daaan jangan lupa komen ceritanya bagus apa ga atau siapa tau ada yang typo.

Happy Reading!
****

Hawa dingin bukan alasan untuk bermalas-malasan. Adzan subuh berkumandang. Berpasang kaki melangkah menuju rumah Allah untuk bertamu, menunaikan kewajiban untuk memulai hari dengan kesibukan dunia yang menunggu di depan.

"Senandung!" Suara Buna sudah naik beberapa oktaf.

"Jangan bangun kamu ya, terus saja tidur dengan rayuan setan yang bergelantungan di matamu!" Buna membuka pintu kamar Senandung dan menyalakan lampu supaya anak sulungnya itu terbangun.

Senandung menggeliat, ia mengucek matanya perlahan. Tubuhnya diregangkan kesana kemari dengan mata terpejam.

"Bagus, masih belum bangun juga kamu. Harusnya kamu belajar dari Swara yang sholat subuhnya di masjid, jam segini juga sudah mengaji. Ga tau malu kamu, lebih tua bukannya mencontohkan yang baik-baik." Buna menarik paksa selimut di tubuh Senandung.

"Perempuan itu sholatnya di rumah Buna. Subuh-subuh bukannya mengaji, malah ceramah sama anaknya. Coba bangunin yang lembut, Senandung sayang bangun yuk sholat subuh. Lebih enak Bun didengar tetangga," ucap Senandung yang masih belum beranjak.

Emosi Buna semakin melonjak, "untuk suara Buna yang seperti ini saa kamu belum bangun, apalagi seperti itu? Bangun ga kamu, atau mau Buna siram dengan air?" Buna menarik paksa kaki Senandung untuk segera bangun.

Langkah yang berat memaksa tubuh Senandung untuk berjalan. Dirinya masih ingin tidur sedikit lebih lama.

Buna, Abi, dan Swara sudah memulai sarapannya. Sepiring nasi goreng cukup untuk mengisi perut hingga bertemu makan siang.

"Yah, nasi goreng lagi. Mana paten, roti selai coklat lah. Rasanya enak, ada manis-manisnya gitu," Senandung mengambil tempat duduknya dan segera memasukkan sesendok nasi goreng ke piringnya.

"Bersyukur Mbak. Nasi goreng Buna enak banget loh ga ada duanya, limited sedunia," Swara memuji Buna yang membalasnya dengan senyuman.

"Iya si paling bersyukur," Senandung memasukkan sesuap nasi goreng ke mulutnya.

"Kalau ga mau sarapan nasi goreng, ya kamu masak sendiri. Masih ingat yang Buna bilang kemarin?" ucap Buna dengan tatapan yang sinis.

Senandung memasang wajah polosnya, "yang mana Bun? Kemarin Buna nyerocosnya panjang banget, aku sampe ga bisa mengingat," ucapnya.

"Kamu emang ga bisa ngedengerin ucapan orang tua. Mau Buna ulangi lagi? Sini Buna bisikin di telingamu biar langsung di ingat," Kesabaran Buna setipis tisu menghadapi sikap Senandung yang tidak pernah berubah.

"Berchandya, berchandya..." Senandung terkekeh pelan.

"Sena ingat kok Bun. Buna bilang, kalau jadi anak perempuan itu biasanya masak sendiri sebelum makan, karena ga ada yang instan. Begitu kan?" Senandung mengunyah pelan nasi goreng di mulutnya.

"Serius Sena. Masih pagi kamu bikin Buna kesal. Di depan makanan pula. Ga baik, ayo minta maaf sama Buna," Abi yang sedari tadi menahan nafas melihat tingkah Senandung akhirnya berbunyi.

Jika Abi sudah berkata demikian, Senandung langsung menurutinya. "Buna, Senandung salah. Maafin ya?" ucap Senandung dengan mata berbinar.

"Iya, sudah. Habisin makanan kamu, habis itu ikut Abi ke TPQ sesuai ucapan kamu kemarin," ucap Buna yang dibalas anggukan kepala oleh Senandung.

Swara yang sudah menghabiskan nasinya sedikit terkejut, "Mbak Sena mau ikut ke TPQ?" tanyanya.

Senandung mengangguk. Buna sedikit tersenyum. "Ajarin Mbakmu mengelola TPQ, biar dia ada gunanya. Kamu jadi bisa sedikit senggang kan, ga lembur-lembur lagi," ucap Buna.

Swara mengangguk ragu, "iya Bun. Alhamdulillah kalau Mbak Sena mau, aku ikutan senang." ucapnya.

Di TPQ, anak-anak yang mendapatkan jadwal belajar pagi masih berusia 3 sampai 4 tahun. Mereka belum bisa sekolah di PAUD ataupun TK. Maka dari itu, Abi menjalankan program untuk anak-anak seusia itu, supaya mereka memanfaatkan waktu sebelum belajar akademik.

Sementara anak-anak yang usianya sudah memasuki tingkat PAUD dan TK, Abi memberikan jadwal menjelang siang, sekitar pukul 10 pagi hingga setelah dzuhur.

Untuk anak-anak SD, Abi menjadwalkan pada pukul 1 hingga setelah ashar. Terakhir, tingkat SMP dan SMA, mereka mendapatkan jadwal dari sebelum ashar hingga sholat maghrib berjama'ah.

Senandung melihat-lihat jadwal dan beberapa kelas ditemani Swara. "Mbak pilih saja mau pegang kelas mana, nanti aku kasi berkas-berkasnya," ucap Swara.

"Mbak ga bisa ngadepin anak kecil apalagi yang belum sekolah, kayanya ambil yang tingkat SMP dan SMA saja," ucap Senandung tanpa berpikir panjang.

"Tapi, tingkat SMP dan SMA ada Mas Darma juga yang menghandle Mbak. Ga papa toh berinteraksi dengan lawan jenis?" tanya Swara dengan berat hati.

Senandung sedikit terkekeh, "kamu kaya sama siapa saja. No problem lah, Mbak santuy aja orangnya." ucapnya.

Swara masih merasa berat untuk melepaskan kelas SMP dan SMA. "Selama ini aku pegangnya yang putri Mbak. Terkadang juga yang putra kalau Mas Darma ga masuk, dia orangnya anti perempuan. Aku takut Mbak sama Mas Darma ga nyaman," jelas Swara dengan penuh hati-hati.

Senandung memegang bahu Swara, "Mbak bisa mengatasinya, lagipula kamu loh yang tadi nyuruh Mbak milih kelas yang mau di ambil," ucapnya meyakinkan.

"Tapi Mbak, ak-"

"Kamu suka Mas Darma?" Senandung terkejut dengan tebakannya sendiri.

Swara langsung menggeleng, "astaghfirullah, ga Mbak. Ak-"

"Kayanya iya deh, kamu bukan ga mau melepas kelas SMP dan SMA. Tapi, kamu ga mau melepas Mas Darma," Senandung memicingkan matanya, ia menganalisis raut wajah Swara.

"Terserah Mbak saja. Aku sudah bilangin kalau dia orangnya seperti apa, daripada Mbak suudzon denganku mending iyain aja biar kelar," ucap Swara yang tidak berani menatap mata Senandung.

Senandung terkekeh pelan, "tenang saja Swara, tipe Mbakmu ini seperti Lee Jun-ho, bukan mamas jawa kuno," ucapnya.

Anak-anak yang mendapatkan jadwal pagi sudah berdatangan. Swara menyambut mereka dengan senyuman seperti biasa. Sementara Senandung berdiri di sampingnya.

Anak-anak di arahkan menuju pendopo mereka, diikuti Swara dan Senandung, serta Mita dan Gina yang juga bekerja di sana.

"Anak-anak, perkenalkan ini ada guru baru yang akan berbagi ilmu dengan kita. Mbak Senandung, kakak kandung saya," ucap Swara memperkenalkan Senandung.

Senandung tersenyum, "assalamu'alaikum semuanya, senang bertemu kalian. Semoga kita bisa belajar bersama ya," ucapnya.

"Kok ga mirip mukanya sama Umi Swara?"

"Kami manggilnya Mbak atau Umi? Seperti manggil Umi Swara,"

"Aku maunya diajarin Umi Swara, karena lebih cantik,"

Celetukan miring berdatangan dari anak-anak, Senandung merasa terkucilkan.

"Astaghfirullah, anak-anak. Ga boleh bicara begitu ya, kita harus sopan dengan yang lebih tua," ucap Swara menenangkan.

"Mbak, mau dipanggil apa? Umi juga?" bisik Swara bertanya pada Senandung.

"Ga mau lah, terdengar tua itu, panggil Mbak saja biar enak didengar," ucap Senandung.

Perkenalan Senandung sudah selesai. Dirinya bisa bersantai karena mengambil jadwal sebelum ashar hingga sholat maghrib berjama'ah.

Sesekali, Senandung melihat cara guru di sana menyampaikan ajaran pada anak-anak.

Apa aku bisa seperti mereka?

****
S

udah vote kan? Terimakasih 😍
Komennya mana?
Lanjut nggak?

Senandung (On-going)Where stories live. Discover now