[19]

191K 9.1K 129
                                    

Aku terbangun dari tidur panjang yang tak berujung. Mataku bergerak untuk menyapu sekeliling, memperhatikan tempat dimana aku terbaring sekarang. Kepalaku begitu sakit ketika mencoba mengingat apa yang telah terjadi, berusaha menemukan alasan aku bisa berada di sini. Seketika beribu pernyataan langsung menikam otakku, membuatnya semakin sakit sekaligus pening. Pokoknya, terakhir aku ingat, kakiku seperti dilindas sesuatu karena aku merasa tulangku remuk dan rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Setelah itu apa lagi ya? Ah aku tak ingat. 

Ku coba untuk menggerakkan kepala melihat sekitar lebih luas. Tidak ada orang, hanya ada ruangan besar berwarna putih dengan perlengkapan rumah sakit yang tidak ku ketahui namanya. Aroma obat-obatan mulai memenuhi penciumanku, baunya menyengat, aku tidak suka. Ku perhatikan tubuhku lagi, tidak ada yang aneh selain tanganku yang lecet di sana-sini dan kepala yang diperban. Perih, tapi masih bisa aku tahan. 

Tapi... ada yang aneh, kenapa kakiku udah gak sakit lagi ya? Padahal terakhir aku ingat kaki kiriku sangat sakit seperti  patah tulangnya. Apa mungkin sudah sembuh? Syukurlah, aku jadi tidak perlu meringis menahan sakit. 

Cklek

Pintu terbuka, seorang wanita yang paling ku sayang masuk dengan wajah penuh haru.

"Ya Allah, syukurlah anak mama udah sadar." Dia langsung mendekatiku dan mencium keningku. 

"Aww," pekikku karena kecupannnya menyebabkan sakit. Mama mungkin lupa kepala anaknya diperban dan sedang terluka.

"Ma-maaf sayang. Mama lupa hehe, sangking senangnya anak mama akhirnya sadar." Dia mengelus puncak kepalaku sambil menatapku dengan mata berair. Aku mengukir senyum, mencoba mengurangi rasa khawatirnya.

"Berapa lama aku pingsan?"

"2 hari, dan itu terasa dua tahun buat Mama." Ya ampun, aku merasa bersalah membuat mama khawatir. Cepat sembuhkan aku dan keluarkan aku dari sini, Tuhan. 

Mama menaikkan kasurku, membuatku tak sepenuhnya berbaring. Akhirnya, aku bisa setengah duduk setelah 2 hari penuh berbaring. Tapi apa yang terjadi kepadaku, ya? Duh aku bingung. 

"Kamu kenapa, sayang?" tanya mamaku yang menyadari lamunanku.

"Aku kenapa sih, Ma? Setelah kecelakaan itu, aku kenapa?" akhirnya aku bertanya sangking penasaran. Mama menatapku penuh sendu, dia mengelus kepalaku dan menghela nafas panjang. Sambil menunggu jawaban darinya, aku berusaha menggerakkan tubuhku yang kiranya tak sakit. Berbaring terus membuatku kaku. Ku gerakkan jari-jari tanganku, dan ku gerakkan kakiku. 

Namun, sesuatu membuat jantungku berhenti. Memang benar aku tak merasakan sakit lagi pada kaki kiriku, tapi itu justru membuatku mati rasa. Aku tak bisa menggerakkan jari-jari kaki kiriku, bahkan aku merasa tidak mempunyai jari. Ku pastikan lagi perkiraanku yang semakin memburuk, kaki kakanku normal, tapi kaki kiriku...

Mendadak hatiku dipenuhi sesak, jantungku berdetak karuan. Mataku perih seperti ada yang mendobrak keluar. Sebuah dugaan pahit kian membunuhku perlahan, menyiksaku dahulu sebelum akhirnya aku mati dan hancur. Tidak, ini tidak masuk akal. 

"Mama.... Hiks hiks... Ini kaki Kena kenapa mati rasa, Ma? Jawab Ma!" Aku mulai berteriak putus asa. Pikiranku langsung kacau berbaur dengan ribuan jarum yang menusuk otak. 

"Yang sabar ya, sayang." Mama langsung menarikku ke dalam peluknya. Hatiku mulai menjerit, ku cengkram bajunya untuk melampiaskan kesedihanku. Ini tidak bisa ku terima, kenapa mati rasa begini sih?! Aku mulai berperang dengan diriku sendiri, berteriak tanpa suara diiringi sakit yang kian mendera. Ingin sekali ku buka selimut yang menutupi kakiku, menemukan jawaban pasti untuk mengisi kekosongan diri. Tapi aku tak berani, aku tidak siap dengan jawaban yang akan ku terima nanti. 

Perlahan ku singkap selimut itu, tanganku bergetar hebat saat sedikit demi sedikit selimut yang ku pakai terangkat. Kaki kananku mulai terlihat. Normal, semua lengkap. Tapi kaki kiriku...

"Mama kaki Kena kemana??!! Ini kenapa diperban gini?!! Kena gak lumpuh kan?!! Kaki Kena utuh 'kan, Ma?" Aku histeris melihat sebagian kaki kiriku telah hilang. Bagian betis sampai tumitku diperban dan membuatnya bukan berujung jari tapi berujung tumpul tanpa telapak kaki. Batinku bertanya kemana sisanya?! 

Tangisku memecah dalam kesunyian malam. Aku memukul-mukul pelan tubuh mama yang menjadi pelampiasan. Aku menangis sesekali menjerit putus asa. Badanku bergetar hebat karena sesenggukan. Tidak peduli dengan rasa perih dan sakit yang masih menempel di seluruh tubuhku, kenyataan pahit ini lebih menancap hati dan menyiksaku tapi tak membiarkanku mati. Bagai badai hitam yang memporak-porandakan hidupku, tidak membiarkan pelangi mendekati dan menghalangi matahari yang menyinari. Jika sudah seperti ini, apa yang harus ku lakukan?! Dosakah jika aku menyalahkan Tuhan?

"Mama Kena lumpuh? Hiks, Kena gak mau lumpuh, Ma! Kena harus gimana, Ma?!" aku masih berteriak dalam peluknya. Ku rasakan ia ikut menangis karena tetesan air matanya jatuh ke wajahku. 

"Kena kuat kok," katanya halus. Dia masih bisa tersenyum tulus untukku di tengah deraian air matanya.

"Kena gak mau lumpuh! Kena mau kaki Kena balik, Ma! Kena benci! Kena benci sama hidup Kena!! Hiks." Aku meracau tak karuan. Hidup seperti berhenti di sini, aku seperti tak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Oh Tuhan, apa salah hamba-Mu ini sampai Kau harus mengambil sebagian kakiku?! 

"Kena gak boleh ngomong gitu, sayang."

"Kena gak bisa, Ma! Ini terlalu berat buat aku! Aku gak mau lumpuh, Ma! Hiks."

"Iya, Mama tau. Tapi ini bukan akhir dari segalanya sayang."  

"Tapi ini gak adil, Ma! Kalo Kena lumpuh terus hidup Kena gimana? Buat jalan aja susah apalagi buat mengejar cita-cita!!" Bentakku kepada siapapun--tidak bermaksud membentak Mama. Mama hanya bisa mengelus rambutku penuh kasih sayang. 

"Kamu gak boleh gitu, kamu bisa bernafas aja harus bersyukur. Anak mama itu gak kenal putus asa. Anak mama yang kuat dan selalu berjuang tanpa kenal lelah namanya Kenarya Hechira." Aku tahu sekarang dia sedang tersenyum.

"Emang harus dipotong ya kaki aku?" kataku melemah. Air mataku masih mengalir deras tanpa henti walau diriku bisa sedikit tenang.

"Tulang kaki kamu hancur, untung saja hanya telapak kaki dan gak sampai tulang kering atau dengkul. Kan kaki kanan Kena masih utuh, kaki kiri Kena juga yang diamputasi telapak kaki aja. Di luar sana banyak yang lebih menderita dari kamu. Mama juga rela jadi kaki kiri kamu untuk menyempurnakan hidup kamu." Perkataan bijaknya sesejuk embun pagi, menenangkan hati di tengah peliknya situasi. Menyadarkanku untuk berpikir dingin dengan apa yang sedang aku alami. Tangisku terhenti walau sesenggukanku belum hilang. Aku melepas pelukan mama, dan menatapnya penuh rasa terimakasih. Mama membasuh pipiku yang basah, mengelap mataku yang masih mengeluarkan air mata.  

"Mama sayang Kena. Mama punya Kena. Jadi, jangan putus asa. Allah Maha Adil. Hidup itu bukan seberapa berat cobaan yang kamu alami, tapi seberapa tegar kamu menghadapi dan seberapa pintar kamu mengambil hikmah." Lagi-lagi kata bijak yang ia lontarkan seperti cahaya terang yang melenyapkan gelap. Aku sangat bersyukur mempunyai seorang mama seperti Mama. Dia menunjukan aku jalan di tengah buntunya keadaan, seperti asupan semangat dan motivasi di tengah pupusnya harapan. Memberikanku pelajaran untuk tegar walau badai siap menjatuhkanku kapan saja. 

"Makasih, Mama." Ku lukiskan senyum penuh ketulusan untuk bidadari surga yang menjelma menjadi manusia yang ku panggil Mama. Baju dan kerudung yang ia kenakan basah karena tangisku. Tiba-tiba mataku menangkap sosok lelaki yang duduk di kursi roda dan wanita yang berdiri di belakangnya mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka. Sena 'kah? Aku yakin itu Sena, aku hafal betul sosok Sena walau hanya melihatnya sekilas atau samar-samar. Atau ini hanya halusinasiku saja? 

Orang yang mendorong kursi rodanya langsung membawa sosok lelaki itu pergi meninggalkan kamarku. Apakah tadi itu Sena? Apa aku salah liat? Tapi mataku masih jelas kok dan gak mungkin salah liat. Kalau itu bukan Sena, kenapa dia mengintip ke kamarku? Dan kalau itu Sena, kenapa dia tidak masuk ke sini dan menghampiriku?  

----------------

To Be Continue...   

The Coldest Boyfriend[NASIONAL BEST SELLER]Kde žijí příběhy. Začni objevovat