[18] Kenyataan

184K 10.4K 297
                                    

Motor yang aku kendarai  seketika oleng di belokan jalan yang licin. Bersamaan dengan mobil yang melaju dari arah berlawanan, membuatku hilang kendali.

Dwar!

Tabrakan hebat tak bisa ku hindari. Tubuhku seperti menabrak benda keras sampai melayang dan mendarat ke sesuatu entah apa. Seluruh badanku terasa hancur berkeping-keping, badanku seketika ambruk ke bawah. Keningku mengeluarkan banyak darah.  

Aspal basah itu menjadi saksi bisu bagaimana putus asanya diriku ketika melihat seorang wanita yang terkapar lemah di sana. Dalam derasnya air hujan yang mengganggu penglihatan, aku masih bisa melihatnya terkulai tak berdaya beberapa puluh meter di depanku. Dadaku sesak mengetahui dia terlempar jauh saat motorku menabrak mobil yang sedang melaju kencang. Lama-kelamaan tubuhku sudah tidak kuat lagi menahan sakit yang ingin menghancurkanku perlahan. 

Tangan lemahku bergerak untuk menggapai dia yang terlihat kecil dari sini. Oh tidak! Ada mobil yang melaju kencang dari arah sana! Ya Tuhan, dia masih tak bergerak. 

Kena! Sadarlah! Ada sepeda motor yang melesat cepat, sepertinya tak menyadari keberadaanmu karena gelap dan hujan! Bangun sayang! Bangun!! Tuhan, tolonglah wanitaku itu! Selamatkanlah ia! Jangan sampai dia terlindas dan meregang nyawa! Aku mohon Tuhan, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika ia yang menjadi korban. Kena! Kena! Kena!!!

Mobil itu berhenti dan berdenyit kencang ketika ia sudah melewati Kena. Aku tak tahu Kena terlindas atau tidak, karena setelah itu semuanya menghitam, dan aku tak sadarkan diri. 

***

Mataku terbuka perlahan, pemandangan buram membuatku membuka mata lebih lebar. Kepalaku terasa sakit ketika aku mencoba memfokuskan penglihatan. Aroma menyengat langsung membuatku sadar sedang berada di mana aku sekarang. 

"Awh." Kepalaku terasa begitu pening dan berat. Bagai ada beribu ton beban yang jatuh ke kepalaku. Argh! Sakit sekali, untuk menggerakan tangan saja rasanya susah. Mimpi tentang kecelakaan beruntun itu selalu berputar di kepalaku. Setiap detiknya bagai jarum yang menikam otakku, bahkan ketika terbangun pun aku merasa jet lag.

"Sena? Kamu sudah sadar nak?" seorang wanita langsung mendekatiku dengan ekspresi khawatir. Aku kira tidak ada yang peduli dengan keadaanku. 

"Sa-kit," pekikku sambil memegangi kepalaku yang diperban. Tangannya mencegahku untuk bergerak. 

"Jangan gerak dulu, kamu baru sadar," ujarnya halus dengan senyuman yang lembut. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, sambil melihat sekitar. Kamar yang di dominasi warna putih dengan berbagai peralatan lengkap yang berada di dalamnya. Tanganku ditusuk jarum infus, lengan kiriku di perban dari telapak tangan sampai ke siku.

"Berapa hari aku di sini?" tanyaku kepada dia yang tak lain adalah ibu tiriku. Tenggorokanku terasa kering dan tubuhku begitu kaku, mungkin karena terlalu lama terbaring.

"2 hari," jawabnya seraya memencet tombol pemanggil otomatis, "sebentar lagi dokter datang."

Aku hanya mengangguk dan membiarkan dia duduk di samping kasur ini. Tak lama, seorang dokter dan susternya masuk ke kamarku. 

"Sudah dari kapan kamu sadar?" tanyanya sambil memeriksa beberapa bagian tubuhku. 

"Baru saja, Dok," ibu tiriku mewakili. 

"Tanganku kenapa?" tanyaku kepada dokter itu. Rasanya tanganku yang diperban begitu sulit digerakkan.

"Tanganmu bengkak karena tulangnya sedikit bergeser akibat kecelakaan itu. Tenang saja, masih bisa diperbaiki. Untung kamu segera dilarikan ke rumah sakit, tubuhmu kehilangan banyak darah. Tapi keberuntungan masih ada dipihakmu karena kamu pakai helm, jadi tengkorakmu terselamatkan dan kamu masih hidup," jelasnya yang membuat kepalaku makin pusing. Apapun keadaanku, pasti tidak akan separah keadannya. Kena? Oh Tuhan! Kena! Dimana dia sekarang?!

"Lalu keadaan Kena gimana?" pikiranku langsung berkecamuk mengesampingkan rasa sakit yang mendera tubuhku. 

"Maksud kamu, gadis yang kamu bonceng itu?" tanya ibu tiriku takut-takut. Aku mengangguk cepat dan berusaha untuk bangun. Tetapi, dokter itu mencegahku. 

"Jangan bangun dulu, kamu baru sadar." Dia memegang pundakku agar aku berbaring lagi. Namun tenagaku masih bisa mengalahkan dorongannya, dan aku terduduk di atas kasur dengan kepalaku yang langsung sakit. Mereka semua saling berpandangan, membuatku semakin bingung untuk menemukan jawaban.

"Mana Kena?!" tanyaku sekali lagi dengan nada meninggi. Mereka diam, wajahnya berusaha menutupi sesuatu. Jantungku berpacu cepat, hatiku mulai tak karuan. 

"Di-dia..." Ibuku gugup, dokter bungkam, dan suster hanya memandangku iba. Ada apa dengan mereka semua?! Batinku menerka-nerka jawaban yang akan ku dapat, firasat buruk dan kenyataan penuh elegi pekat mulai menyeruak. Nafasku mulai menderu, mataku terus menatap tajam mereka bertiga. 

"Dia belum sadarkan diri." Ibuku mengangkat suara, nadanya penuh keputus asaan. Tanpa menghiraukan kepalaku yang begitu berat dan tubuhku yang dipenuhi rasa sakit, aku mencoba turun dari kasur bermaksud menghampirinya. Tapi lagi-lagi mereka semua mencegahku dan memaksaku untuk berbaring di kasur. 

"Lepasin! Aku harus ketemu Kena!" Aku berteriak dan memberontak, membuat mereka semua kualahan. Jarum infus yang tertancap di tanganku sampai lepas dan bekasnya mengeluarkan banyak darah yang tercecer kemana-mana. Sakit sekali, tapi rasa sakit di hatiku melebihi apa pun. 

"Sena tenang dulu!" Gertak dokter itu kepadaku, membuatku berhenti berontak dan mendengus kesal. Entahlah, aku kehilangan ketenangan atas diriku sendiri.

"Kamu boleh melihat keadaannya, tapi menggunakan kursi roda. Ibumu yang dorong," perintah dokter mengalah. Akhirnya, Ibu keluar mengambil kursi roda dan suster itu membersihkan darah yang mengotori tangan dan kasurku. Ia menancapkan lagi jarum itu ke bagian yang berbeda, dan aku langsung beranjak dari kasur serta duduk di kursi roda sambil memegangi tiang infus. 

Ibuku mendorong kursi roda keluar kamar, menuntunku menuju dia yang mungkin masih terkapar. Intuisi buruk mulai memenuhi hatiku, menyebabkan beribu sesak yang kian menyiksa. Kami menyusuri lorong rumah sakit, pikiranku melayang dan tidak memperhatikan jalan. Tidak tahu tadi belok kanan atau belok kiri, yang jelas sekarang aku berhenti di depan pintu kamar yang sebagiannya berkaca. 

Pintu itu terbuka sedikit, membuatku dapat melihat bagian dalam kamar walau sebagian. Jantungku langsung berhenti, ketika seorang gadis yang setengah terbaring sedang berbicara dengan wanita di sampingnya. Gadis itu begitu pucat dengan kepala diperban, tangannya penuh luka gores yang mengering, tatapannya sendu tak berpendar lagi. Begitu lega melihatnya sudah sadar, tetapi perih tak kalah menguasai jika ingat akulah orang yang sudah membuatnya seperti ini. Dasar tak berguna! Melindungi satu gadis saja aku tak bisa!

"Mama.... Hiks hiks... Ini kaki Kena kenapa mati rasa, Ma? Jawab Ma!" teriakan dari dalam kamar menyadarkanku yang sedang melamun. Ku perhatikan dia yang terlihat dari sini, pundaknya mulai bergetar, air matanya mengalir menyusuri pipi. 

"Yang sabar ya, sayang." Ibunya memeluk dia yang tangisnya semakin menjadi. Tiap detiknya, ku saksikan dia yang terisak. Batinku terus bertanya apa yang terjadi, ingin sekali aku masuk ke dalam dan menghampirinya. Tapi niat itu tertahan di hati, bagai bisik yang menyuruhku untuk tetap diam di sini. Sengaja agar dia tak melihatku dengan kondisi lemah begini. 

"Kamu gak mau masuk?" tanya Ibuku yang setia berdiri bersamaku. Aku menggeleng pelan, biar saja ku perhatikan dia di ambang pintu tanpa harus dia tahu. Memang terkesan tidak sopan mengintip pasien dari balik pintu, tapi ah sudahlah.  

Tangan ringkih Kena bergerak untuk menyingkap selimut yang menutupi kakinya. Sambil terus tersedu, selimut itu mulai tersingkap perlahan, bergerak ke atas untuk memperlihatkan sebuah jawaban. Dan ketika selimut itu terbuka, tangisnya terpecah. Begitu pun aku, hatiku seperti hancur berkeping-keping. Ragaku bagai terhempas dari ketinggian dan mendarat ke jurang paling dalam nan gelap. Ini jauh lebih sakit dari kecelakaan yang baru aku alami. Kenyataan ini sukses membunuhku.

"Mama kaki Kena kemana??!! Ini kenapa diperban gini?!! Kena gak lumpuh kan?!! Kaki Kena utuh 'kan, Ma?" 

--------------------------------------------------------

To Be Continue...

**

Nih, aku sempetin apdet. Siapa yang nyangka Kenanya mati? Wkwkwkk, tinggalin jejak lah good readers. ;*

 

The Coldest Boyfriend[NASIONAL BEST SELLER]Where stories live. Discover now