09

67 11 4
                                    

"Anitia.." panggil Mimih dengan suara lembutnya seperti biasa. Yang dipanggil menolehkan kepalanya, menatap dengan tatapan bertanya.

Mimih menarik senyum simpul dan mengelus tangan Anita. "Setiap anak yang lahir ke dunia itu gak bisa milih orang tuanya. Setiap anak yang lahir ke dunia itu suci. Gak ada istilahnya anak pembawa sial, anak haram. Gak ada yang namanya anak haram karna dia lahir di luar nikah, bukan keinginannya untuk lahir di luar nikah, begitupun dengan Aksa. Dia bukan anak haram, bukan juga anak pembawa sial, dia cuman anak biasa yang gak tahu cara kerja semesta dan kekurangan kasih sayang dari orangtuanya."

Anita tampak merenung, mencerna apa yang dikatakan Mimih.

Aksa anaknya, bukan anak haram. Ya, bukan keinginan Aksa untuk menjadi anak yang lahir di luar nikah. Aksa tak bisa memilih, dan Aksa tak pernah salah. Tapi ia yang selalu melimpahkan kesalahannya pada Aksa hingga membuat Aksa terlihat seperti orang yang paling salah di hidupnya.

Bahkan Anita yakin jika Aksa juga tidak ingin menjadi anak yang lahir di luar nikah.

Saat Anita sedang terlarut dalam pikirannya, tiba-tiba pintu rumah dibuka.

"Assalamu'alaikum..." Aksa menyembulkan kepalanya, menatap Mimih yang memegang tangan Anita, ibunya.

Aksa masuk dan menutup pintu, lalu menghampiri Mimih juga Anita dan menyalami mereka.

"Lagi ngobrol ya? Maaf ganggu Aksa izin ke kamar, mau bersih bersih dulu."
Setelah berpamitan Aksa pergi meninggalkan Anita dan Mimih.

"Coba kamu pikir lagi, apa sebelumnya Aksa pernah bikin kesalahan? Sejak dulu dia selalu berusaha keras biar kalian bisa bangga dan menerimanya sebagai anak kalian. Kemauan dia gak banyak, dia cuma mau perhatian dan kasih sayang dari Ibu dan Ayahnya."

Anita melirik foto keluarga yang bergantung di dinding tua itu, foto tua yang masi terasa sangat hangat yang berisikan Anita dan kedua orang tuanya.

Masa kecil Anita sangatlah indah. Ia tumbuh dengan kasih sayang dan perhatian kedua orang tuanya sangat berbanding terbalik dengan masa kecil anaknya yang harus menerima cacian dan makian setiap kali bertemu dengannya.

Tanpa ia sadari air matanya jatuh begitu saja, hatinya terasa sesak ketika melihat foto Aksa dengan senyuman indah memegang 2 piala dan mengalungi 4 mendali atas kemenangannya di 6 mata pelajaran nya di sekolah.

Aksa keluar dari kamar dan berniat untuk pergi kerja karena ini hari jumat hari dimana ia harus menjalankan part time nya.

Aksa berpamitan kepada mereka.

"Mih, kaka mau pergi part time dulu pulang pasti agak malem, jadi kaka bawa kunci aja jangan ditunggu ya. Assalamualaikum," ucap Aksa. "Mah pergi dulu ya."

Sampai di cafe Aksa dengan telaten membersihkan meja meja yang ada di sana.

Setelah selesai ia tak sengaja melihat pemandangan di depan nya: ayah, ibu dan kedua anaknya yang tampak sangat hangat, ia memandangi mereka dan membayangkan jika memiliki kedua orang tua yang menyayangi nya pasti hidupnya tidak akan se-menyedihkan sekarang tapi ia tetap bersyukur atas apa yang ia dapat, selama ini baginya semua yang ia rasakan sudah cukup.

Tanpa sadar seseorang berjalan kearahnya dan menepuk pundaknya, membuat Aksa terperanjat kaget.

Orang itu menunjuk ke meja 15, di sana terdapat Abel yang melambaikan tangannya. Ada juga, Sadam, Akay, dan Haikal.

Aksa tersenyum kecil dan berjalan kearah mereka.

"Ini menunya, pilih aja dulu nanti anter ke kasir ya. Gue masih ada kerjaan"

Aksa kembali ke meja kasirnya dan mulai melayani beberapa pelanggan yang ingin memesan. Tak lama dari itu Akay menghampirinya dan menyerahkan pesanan mereka.

"Ini pesenan kita, nanti lo ikut makan udah Sadam pesenin."

Aksa mengangguk paham dan memberikan pesanan itu ke salah satu temannya.

Mereka berlima tengah asik menyantap makanannya dan membicarakan rencana olimpiade yang akan diselenggarakan 2 bulan lagi.

"Nanti yang wakilin sekolah lo aja ya Sa yang lain pada percaya sama lo."

"Iya tuh, kamu aja Iru lumayan tahu kalo menang dapet beasiswa buat ke univ, biar gak berat banget biaya kuliah kamu nanti,"
timpal Abel.

"Gue belum tahu, nanti gue pikirin lagi ya."

"Loh naha, padahal gas ae lah kalo gue pinter udah gue gas si."

"Ah sok banget lo Kal, tahu ada ulangan harian aja lo sampe pucet anying,"
Ikal meledek temannya.

"Ya beda atuh, kan kata gue teh kalo pinter. Kan sekarang mah agak tolol," ucap Akay dengan cengengesan, mengundang tawa para temannya.

"Oh ya sa kok lo gak terima si?"
Sadam yang tadinya diam kini bersuara.

"Gue gatau, mimih gak ada temen."

Ia bimbang, di satu sisi ia bahagia karena bisa masuk univ tanpa biaya sepeserpun. Namun di satu sisi juga ia menghawatirkan kesehatan sang nenek yang kerap kali sakit

"Jam makan gue udah abis, Makasih ya sarannya. Gue lanjut kerja dulu."

Hari yang melelahkan itu, Aksa akhiri dengan menatap indahnya bulan sambil memetik gitar memainkan sebuah lagu. Tak hanya itu, sesekali ia bernyanyi mengikuti alunan gitar yang ia mainkan. Sungguh rasanya tenang dan nyaman.

Namun banyak sekali pertanyaan dalam benaknya, apa yang harus ia lakukan? Antara masa depan dan orang yang menjadi dunianya, Pikirannya sangat kalut, ia bimbang. Di satu sisi ia sangat bertekad untuk mendapatkan beasiswa itu namun disisi lain ia sangat ingin selalu berada di samping neneknya.

Ia juga masih heran atas perlakuan ibunya tadi pagi, ia terlihat sembab dan tak biasanya ibunya mau datang ke rumah ini.

Pertanyaan aneh itu terus menghantuinya, ia sangat takut akan esok hari.
Ia takut ditinggalkan, takut akan kehilangan dan takut akan kegagalan.

Aksa memulai harinya dengan mendatangi kamar sang nenek dan menceritakan tentang olimpiade tersebut.

"Mih, kalo Kaka pergi selama 8 sampe 12 hari boleh?" Aksa bertanya sambil memegang tangan neneknya.

Sang nenek memasang wajah bingung. "Kaka mau kemana?"

"Jadi gini, ada olimpiade antar sekolah dan Kaka dikasih kepercayaan buat jadi perwakilan sekolah, di puncak Bogor acaranya 2 bulanan lagi terus kalo menang dapet beasiswa."

"Ikut aja Ka lumayan, gak usah khawatir sama mimih kan udah biasa sendiri mimih doain dari sini ya kasep biar bisa banggain mama sama papa," neneknya mengusap pelan pucuk kepala Aksa. Kemudian yang Aksa lakukan adalah memeluk sang nenek.

Diam diam Aksa menyimpan kekhawatiran. Ia khawatir pada neneknya, dan ia takut. Ia takut jika saat ia pulang sang nenek tiada menyambutnya di depan pintu rumah lagi.

Aksa hanya punya nenek, dan jika nenek pergi, Aksa hancur.

Tanpa disadari, air matanya turun. Dengan cepat ia mengusapnya kasar dan mempererat pelukannya pada sang nenek.

 Dengan cepat ia mengusapnya kasar dan mempererat pelukannya pada sang nenek

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Semicolon;Where stories live. Discover now