20. Dunia nyata

942 36 0
                                    

"Dokter Reno."

"Iya?."

"Aku suka sama dokter."

Reno mendadak tidak bergeming mendengar pengakuan yang begitu mendadak itu, matanya berkedip pelan menatap cewek dengan piyama rumah sakit tertunduk malu didepan nya.

"Lo suka gue?." Cewek itu mengangguk.

Arita, dengan malu cewek itu memberikan selembar kertas pada Reno. "Dokter gak harus jawab sekarang, aku bakalan tunggu balasan dokter lewat surat itu." Ucap nya.

Tidak nyaman dengan kondisi canggung Reno tertawa pelan merilekskan dirinya. "Makasih. Gue simpen ya." Reno memasukkan lipatan kertas itu ke kantong snelli yang dipakai nya lalu menepuk-nepuk pelan puncak kepala Arita.

Reno menatap jam tangannya lalu berucap. "Waktu nya istirahat, gue masih ada urusan."

Arita dengan memberanikan diri berusaha menatap Reno. "Aku balik dulu, ya." Reno mengangguk membiarkan cewek itu berlalu meninggalkannya disana.

Helaan nafas pelan keluar dari mulut Reno, entah bagimana cewek itu bisa menyimpan perasaan kepada dirinya padahal selama ini Reno tidak melakukan hal apapun selain selayaknya interaksi antara pasien dan dokter.

Reno pergi keruangannya melepaskan snelli dan alat-alat kesehatan yang menempel di badannya, mencoba merebahkan punggungnya ke sofa dengan posisi miring lalu memejamkan matanya.

Baru sebentar memejamkan matanya suara ketukan pintu membuat Reno kembali membuka matanya dan menegakan badannya kembali.

"Silahkan."

"Permisi dokter, maaf menganggu waktu istirahat nya." Seorang suster masuk keruangan Reno lalu menutup pintunya kembali.

"Ada apa?."

"Ini dokter, ada yang mau ketemu, beliau menunggu didepan."

"Persilahkan masuk saja." Ucap Reno sambil memakai Snelli nya kembali dan duduk di kursi nya.

"Baik dokter." Suster itu keluar dari ruangan Reno berganti dengan seorang paru baya wanita yang masuk.

"Selamat siang, dokter."

"Selamat siang, Silahkan duduk."

Paru baya itu duduk didepan Reno. "Terima kasih."

Reno meletakan kedua tangannya diatas meja menatap baik-baik paru baya itu. "Ada yang bisa saya bantu?." Paru baya itu menggeleng sambil tersenyum kecil.

"Saya orang tua dari pasien Arita sukma wijaya. Dokter kenal kan?."

Reno mengangguk. "Beberapa minggu yang lalu memang saya ikut ambil tanggung jawab dalam merawat pasien." Ucap Reno.

Senyuman terpancar dibibir paru baya itu. "Saya ingin mengucapkan terima kasih, berkat dokter putri saya lebih tenang dan semangat melawan penyakitnya, saya ini bisa dibilang orang tua yang kurang bertanggung jawab pada anak saya, bukan karna alasan." Reno diam mendengarkan dengan baik.

"Biaya rumah sakit putri saya selama ini bukan lah jumlah yang sedikit, tapi saya selalu berusaha mati-mati an untuk mengobati putri saya walau saya harus pulang pergi ke luar kota mengurus pekerjaan karna bagimana pun saya hanya orang tua tunggal yang dia punya."

"Beberapa bulan yang lalu saya hampir putus asa karna Arita yang selalu berusaha untuk mengakhiri hidupnya, hati saya hancur tapi saya tetap berusaha tegar."

Reno mengambil tisu lalu memberikannya pada paru baya itu saat tanpa sadar air mata mulai jatuh membasahi pipi nya.

"Sampai kemarin saya mendengar dari suster yang biasa merawat Arita, dia bilang Arita sekarang tampak lebih ceria san bersemangat bahkan sangat rutin meminum obat-obatan nya. Itu adalah kabar yang begitu menggembirakan untuk saya sebagai seorang ibu yang sudah mati-mati an berjuang demi anaknya."

"Dokter." Reno sedikit kaget saat tangannya tiba-tiba dipegang dan digenggam oleh paru baya itu.

"Tolong bantu saya untuk menjaga Arita sampai dia benar-benar sembuh karna selama ini hanya dokter satu-satu nya orang yang membuat semangat nya untuk hidup kembali lagi. Saya rela membayar berapapun untuk ini."

"Tidak perlu seperti itu, ini sudah menjadi tanggung jawab saya untuk merawat pasien hingga sembuh. Pekerjaan dokter itu mulia bukan semata-mata hanya untuk uang, jadi ibu tenang saja." Ucap Reno.

Paru baya itu menghapus air matanya sambil tersenyum. "Terima kasih dokter."







*****








"BAJINGAN LO."

Suasana kelas hening seketika mendengar teriakan itu, begitupun perhatian orang-orang yang ada di dalam kelas semuanya langsung terfokus pada dua orang yang saling menatap.

Acha, cewek yang tidak banyak bicara selama di kelasnya tiba-tiba berteriak lantang meneriaki salah satu cowok teman kelasnya yang telah bersikap lancang kepadanya.

Wajah Acha memerah padam menahan emosi yang sudah di ujung kepalanya, kedua iris matanya menatap tajam penuh amarah.

Namun berbeda dengan Acha, Raut cowok itu terlihat santai dan tidak merasa bersalah sama sekali, kedua tangannya dilipat didepan dada menatap Acha dengan sorot menantang.

"Gue bisa laporin sikap kelancangan lo itu!."

"Lancang? Emang gue ngapain lo?." Tanya cowok itu.

"Jelas-jelas tadi lo pegang bokong gue dengan sengaja." Beberapa orang berbisik mendengar ucapan Acha.

"Eh jangan sembarangan ya, mana buktinya?." Tanya Cowok itu menatap Acha sambil tersenyum meremehkan.

Acha mengepalkan tangannya, dirinya memang tidak punya bukti tapi Acha yakin tadi cowok itu memang dengan sengaja memegang bokongnya saat Acha hendak berdiri.

"Denger ya, cewek dikelas ini banyak yang lebih cantik dari lo buat gue modusin jadi gak usah kepedean deh."

"Tapi semua orang dikelas juga tau kali gimana sikap lo." Ujar Sam tiba-tiba datang selepas dari toilet.

Cowok itu berdecih. "Lo gak usah ikut campur."

Sam mendekat pada Acha berdiri tepat didepan nya sebagai benteng. "Dia temen gue. Sekali lagi lo macem-macem sama dia, abis lo." Ucap Sam menatap cowok itu dengan tatapan dingin.

"Menurut lo gue takut?." Leon, cowok itu tertawa meremehkan.

Sam maju beberapa langkah hingga bersebelahan dengan Leon. "Inget, lo masih dalam pengawasan polisi atas kasus lo." Bisik Sam mengingatkan.

"Tai lo." Cowok itu langsung pergi begitu saja meninggalkan kelas setelah mengucapkan itu pada Sam.

"Liatin apaan lo pada?." Sam menegur teman-teman kelasnya agar tidak terus menjadikan Acha sebagai pusat perhatian.

Sam menarik kursi menyuruh Acha agar duduk, Acha menurut ia kembali ketempat duduk nya dengan wajah yang masih merah karna emosi yang belum terluapkan.

"Tenang." Ucap Sam mengipas-ngipas kan buku kedepan wajah Acha.

"Sialan banget ternyata orang diem kaya gitu." Gumam Acha pelan tidak habis pikir.

"Bukan sekali dua kali dia kaya gitu, banyak korbannya."

"Terus pada diem aja gitu dibiarin? Pihak kampus gak ambil tindakan, itu jatohnya udah pelecehan loh." Ucap Acha tidak habis pikir.

"Ada beberapa orang yang udah coba ngelaporin masalah ini ke pihak kampus bahkan ke polisi."

"Terus?."

"Damai, kelar."

Acha melongo. "Kok bisa."

"Bokap nya aset penting disini, lo tau dewek ada uang ada kuasa." Acha geleng-geleng ternyata permasalahan yang sering dirinya liat dalam drama memang banyak terjadi di dunia nyata.





To be continude

Hi, AchaWhere stories live. Discover now