"Oh jangan khawatir, saya siap sedia kasih napas buatan. Terkhusus buat Pak Omar biar jauh saya jabanin. Asek."

Astaga. Sepertinya hari ini Omar akan banyak tertawa karena guyonan-guyonan Risma. Dia bisa mencairkan suasana dan mungkin jika ia memiliki sedikit saja perhatian pada wanita ini, bisa saja hari-harinya lebih ceria.

"Ya Allah mimpi apa saya kemarin dibonceng Pak Omar," cicitnya yang hanya dia sendiri yang mendengar.

&&&

Di lain waktu saat istirahat siang di deretan ruko yang diklaim sebagai bisnis center daerah Dinoyo, Adiba menyambangi kasir toko Omar yang merupakan temannya, yang juga istirahat siang. Ia juga sudah pamit ke Khaira, jadi Adiba tidak takut dicari-cari temannya itu.

"Pak Omar belum dateng ya, Mbak? Mobilnya nggak ada itu." Adiba hafal sebab beliau selalu memarkir mobilnya dekat area parkir toko tempatnya bekerja.

"Belum. Nggak dateng kayak e, Diba."

Mereka duduk bersama di halaman belakang—ditumbuhi pohon mangga, pucuk merah, dan beberapa tanaman yang tahan sinar matahari agar mendapat udara segar—beberapa meter dari toilet. Sedangkan di ruang belakang difungsikan untuk tempat istirahat, tempat sholat. Ada meja dan dua buah kursi untuk makan, dapur kecil, dan gudang penyimpanan untuk sebagian barang. 

Adiba langsung lesu. Penyemangat kerjanya tak kunjung datang. "Lemes wes, vitamin kerjaku nggak ada," gumamnya lalu menggigit roti yang ia beli di sini dengan asal-asalan dan tak semangat.

Hesti yang melihat tertawa saja. Ia tidak terkejut mendengar gerutuan Adiba, sebab semua karyawan di sini tahu jika wanita ini menyukai bosnya.  Dia sering titip salam untuk Omar. Riwa-riwi kemari hanya untuk bisa melihat beliau. Tak jarang mencari kesempatan untuk berpapasan dengan pria itu. "Ardi aja lho, Diba. Nggak kalah cakep dia."

"Nggak mau ah. Mas Ardi galak gitu. Masa baru lihat aku mukanya udah garang. Main usir aja."

Wanita yang memiliki satu putra itu terkekeh mendapat aduan Adiba. "Ya kamu sih, nyariin dia cuma buat kepoin Pak Omar. Jengkel lah lama-lama. Sesekali kasih apa gitu biar seneng. Tanyain kabar dia, pasti lak semrintil dia. Jadi kalo tanya-tanya pasti dijawab."

Adiba tidak membalas saran Hesti. Ia melanjutkan makannya dengan sedikit melamun. Ia menoleh cepat pada karyawan Omar tersebut untuk memastikan sesuatu. "Mbak. Beneran Pak Omar belum pernah punya cewek?" Hesti mengangguk. "Nggak yakin sih sebenernya lakik modelan Pak Omar masih sendiri. Kok kuat bejo gitu. Langka banget kan kalo zaman sekarang."

"Sek sek. Apa hubungannya Pak Omar sama bejo, Diba? Mereka temenan?"

Refleks Adiba berdecih. "Ih, Mbak Hesti rek! Gitu aja nggak ngerti. Kayak Mbak Khai aja ini, kuper," sewotnya sebelum menyobek bungkus roti dan membuang ke tong sampah. "Bertahan jomblo."

"Oh. I'am sorry. Aing kagak ngarti you punya maksud." Hesti tertawa keras melihat Adiba bersungut-sungut karenanya. "Eh Diba. Kapan hari aku lihat temenmu disamperin cowok. Aku nggak tahu ngobrolin apa tapi temenmu itu kayak nggak nyaman gitu."

Adiba mengeser duduknya lebih dekat pada Hesti. Ia juga menghadap wanita itu sampai-sampai satu kakinya ia naikkan dan dilipat. "Nggak nyaman gimana, Mbak? Cowoknya gimana?" tanyanya penasaran pasalnya Khaira belum cerita padanya.

"Dia bawa mobil hitam. Avanza apa jaz gitu. Tinggi, agak item tapi bukan yang item banget gitu. Manis orangnya. Nungguin Khaira nutup folding gate terus nyamperin. Kalo baik-baik saja kan kelihatan nyaman gitu. Ini kek cek-cok gitu, Diba. Wong cowoknya sempat halangin motor Khaira pas mo jalan. Pokoknya kek orang berantem gitu."

Lipatan dalam terlihat di antara kedua alis Adiba. Kalau melihat cirinya seperti Haikal tapi bukankah pria itu sudah menikah dengan Tantri. "Masa mantannya? Tapi Mbak Khai kok nggak cerita ya?" gumamnya pada dirinya sendiri. "Kapan itu, Mbak?"

"Kapan ya? Hari Rabu kemarin apa ya. Kamu libur kayaknya wong kamu lho nggak ke sini samsek sampai tutup."

Ah iya Rabu memang hari liburnya dan akan diganti oleh karyawan lain dari toko pusat. Tapi yang jadi pertanyaannya kenapa Khaira tidak memberitahunya? Biasanya dia akan cerita.

Hesti menepuk lengan Adiba pelan karena melamun sebelum mencuci sendok dan tepak makan miliknya di bak cuci piring. "Kamu kenal, Diba?" Ia mengelap tangan sebelum meraih botol minumnya.

"Kenal sih nggak tapi kalo itu mantannya Mbak Khai insyaallah tahu." Ah dia harus bertanya pada kawannya itu. "Mbak, ini beneran Pak Omar nggak datang? Haduh. Udah mo habis jam istirahatku, kok nggak nongol-nongol."

Hesti kembali terkikik melihat wajah melas Adiba yang menanti kedatangan bos-nya. "Dibilang mendingan sama Ardi aja kok, yang jelas rimbanya, malah kekeh milih yang mulia, ya kerja keras bagai quda usahanya untuk ketemu Pak Omar."

"Ih, Mbak. Orang demennya sama Pak Omar kok."

"Ya wes, semangat kalo gitu. Ayok ke depan. Jamku udah habis ini."

Baru saja mereka masuk, tampak Omar dan Ardi beranjak dari kursi makan. Ardi menatap sengit pada Adiba yang tergugu melihat Omar. Berbeda dengan Ardi, pria itu melempar senyum kecil pada Adiba kemudian naik ke ruangannya.

"Udah dari tadi, Di?" Hesti membuka obrolan karena yakin Adiba masih terpaku pada Omar.

"Lumayan. Dari awal sampai akhir." Usai berkata demikian, Ardi berlalu juga ke atas.

Adiba menepuk dahinya keras. "Mampus. Denger dong ghibah kita, Mbak," kata Adiba yang kesadarannya sudah kembali. "Tapi nggak apa-apa deh, siapa tahu Pak Omar jadi kepikiran aku."

Ya Allah. Sungguh percaya diri sekali Adiba ini, pikir Hesti tapi ia pendam saja di hati. "Dah balik sono sebelum temenmu merong-merong."

Perempuan dengan gigi gingsul itu membenarkan ucapan Hesti. "Hahaha, bener. Tanduk dia keluar kalo telat masuk." Adiba berjalan cepat ke toko. Beruntung Khaira sedang melayani pelanggan jadi ia tidak mendengar rentetan omelannya. Tapi tatapan temannya itu seperti laser mematikan.

Capua 😆

Risma sama Adiba yak, dekengan pusatnya nggak main-main 🤣

Stole Your Heart Where stories live. Discover now