CHAPTER #19

354 70 4
                                    

Keduanya masih diam, malam ini kian dingin dan Doyoung sama sekali tak menyangka akan situasi ini, serta bagaimana dan respons apa yang akan ia berikan pada Junkyu. Junkyu menatap kedua matanya, dan wajah pucat Doyoung yang tampak kelelahan-menarik napas yang panjang tak tahu harus memulainya dari mana, namun ia harus mengatakan hubungan perselingkuhan orang tuanya dengan tokoh penting di hidup Doyoung, sesuatu yang mungkin tak akan termaafkan .

''Ayah dan Ibu ku sering bertengkar, karena katanya pernikahan mereka terlarang. Jujur, aku sendiri tidak mengerti soal itu Doyoung. Aku tak ingat sejak kapan semuanya berawal, dan aku sadar saat melihat Ibu berciuman di kafe tempatnya bekerja bersama Ayahmu, awalnya aku mengira itu hal biasa,''

Doyoung masih diam tak bersuara, ia menjadi pendengar yang baik meskipun telinganya terasa panas, Doyoung ingat betul pada pagi hari tadi, saat Junkyu meneleponnya, ia mendengar bentakan keras-ternyata benar dugaan nya. Bahwa, suara itu adalah pertengkaran kedua orang tua Junkyu.

" Sekarang aku mengakui aku salah karena hanya diam, kau tahu? Ketakutan terbesarku bila kau mengetahui soal ini? Kau tak tahu Doyoung, aku hanya ingin selalu di dekatmu. Aku berharap punya adik, agar hari-hari ku tidak monoton, sebetulnya aku juga muak dengan liburan tahunan yang harus dihabiskan di Mansion gila ini. Tapi, aku akan bertemu dengan mu Doyoung. Sekarang aku tak pernah berharap punya adik karena ku rasa tidak ada yang bisa menggantikan mu, kau satu-satunya orang yang ku miliki sekarang, aku menyayangi mu, Doyoung. Aku berharap kau bisa hidup lebih lama," Junkyu tidak dapat menyembunyikan tangisnya, tidak ada yang tahu kehidupan manis dan pahit yang harus ditempuh Junkyu, tidak ada yang tahu rasanya hidup di lingkungan dan keluarga yang toxic

Terkadang semuanya memang harus dirasakan sendirian karena biasanya saat kamu bercerita masalah mu pada orang lain, mereka memang mendengarkan mu dengan baik, memberi mu solusi namun terkadang bukan solusi semacam itu yang kita butuhkan. Itu hanyalah formalitas, mereka memberimu solusi padahal nyatanya mereka abai.

" Berjanjilah untuk tetap hidup, meskipun semuanya terasa sulit. Aku berharap kamu berada di belakang ku sampai kita berhasil keluar dari sini, jangan bertindak yang bisa membahayakan dirimu. Aku sudah bilang, aku menyayangi mu Doyoung." Junkyu sudah berkali-kali menyapu air matanya, sesekali terdengar sesenggukan yang berjeda dalam detik.

Melihat hal itu, tiba-tiba perasaan emosi yang tidak bisa Doyoung kenal memenuhi tubuhnya. Kakinya melangkah mendekat dan dia memeluk Junkyu, entah kenapa juga perasaan yang mengganjal hatinya membuatnya ikut menitikkan air mata. Sekarang Doyoung mengerti, dibalik sikap periang dan perhatian Junkyu erat tersimpan rasa sakit yang mungkin sulit diobati, Doyoung tahu kenapa Junkyu begitu egois agar dirinya terus patuh pada perintah kakak sepupunya itu, sayang, takut kehilangan, dan rasa persaudaraan yang dalam lah yang menjadikan Junkyu egois. Egois untuk kebaikan Doyoung sendiri.

"Meskipun Ayah ku dan Ibumu memiliki hubungan, aku tidak berpikir untuk menjauh dari mu, Junkyu. Lagipula, aku hanya memiliki mu sekarang. Sekarang aku memahaminya Junkyu, tapi izinkan aku sekali saja bertindak jika itu adalah hal yang harus aku lakukan, jangan terlalu mengekang ku Junkyu. Ku mohon." Doyoung melepas pelukannya dan menepuk pundak Junkyu pelan. Junkyu mengangguk mengerti dan menjawab, " hanya ketika itu adalah yang harus kau lakukan, hal penting. Kim Doyoung.

"Lupakan soal perselingkuhan itu dan kita harus menjalani hidup kita sebagaimana yang seharusnya, lagipula itu urusan orang dewasa." Doyoung berkata demikian setelah ia mengangguk, ia menyunggingkan seulas senyum tulus yang membuat Junkyu mengangguk.

Junkyu memperbaiki posisi duduknya, kepalanya menoleh ke sana-kemari. Matanya meniti setiap sudut dan koridor sepi nan gelap yang ada di belakang mereka, Junkyu menatap wajah Doyoung -adik sepupu itu memasukkan cutter kembali ke dalam tasnya.

"Mana Haruto?"

"Katanya mau kencing." Mendengar jawaban Doyoung Junkyu berdiri pelan, ia tersadar dengan ruang asing di ujung koridor gelap ini. Matanya kembali menatap seluruh ruangan ini, Junkyu mengambil senter di lantai dan ia menyoroti semua ruangan ini. Sorot senternya berhenti tepat di pintu kayu yang setinggi pinggang orang dewasa, Junkyu menelan salivanya dan melangkah pelan sambil menahan sakit di bahunya.

"Aku menemukan sesuatu." Ucap Junkyu pelan-berhasil membuat atensi Doyoung segera menatap sorot senter Junkyu. Ia ikut melangkah mengikuti Junkyu, sesampai di depan pintu kayu setinggi pinggang itu-mereka jongkok dan senter diambil alih oleh Doyoung sedangkan Junkyu mencoba membuka pintu yang rupanya tak dikunci, bau apek dari ruang gelap tak berpenghuni itu terasa sangat menyengat.

"Apa di bawah sana rubanah? Ada tangga." Pertanyaan Doyoung mengudara, sedangkan Junkyu berusaha mengintip ke dalam.

"Kita bisa bersembunyi di sana, menunggu pagi hari tiba." Ucap Junkyu dengan ide bagus yang mungkin juga tidak. Doyoung terlihat ragu, namun ia yakin dengan keputusan Junkyu.

"Ada tangga, sepertinya rubanah. Aku turun lebih dulu." Junkyu menatap kedua mata Doyoung yang memantulkan cahaya senter di bola matanya, anak itu tampak pucat dan bibirnya kering karena kekurangan cairan.

"Bagaimana dengan Haruto?" Doyoung menatap wajah Junkyu yang ternyata lebih pucat, biji keringat menumpuk di pelipis kiri-kanan dan juga dahinya.

"Kau masih mempercayainya?" Junkyu menatap wajah Doyoung tanpa berkedip membuat lawan bicaranya mengalihkan pandangan tepat menoleh ke belakang sana, berharap akan kedatangan Haruto dari koridor gelap itu.

"Apa maksudmu, dia yang membawa kita kemari." Jawab Doyoung yang masih memalingkan wajahnya, ia tidak berpikiran buruk soal Haruto meskipun kekerasan fisik yang dilakukannya terkadang membuat Doyoung cedera.

"Kita bisa beri tanda kalau kita turun ke bawah." Jawab Junkyu ditambah tepukan bahu, membuat Doyoung kembali menatap wajah Junkyu. Ia mengangguk dalam diam, dan matanya menatap ke bawah memperhatikan Junkyu yang turun ke rubanah.

Sekarang hanya terlihat sorot senter Junkyu di bawah sana, sebelum turun Doyoung kembali menatap ke belakang. Akhirnya ia menorehkan ujung jarinya ke lantai berdebu dan memanfaaatkan debu menghasilkan tulisan agar Haruto mengetahui keberadaan mereka. Doyoung juga sengaja tidak menutup pintunya, sekali lagi agar Haruto mengetahui keberadaan dirinya dan Junkyu.

🔸🔹🔸🔹

Haruto duduk memeluk lututnya di dalam gelap ini, matanya tampak sayu menatap tanpa berkedip ke arah Mashiho yang berdiri linglung. Bau busuk dari tubuhnya yang lembek menguar kuat, Mashiho benar-benar tidak bisa disebut manusia utuh. Darah kering di wajahnya mengahasilkan bau amis, ia tampak biru tanpa berkata apapun dan bertindak apapun. Mashiho jatuh terbaring ke lantai, air keruh dari tubuhnya mengalir membasahi lantai, sama seperti bau badannya seperti itu juga lah bau air keruh itu. Lalat besar yang entah dari mana datangnya, hinggap di tubuh Mashiho dan mengeluarkan belatung kecil yang siap menemani pembusukannya.

Haruto mengigit bibirnya, luka cakar yang diperolehnya dari Mashiho terasa panas dan mengigit. Seluruh tubuhnya dingin, perutnya mual dan kepalanya terasa sakit. Haruto memaksakan dirinya untuk berdiri dan melangkah menuju dapur, berniat mengambil segelas air putih yang mungkin bisa mengurangi rasa mualnya. Haruto tahu, ini adalah reaksi yang sama seperti Zivan dan Mashiho. Haruto menahan dirinya, bisikkan yang amat berisik menembus telinga hingga dadanya. Rasanya telinganya berdarah menahan bisikan yang entah dari mana asalnya. Tidak mungkin, harus membunuh Junkyu dan Doyoung dalam keadaan seperti ini.


🔹🔸🔹🔸

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓حيث تعيش القصص. اكتشف الآن