CHAPTER #16

367 77 4
                                    

  Doyoung takut, kedua tangannya dingin, kakinya gemetaran. Junkyu memegangi tangan Doyoung dengan kuat, dan Haruto ikut menempel padanya. Sekarang hanya tersisa mereka bertiga, Mashiho sudah mati begitu pun bibi Neet yang menjadi tulang punggung mereka untuk pergi dari Mansion ini. Di dalam hati, Doyoung mengumpat dirinya sendiri yang harus takut dipukuli kedua orang tuanya karena tidak ikut liburan tahunan ini. Namun, situasi di sini lebih menakutkan dibandingkan dipukuli orang tuanya sendiri.

"Kuncinya, jangan panik Doyoung." Bisik Junkyu tepat di telinganya, Doyoung pun langsung menatap wajah Junkyu—belum sampai lima detik Junkyu mendorong Doyoung menjauh dari sofa, Doyoung terduduk dan jatuh telentang di lantai yang penuh air liur kental bercampur darah dan bubur daging bibi Neet yang busuk.

  Doyoung menatap wajah Junkyu yang tanpa rasa bersalah, sedangkan Haruto membungkuk di sofa dan mengulurkan tangannya berniat membantu Doyoung kembali bersama mereka sebelum Mashiho bergerak. Namun, jarak yang memisahkan mereka berdua cukup jauh.

  Doyoung berusaha berdiri, namun dirinya sudah terjebak di sana. Air liur itu lengket seperti lem, itulah yang membuat Doyoung harus menjadi mangsa kedua Mashiho.

"Kau jahat sekali, Junkyu." Bisik Doyoung, matanya basah dan badannya berkeringat dingin. Dirinya diam tak bergerak lantaran terlanjur takut, Doyoung menutup matanya. Di sana, Mashiho melangkah tertatih-tatih—tertawa kegirangan dengan sebilah pisau kedokteran yang ada di tangannya.

  Mashiho membuka mulutnya sebesar-besarnya, sekitar sepuluh centimeter lebarnya mulut Mashiho—mengeluarkan semacam tali namun mirip usus kecil yang mengikat Doyoung hingga terduduk di dekat kakinya. Doyoung membuka matanya, seluruh badannya sudah kotor dan matanya masih menatap Junkyu yang tampak tak merasa bersalah telah mengorbankan dirinya. Di sana Haruto, memaki-maki Junkyu yang sangat mengejutkan mendorong Doyoung menjauh dari perlindungan.

  Leher Doyoung dililit dengan usus kecil Mashiho dan di lemparkan ke dinding, membuat punggung Doyoung rasanya remuk, mulutnya berdarah begitu pun hidungnya. Doyoung tersadar dengan batuk lemas yang hampir tak terdengar,  kepala Mashiho berputar tiga ratus enam puluh derajat, lalu mengacungkan pisaunya yang sudah bersedia menikam jantung Doyoung.

  Junkyu melompat dan menendang tepat mengenai sasaran, Junkyu berhasil mengecoh Mashiho dan segera mengambil pisau kedokteran itu dari tangan Mashiho dan tanpa berpikir dua kali, Junkyu menusukkannya dan pisau itu sudah membelah leher Mashiho. Mashiho berdiri linglung, tangannya meraba lehernya sendiri yang robek hingga menembus kerongkongan. Rasanya pita suaranya juga putus, ia sekarang bisu.

  Suara darah yang mencirit terdengar menyeramkan malam ini, Mashiho melangkah tanpa arah dan berakhir ambruk ke lantai dengan darahnya yang sangat melimpah ruah. Junkyu segera memberikan punggungnya dan meminta Doyoung untuk segera naik ke atas panggung, tanpa banyak pertanyaan apapun Doyoung langsung saja bergerak menuruti permintaan Junkyu.

  Haruto lebih dulu turun dari sofa, rupanya saat Mashiho ambruk—air liur layaknya lem paling merekat di dunia itu telah kembali normal. Haruto segera membuka pintu dan mendahulukan Junkyu yang menggendong Doyoung keluar dari ruang unit kesehatan. Mereka lari tergopoh-gopoh, Haruto terus mengikuti langkah Junkyu yang lebar dan cepat. Sudah banyak ruangan tak dikenal yang mereka lalui sampai akhirnya mereka sampai di ruang utama Mansion. Di tempat itulah, mereka memelankan langkah.

"Turunkan aku di sini, Junkyu." Ucap Doyoung yang merasa tak nyaman berada di atas punggung Junkyu.

  Tanpa menjawab, Junkyu segera jongkok dan membiarkan Doyoung turun sendiri. Mata Haruto menatap penjuru ruang utama, mayat yang bergelimpangan telah hilang—ini adalah tempat mereka melakukan upacara aneh. Sudah tidak ada lagi mayat Asahi dan orang-orang yang telah dibunuh Zivan di sini, hanya tersisa  darah yang mulai mengering dan beberapa potong kue yang berhamburan. Seingat Haruto, tangga rubuh di rubanah ketika ia bertemu mendiang ibunya adalah tempat menyimpan mayat.

  Junkyu menendang pintu keluar dari Mansion, rupanya pintunya dikunci. Junkyu kesal dan meninju pintu itu berkali-kali mengabaikan luka di tangannya dan juga suara Doyoung yang melarang Junkyu meneruskannya.

"JUNKYU!" Doyoung menatap wajah Junkyu tanpa berkedip, kali ini suaranya terdengar lebih tinggi dan tegas.

"Apa?! Apa salahnya aku berusaha keluar dari tempat terkutuk ini?" Junkyu berbalik badan, wajahnya yang tampak kelelahan dan juga marah menatap tak ramah sedikit pun pada Doyoung, tidak biasanya Junkyu memasang ekspresi wajah seperti itu di depan Doyoung.

"Tapi, tangan mu terluka. Kita bisa cari jalan lain." Doyoung menunduk sebentar, ia tahu Junkyu pasti emosi karena ia membentak.

  Junkyu ber—decih, lalu melangkah cepat mendatangi Doyoung yang masih berdiri di tempatnya,"Persetan kalau terluka, jika ingin tetap hidup maka abaikan lah rasa sakit, maka semuanya akan berjalan seolah baik-baik saja. Kau hanya perlu diam dan ikuti langkah ku jika ingin hidup lebih lama." Junkyu tepat berhenti berhadapan dengan Doyoung, kedua mata mereka beradu, terpancar kemarahan dari Junkyu yang sudah kehilangan kesabarannya.

"Maksud mu, aku tidak berguna bukan?" Doyoung pun tak berkedip menatap kedua mata tajam Junkyu, kakak sepupunya itu tampak sangat membencinya.

"Kalau ku katakan iya?" Jawab Junkyu dengan suara yang penuh penekanan dan picingan mata yang tajam.

  Doyoung mengalihkan pandangannya, ia menatap pintu utama Mansion yang bergerak maju seperti ada yang mendorongnya—tapi dikunci. Doyoung kembali menatap wajah Junkyu dan berkata, "Mulai sekarang, jangan pikirkan aku selamat atau tidak. Fokuslah pada keinginan mu pribadi."

"Oke, kau benar. Aku bodoh memikirkan keselamatan orang lain yang tidak bisa memberikan timbal balik." Junkyu mendorong bahu Doyoung dan dirinya pun mundur menjauhi tatapan mata Doyoung yang sendu.

"Kalian ini kenapa?" Haruto bersuara nyaring, bingung memikirkan apa yang mereka perselisihkan.

"Biarkan saja Dia. Haruto, kau tahu aku tidak suka orang yang membangkang terhadap orang yang lebih tua." Ucap Junkyu mengakhiri perkelahian kecilnya, ia melangkah meninggalkan Doyoung yang masih berdiri di tempat yang masih sama.

  Haruto menatap wajah keduanya dan memilih untuk tidak ikut campur urusan keduanya, Haruto dan Junkyu sama-sama memeriksa setiap jendela sekitar ruang utama Mansion. Mungkin karena tidak ada orang yang membersihkan Mansion ini setiap hari atau satu pekan sekali—membuat engsel jendela berkarat dan kebetulan sekali jendela jarang dibuka.

  Junkyu menendang frustasi dinding ruangan ini, melahirkan gaung yang nyaring mengudara bersama suara kesal Junkyu. Doyoung mendengkus dan berbalik arah, ia menaiki setiap anak tangga menuju kamarnya. Kamar bau air liur Zivan saat kedua kalinya menjadi aneh. Haruto sempat menatap punggung Doyoung yang pergi ke lantai dua, namun ia tidak ada niat untuk memanggil Doyoung di situasi sekarang—Haruto membantu Junkyu untuk mencari jalan keluar dari Mansion ini.

🔸🔹🔸🔹

  Di dalam kamar dengan pintu rusak, dan air liur Zivan yang ia muntah kan beberapa jam lalu, terlihat lebih baik ketimbang bercak darah kering di ruangan  sebelumnya. Doyoung menatap kenop pintu rusak yang ternyata terlepas dari genggaman tangannya saat Zivan menyeret kakinya—membawa dirinya ke dapur Mansion. Doyoung mengambil kembali benda itu, lalu bergegas menuju tas super besar miliknya dan mencari sesuatu dari dalam sana.

  Haruto dan Junkyu tidak berhasil mencari jalan keluar, akhirnya kedua orang itu sudah bersiap untuk mendobrak saja pintu utama. Namun, saat keduanya hendak memulai pintu utama Mansion sudah terbuka lebar seperti ada yang mendobraknya dari luar, membuat kedua saudara bersepupu itu terpentok dan terduduk bersamaan.

  Sepasang sepatu yang kotor dan basah turun dari atas plafon, rupanya Mashiho merayap layaknya cicak di atas sana. Matanya yang hitam sempurna menatap Haruto dan Junkyu.

Brraaak!

Pintu kembali terkunci dan Mashiho jatuh tengkurap di lantai, ia berdiri perlahan sambil memamerkan lehernya yang robek dan kerongkongannya yang kering berserta darahnya. Wajah Mashiho yang sebelahnya tengkorak seperti ada yang patah entah itu rahang atau tulang dagu, Junkyu menelan ludah, mereka berdua  ber—ingsut mundur secara perlahan meskipun rasanya mustahil bisa menghindari serangan dadakan makhluk buas seperti Mashiho.

🔹🔸🔹🔸

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Where stories live. Discover now