Identik

31 3 0
                                    

Apabila aku melangkah dan berpapasan dengannya, terkadang aku mengalihkan tatapanku darinya. Apabila dirinya menegur sapa dengan suara sendunya, terkadang aku membalasnya dengan gumaman saja. Apabila kami diajak berdiri bersanding, dirinya akan terus mengembangkan senyum itu, terkadang aku malah sebaliknya. Apabila dirinya mulai mempermasalahkan urusanku, terkadang tak segan untuk menegurnya lewat emosi.

Matanya sarat akan kelembutan, membuat tatapan orang padanya seakan sedang merindu. Pernahkan kamu bertanya padaku atau dirinya? Mengapa semua terjadi sejak awal?

Aku tak ingin berpapasan dengan mata itu, aku tak ingin melihat langkah tegap itu. Aku tak ingin membalas sapaannya, karena aku tak ingin suara itu keluar dari mulutku juga. Aku tak ingin bibirku mengulum senyum yang sama, maka kutunjukkan senyum palsu itu.

Ah! Aku geram. Kami terlalu sama. Kami terlalu mirip. Tak ada satu perbedaan yang dapat kubuat di antara kami. Namun kala aku berusaha, usahaku digagalkannya.

"Mengapa kamu ingin berbeda?" Hanya sepenggal kalimatnya yang dapat kujawab dengan ribuan alasan. "Sebenarnya, asal kamu tahu saja. Kita sudah berbeda. Aku hanya terlalu ingin menyamaimu," sambungnya cepat.

Aku hanya lama bungkam―tak percaya. Kami memang sama, tapi perbedaan itu tetap ada.

---
Ini bukan cerpen, tapi terbentuk lewat sebuah perasaan.
Happy sunday :)

©FYP

The JournalWhere stories live. Discover now