Mendekati pojokan itu, senyum merekah. Ukiran itu masih di sana: kedalamannya, kasarnya panel kayu dari torehan pisau... semuanya sama dalam ingatanku.

Ah, betapa rindu aku masa-masa ini. Jemariku menelusuri rak buku dan kuambil sebuah buku bersampul keras dan berhalaman tebal; sebuah kamus dengan cetakan huruf D. Setangkai bunga anyelir kuselipkan tepat pada halaman nama latinnya; bunga yang kupetik ketika bosan menunggu ayah memancing. Bunga itu mengingatkanku akan rumah dan ibu. Lagi-lagi senyum menghiasi wajahku.

Penjabaran Maut mengenai penyebab aku meninggal tak lagi aku indahkan, bahkan hal itu hilang dari ingatan. Sebuah tempat paling tenang dan membahagiakan di sini sudah cukup untuk dikatakan surga. Surga, ya. Namun, tetap saja...apakah aku pantas menerima ini semua?

Apa tadi kata Maut? Bahwa aku tidak punya pasangan? Apakah hal itu penting sekarang? Kenangan ini lebih dari cukup untuk membuatku bahagia. Lagi pula, ujarnya tadi akan ada malaikat yang menghampiri... 'kan?

Seolah pertanyaanku disambut, pintu tempatku masuk tiba-tiba terbuka. Mengejutkanku, seseorang melewatinya dengan tergesa. Namun, dia tidak bersayap maupun memiliki halo. Rambutnya hitam. Ia pun mengenakan pakaian yang juga serba hitam: jaket kulit dan sepatu boots dengan telinga serta bibir bertindik; wajahnya tidak ramah. Alisnya merengut kesal dan perangainya cemas ketika melihatku. Dia seperti anak remaja yang sedang mencari identitasnya.

Pintu kembali tertutup seiring ia berlari meraih tanganku, merengek, "Sembunyikan aku!"

Aku melihat sosok itu mengitari kabin dengan bingung. Ia mengobrak-abrik segala perabot, mencari apapun yang bisa menyembunyikan dirinya. Sekejap kabin itu bak kapal pecah, sementara dia masuk ke dalam lemari dan diam di sana.

Sebelum kusampaikan pertanyaan, dia seperti bisa membaca pikrian. Ujarnya cukup lantang dari dalam lemari adalah, "Diam dan jangan banyak tanya!"

Mengerjapkan mata, aku memunguti benda-benda yang berjatuhan. Kupandang lemari itu dan terkejut ketika pintu kini diketuk. Apakah normal penghuni surga menerima tamu?

Belum kupersilakan masuk, pintunya terbuka. Tidak seperti sosok yang bersembunyi, dia mengenakan pakaian rapi dan berpenampilan necis. Caranya berpakaian mengingatkanku pada Maut. Alih-alih serba hitam, kemejanya lebih terang dengan panton warna putih dan kelabu. Mungkin dia malaikat yang Maut sebut? Koleganya?

"Adrien?" dia menyebutkan namaku sembari melongokkan kepala. Matanya terbelalak ketika melihat ruanganku seolah baru terlewati badai, "Ruangan surga seharusnya tidak berantakan begini. Apa lagi kau baru masuk hari ini 'kan?"

"Ah... aku terlalu bersemangat," jawabku terkekeh.

Cukup terkejut mendengar ucapanku, malaikat itu mengingatkan bahwa setiap orang memiliki surga yang berbeda dan dibuat berdasarkan ingatan terindah dalam hidupnya. "Aneh", katanya, "ruang surga ini berantakan kurang dari semalam."

Wajah pucatnya tampak serius dan mata birunya menatapku awas dan curiga. "Apa seseorang datang ke sini?"

Aku menahan diri untuk melirik lemari sembari masih mengambil bantal yang berserakan. "Aku enggak paham maksudmu."

"Jadi benar-benar tidak ada yang masuk selain dirimu?" tanya si malaikat lagi, memicingkan mata yang kujawab dengan gelengan singkat.

"Baiklah. Kalau kau perlu sesuatu, telpon di sini bisa dipakai; perpanjangan 77," tak lama sang malaikat menutup lagi pintunya yang sedetik kemudian raib dari pandangan.

Wow, penghuni Langit —malaikat— memang seserius ini ya? Mengingatkanku seperti kantorku dulu saja.

Kabin terasa senyap, bahkan keberadaan sosok berjaket kulit itu hampir tak terasa. Apakah dia mati? Memangnya bisa makhluk Langit maupun jiwa yang berpulang itu mati? Kalau ya, ke mana mereka pergi?

The Book of Love and WanderWhere stories live. Discover now