11 : Sebelah Sepatu Tak Berarti

Start from the beginning
                                    

"Silakan, Kak," sapa karyawan lelaki berkaca mata bulat, tersenyum ramah ke arahnya.

"Emm ... saya pesan Nana aja satu."

Entah apa yang salah dengan ucapan Cinta barusan, orang di depannya tampak mengernyitkan dahi. "Nana?" ulangnya dengan nada bingung.

"Iya, Nana. Susu pisang yang ada topping kulit pisangnya," ujar Cinta menjelaskan lebih rinci.

Lelaki itu menatap Cinta sejenak, seperti sedang berpikir keras. Topping kulit pisang katanya? Apa gadis itu bercanda? Seingat Markus mereka tidak memiliki minuman bernama Nana. Apa gadis ini salah masuk kafe atau bagaimana?

Setelah mati-matian memutar otak, Markus langsung teringat oleh sesuatu. Spontan lelaki itu melebarkan kedua matanya sembari mengacungkan jari telunjuknya. "Ah! Nana! Susu pisang buatan Alam, kan?!"

Cinta lantas mengangguk cepat sembari tersenyum semringah. Padahal dia sudah gugup saja karena mengira salah sebut. Pasalnya Cinta tidak mengecek menu di atas sebelum memesan tadi.

"Sebentar. Atas nama siapa?" tanya Markus.

"Cinta Rembulan Purnamasari."

"Astaga! Cinta yang ini?!" seru Markus heboh. Dia baru ingat Alam ada memesaninya sesuatu. Markus diminta Alam untuk mengabari lelaki itu jika bertemu dengan pelanggan yang bernama Cinta Rembulan Purnamasari.

"Kenapa?" ulang Cinta keheranan.

"Lo temannya Alam, bukan?"

Kepala Cinta mengangguk. "Iya."

"Ah, bener berarti. Lo mau langsung duduk aja atau mau gue panggilin Alamnya dulu?" tanya Markus yang tanpa sadar mengganti gaya bicaranya menjadi nonformal. Saat tersadar, Markus langsung menggeleng sembari membenarkan ucapannya. "M-maaf, Kak. Mau langsung duduk aja atau saya panggilin Alamnya?"

"Eh, santai aja. Nggak usah terlalu baku gitu."

Markus menggaruk tengkuknya, tersenyum kikuk. "Maaf ya. Gue kebiasaan sok asik malah kebablasan."

Cinta tersenyum sembari mengibaskan tangannya. "It's oke. Sama gue santai aja. Lo Markus, kan?" tanyanya sembari mengecek name tag pria di depannya.

"Alam ada cerita ya?" tebak Markus.

"He'em. Sedikit."

Markus tidak bertanya lebih jauh. Selain karena masih harus kembali bekerja, dia percaya dengan Alam. Sahabatnya itu tidak pernah membicarakan keburukan orang lain.

Tapi ada satu hal yang sejujurnya membuat Markus penasaran. Seumur-umur Alam tidak pernah memiliki teman perempuan. Berinteraksi dengan teman sekelasnya saja hanya jika ada keperluan. Ada angin apa tiba-tiba lelaki itu memiliki janji dengan perempuan ini?

"Lo mau gue panggilin Alamnya gak?" Markus bertanya ulang.

"Kayaknya nggak usah. Alam pasti lagi sibuk banget di dalam. Gue nunggu dia selesai aja."

"Oke. Nanti kalau Nana-nya udah jadi, gue panggil nama lo, ya. Totalnya jadi dua puluh lima ribu."

Cinta merogoh dompet di dalam totebag-nya. Setelah membayar, Markus memberinya secarik kertas nomor antrean. "Oh iya, Markus. Maaf sebelumnya, tapi meja di sini penuh semua."

Kedua kening Markus terangkat, ekspresinya terlihat agak kaget. "Eh, penuh semua?"

Cinta mengangguk sebagai respon.

"Maaf ya Cinta. Maaf banget. Ini si Arjuna kayaknya lagi nggak konsen sampai-sampai ngebiarin meja penuh semua. Biasanya doi nolak atau nyuruh pengunjung yang datang tunggu dulu kalau nggak ada meja kosong."

MasaWhere stories live. Discover now